Liputan6.com, Gaza - Militer Israel mulai memanggil puluhan ribu pasukan cadangan untuk "meningkatkan dan memperluas" operasi mereka di Jalur Gaza.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan mereka sedang meningkatkan tekanan dengan tujuan mengembalikan para sandera yang ditahan di Jalur Gaza dan mengalahkan militan Hamas.
Namun, para kritikus mengatakan bahwa serangan militer terbaru — yang diluncurkan setelah gencatan senjata gagal diperpanjang — belum berhasil menjamin pembebasan para sandera. Mereka juga mempertanyakan tujuan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam konflik ini.
Dalam rencananya, militer Israel menyebutkan akan beroperasi di wilayah-wilayah baru dan menghancurkan seluruh infrastruktur baik di atas maupun di bawah tanah.
Media Israel melaporkan bahwa kabinet keamanan Israel telah menyetujui rencana perluasan operasi militer di Jalur Gaza. Namun, laporan menyebutkan bahwa perluasan ini kemungkinan tidak akan dilakukan hingga kunjungan Presiden Donald Trump ke kawasan tersebut minggu depan. Demikian seperti dilansir BBC.
Negosiasi internasional sejauh ini belum berhasil mencapai untuk gencatan senjata baru dan membebaskan 59 sandera yang masih ditahan oleh Hamas — 24 di antaranya diyakini masih hidup.
Sejak Israel melanjutkan ofensif militernya pada 18 Maret 2025, setelah dua bulan gencatan senjata dengan Hamas berakhir, belum ada satu pun sandera Israel yang dibebaskan.
Israel sejak saat itu telah merebut banyak wilayah di Jalur Gaza, memaksa ratusan ribu warga Palestina mengungsi sekali lagi.
Strategi tekanan kepada Hamas yang dilakukan Israel termasuk blokade bantuan kemanusiaan yang telah berlangsung lebih dari dua bulan.
Lembaga-lembaga kemanusiaan telah melaporkan kekurangan parah makanan, air, dan obat-obatan, dan menyebut kebijakan ini sebagai bentuk kelaparan massal yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang — tuduhan yang ditolak oleh Israel.
Ofensif yang diperluas ini akan menambah beban bagi para pasukan cadangan yang sudah kelelahan — beberapa dari mereka telah dipanggil lima hingga enam kali sejak perang dimulai. Hal ini juga kembali memunculkan kekhawatiran dari keluarga para sandera, yang telah mendesak pemerintah untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas, dengan mengatakan bahwa hanya itu satu-satunya cara menyelamatkan mereka yang masih hidup.
Perang yang Sia-sia
Hampir 19 bulan sejak perang dimulai, Netanyahu belum juga mempresentasikan rencana apa pun untuk hari setelah perang berakhir.
Menurut laporan media lokal, militer Israel disebut telah menyampaikan rencana ofensif bertahapnya kepada Netanyahu pada Jumat (2/5).
Dalam beberapa pekan terakhir, ribuan pasukan cadangan telah menandatangani surat yang mendesak pemerintah Netanyahu untuk menghentikan perang dan fokus pada kesepakatan pembebasan sandera.
Pada Sabtu (3/5) malam, kembali terjadi aksi protes di berbagai kota di Israel, menuntut diakhirinya konflik.
Di Tel Aviv, seorang ibu dari sandera yang masih berada di Jalur Gaza menyebut konflik ini sebagai "perang yang sia-sia".
Militer Israel pada Minggu (4/5) mengumumkan bahwa dua tentaranya kembali tewas di Jalur Gaza.
Sebelumnya pada hari yang sama, sebuah rudal yang ditembakkan dari Yaman oleh kelompok Houthi jatuh di dekat terminal utama Bandara Ben Gurion, Israel. Netanyahu bersumpah akan membalas serangan tersebut.
Merespons rencana baru Israel di Gaza, kelompok Houthi menyatakan akan memberlakukan blokade udara terhadap Israel dengan menargetkan bandara-bandara di negara itu secara berulang.
Sementara itu di Jalur Gaza, otoritas kesehatan setempat menyebutkan bahwa hingga pukul 11.05 waktu setempat pada Minggu, sebanyak 40 orang tewas dalam 24 jam terakhir dan 125 lainnya terluka.
Militer Israel melancarkan kampanye untuk menghancurkan Hamas sebagai respons atas serangan lintas batas yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 7 Oktober 2023, yang mereka klaim menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang lainnya.
Sejak 7 Oktober 2023 pula, setidaknya 52.535 warga Palestina tewas akibat serangan Israel di Jalur Gaza. Dari jumlah tersebut, 2.436 orang tewas sejak 18 Maret 2025, saat Israel kembali melancarkan ofensif di Jalur Gaza.