Liputan6.com, Jakarta Pemilu 2024 memperlihatkan paradoks demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, tingkat partisipasi pemilih secara kuantitatif tergolong tinggi, namun di sisi lain, keterlibatan substantif masyarakat terutama kelas menengah justru mengalami erosi.
Kelas sosial yang selama ini digadang sebagai motor penggerak demokrasi itu tampak mengalami kelelahan, skeptisisme, bahkan alienasi terhadap proses politik. Fenomena ini menandai terjadinya depolitisasi terstruktur yang menjauhkan warga negara dari semangat partisipasi aktif dalam kehidupan bernegara.
Fenomena ini terjadi beriringan dengan ledakan informasi, perkembangan media sosial, dan dominasi algoritma digital yang mengubah cara masyarakat mengakses dan memahami politik. Demokrasi menjadi bising namun hampa—dihuni oleh narasi viral, bukan ide substansial. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan: mengapa kelas menengah Indonesia hari ini tampak tidak tertarik pada politik padahal mereka memiliki akses informasi yang luas?
Secara historis, kelas menengah memiliki peran penting dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi. Dalam banyak teori politik, kelas menengah diyakini sebagai kekuatan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai kebebasan sipil, meritokrasi, dan transparansi. Di Indonesia, peran kelas menengah terlihat dalam pergerakan reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru.
Namun, setelah lebih dari dua dekade reformasi, peran itu tampaknya mengalami pergeseran. Riset Indikator Politik Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat ketidakpercayaan terhadap partai politik di kalangan kelas menengah kota mencapai 71%, sementara kepercayaan terhadap lembaga eksekutif seperti pemerintah pusat juga menurun drastis pasca-pandemi.
Kelas menengah Indonesia kini lebih sibuk membangun mobilitas sosial ketimbang memperjuangkan agenda politik kolektif. Mereka lebih tertarik pada stabilitas ekonomi dan gaya hidup digital daripada isu-isu hak asasi manusia atau tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam istilah yang lebih tajam, Chua dalam penelitiannya di tahun 2023 menyebut kondisi ini sebagai “comfort-driven disengagement”.
Di tengah kebosanan terhadap realitas politik yang penuh intrik dan korupsi, sebagian besar masyarakat—termasuk kelas menengah—terjerumus dalam apa yang disebut sebagai politik imajiner. Istilah ini mengacu pada kondisi di mana masyarakat lebih percaya pada konstruksi media dan representasi digital politikus dibanding fakta-fakta kebijakan atau rekam jejak.
Politik kemudian dipahami dalam bentuk meme, konten TikTok, atau potongan video YouTube yang sering kali terlepas dari konteks. Kandidat yang “asik” dan “relatable” di media sosial lebih disukai ketimbang mereka yang berintegritas namun kurang memesona. Hal ini menciptakan demokrasi performatif, bukan deliberatif. Media sosial bukan lagi hanya alat komunikasi politik, tapi juga menjadi ruang utama fabrikasi makna politik.
Menurut riset dari Center for Digital Society UGM tahun 2024, algoritma media sosial mendorong konten-konten politik yang bersifat emosional dan personal lebih banyak menjangkau pengguna dibandingkan konten edukatif atau rasional. Akibatnya, politik tidak lagi dipahami sebagai ruang perjuangan gagasan, tapi sebagai panggung hiburan.
Kelas menengah Indonesia kini berada dalam posisi yang kompleks: mereka melek digital, tetapi tumpul secara politik. Literasi digital tinggi tidak serta-merta berbanding lurus dengan partisipasi politik yang sehat. Di balik derasnya arus informasi, tersembunyi kelelahan kolektif yang membuat mereka menarik diri dari urusan politik.
Apatisme ini bukan semata-mata sikap malas, tapi merupakan bentuk resistensi pasif terhadap sistem yang dianggap rusak dan tidak mewakili aspirasi. Dalam penelitian CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Lembaga penelitian yang berpusat di Jakarta tahun 2023, ditemukan bahwa 62% responden kelas menengah muda (usia 25–40 tahun) menganggap politik sebagai “urusan elit” dan “penuh sandiwara”.
