Liputan6.com, Washington, DC - Rwanda dan Republik Demokratik Kongo (DRC) telah menandatangani kesepakatan damai di Washington pada Jumat (27/6/2025) untuk mengakhiri konflik di wilayah timur DRC, meskipun masih banyak pertanyaan tentang arti sebenarnya dari perjanjian ini dan pihak mana yang akan diuntungkan.
Sementara itu, Donald Trump memanfaatkan kesempatan ini untuk menyombongkan bahwa Amerika Serikat (AS) telah memperoleh hak tambang yang menguntungkan.
Dalam seremoni di Washington bersama Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, para menteri luar negeri dari kedua negara Afrika tersebut menandatangani perjanjian yang menegaskan komitmen untuk menjalankan kesepakatan pada 2024, yang mencakup penarikan pasukan Rwanda dari wilayah timur DRC dalam 90 hari.
"Kigali dan Kinshasa juga akan meluncurkan kerangka kerja integrasi ekonomi regional dalam waktu 90 hari," demikian bunyi perjanjian tersebut seperti dilansir The Guardian.
Rubio mengakui masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, namun mengatakan bahwa kesepakatan ini akan memungkinkan masyarakat memiliki harapan dan mimpi untuk hidup yang lebih baik.
Perjanjian ini dimediasi oleh Qatar dan AS, dengan tujuan mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan berakar dari genosida Rwanda 1994. Dalam eskalasi besar tahun ini, kelompok pemberontak M23 melakukan serangan cepat merebut wilayah dari militer DRC dan sekutunya di wilayah timur DRC, yang menyebabkan ribuan orang tewas dan ratusan ribu lainnya mengungsi.
"Mereka sudah saling bertempur selama bertahun-tahun dan menggunakan parang—ini salah satu perang terburuk yang pernah dilihat siapa pun," kata Trump sebelum acara penandatanganan.
Dia kemudian menambahkan, "Sebagai bagian dari perjanjian ini, AS akan mendapatkan banyak hak atas mineral dari Kongo. Mereka merasa sangat terhormat bisa berada di sini. Mereka tidak pernah membayangkan akan datang ke sini."
Menteri Luar Negeri Kongo Therese Kayikwamba Wagner menekankan bahwa perjanjian tersebut memuat komitmen untuk menghormati kedaulatan.
"Dengan menandatangani perjanjian ini, kami menegaskan kembali sebuah kebenaran sederhana: perdamaian adalah sebuah pilihan, tetapi juga merupakan tanggung jawab untuk menghormati hukum internasional, menjunjung hak asasi manusia, dan melindungi kedaulatan negara-negara," ujarnya.
Tidak Transparan
M23 adalah salah satu dari lebih dari 100 kelompok bersenjata yang bertempur melawan pasukan Kongo di wilayah timur DRC yang kaya mineral. Kelompok, yang dipimpin oleh etnis Tutsi, ini menyatakan bahwa mereka ada untuk melindungi kepentingan kelompok minoritas seperti Tutsi, termasuk dari kelompok pemberontak Hutu yang melarikan diri ke DRC setelah ikut serta dalam genosida 1994 yang menargetkan orang-orang Tutsi.
Pemerintah DRC, PBB, AS, dan negara-negara lain menyatakan bahwa milisi tersebut didukung Rwanda. Para ahli PBB menyebut Rwanda menggunakan kelompok ini untuk mengekstraksi dan mengekspor mineral bernilai tinggi—klaim yang dibantah oleh Rwanda.
Rwanda membantah memberikan dukungan kepada para pemberontak dan menuntut pembubaran kelompok bersenjata lain, yakni Democratic Forces for the Liberation of Rwanda (FDLR), yang didirikan oleh etnis Hutu yang terkait dengan pembantaian etnis Tutsi dalam tragedi genosida.
Dalam pernyataan bersama sebelum penandatanganan, ketiga negara menyatakan bahwa perjanjian tersebut mencakup penghormatan terhadap integritas wilayah dan larangan permusuhan serta perlucutan senjata terhadap semua kelompok bersenjata non-negara.
Pernyataan itu juga menyebutkan adanya kerangka kerja integrasi ekonomi regional dan rencana pertemuan puncak di Washington di masa mendatang yang akan mempertemukan Trump, Presiden Rwanda Paul Kagame, dan Presiden DRC Felix Tshisekedi.
Kesepakatan ini menjadi sorotan karena dinilai tidak jelas, termasuk dalam aspek ekonominya, sementara pemerintahan Trump dinilai sangat ingin mengambil keuntungan dari kekayaan mineral yang melimpah di wilayah timur DRC.
Di lain sisi, perjanjian ini disebut bertujuan menarik investasi Barat ke sektor pertambangan kedua negara, yang mengandung cadangan tantalum, emas, kobalt, tembaga, dan litium, sekaligus memberi akses kepada AS terhadap mineral-mineral penting.
Denis Mukwege, seorang ginekolog pekan lalu mengatakan bahwa proses mediasi tidak transparan, gagal membahas keadilan dan ganti rugi, serta menghindari pengakuan atas agresi Rwanda terhadap DRC.
Menyerukan keadilan dan reparasi, dia menulis di media sosial, "Dalam bentuknya yang sekarang, kesepakatan ini setara dengan memberikan hadiah atas agresi, melegitimasi penjarahan sumber daya alam Kongo, dan memaksa korban mengorbankan warisan nasional mereka demi memperoleh perdamaian yang rapuh dan tidak pasti."