Mereka memilih untuk menyalurkan energi mereka ke ranah privat: pengembangan diri, bisnis online, traveling, atau menjadi content creator. Masyarakat seolah lebih memilih bernegara secara diam-diam—melalui konsumsi dan kreativitas digital, ketimbang partisipasi di bilik suara atau demonstrasi.
Salah satu penyebab utama kelelahan politik di kalangan kelas menengah adalah polarisasi ekstrem yang dipicu oleh algoritma digital. Model algoritmik yang digunakan oleh platform seperti Facebook, Twitter (X), dan TikTok cenderung menampilkan konten-konten yang memperkuat bias pengguna (confirmation bias), sehingga menciptakan filter bubble yang menyempitkan perspektif.
Riset oleh Kominfo dan Katadata Insight Center tahun 2022 menyatakan bahwa 47% pengguna aktif media sosial di Indonesia mendapatkan informasi politik dari grup WhatsApp atau Facebook, dua platform yang terkenal rawan hoaks dan polarisasi. Dalam kondisi ini, percakapan politik tidak lagi sehat, tapi menjadi ajang konflik antar identitas, yang semakin mendorong masyarakat untuk menjauh dari diskusi publik.
Kelas menengah yang sebelumnya menjadi motor pembicaraan politik kini memilih diam atau bersikap netral demi menjaga kenyamanan sosial di lingkungan kerja atau komunitas. Demokrasi Indonesia pun mengalami stagnasi deliberatif.
Ironisnya, masyarakat kini merasa telah cukup “berpartisipasi” hanya dengan menyukai, membagikan, atau mengomentari konten politik. Fenomena ini disebut sebagai clicktivism, yaitu keterlibatan politik yang dangkal dan berbasis gestur digital semata.
Kelas menengah, khususnya generasi milenial dan Z, mengalami ilusi partisipasi. Padahal, aksi digital tanpa pengorganisasian offline cenderung tidak berdampak jangka panjang terhadap perubahan struktural. Ini bukan berarti aktivisme digital tidak berguna, tetapi ketika hanya berhenti di layar, ia menjauhkan masyarakat dari bentuk partisipasi politik yang nyata dan strategis.
Digitalisasi politik juga menciptakan ketergantungan pada narasi viral. Gagasan politik harus “menjual” secara visual dan emosional agar mendapatkan perhatian. Dalam jangka panjang, ini akan memproduksi pemilih yang impulsif dan emosional, bukan rasional dan kritis.
Meskipun tampak suram, masih ada celah harapan dalam bentuk gerakan sipil kecil dan eksperimentasi politik alternatif. Di beberapa kota, komunitas kelas menengah mulai menciptakan ruang dialog warga yang independen dari partai politik dan institusi formal. Forum-forum diskusi seperti "Temu Warga", "Ruang Tengah", hingga kanal-kanal YouTube seperti PeaceGeneration atau 100% Manusia menjadi oase dari kegersangan wacana politik publik.
Gerakan lingkungan, koperasi digital, pendidikan alternatif, dan forum musyawarah lokal merupakan tanda-tanda bahwa demokrasi belum mati. Hanya saja, gerakan ini belum cukup terakselerasi menjadi kekuatan politik yang berarti dalam arena formal.
Jika negara tidak hadir secara empatik terhadap masyarakat kelas menengah, dan jika partai politik tidak melakukan reformasi internal, maka publik akan terus mencari saluran lain yang lebih bermakna secara kultural.
Salah satu jalan keluar dari kelelahan politik ini adalah dengan mendorong bentuk baru pendidikan politik yang tidak hanya bersifat normatif atau prosedural, tetapi juga emansipatoris. Pendidikan politik tidak cukup hanya berbicara tentang tata cara memilih atau struktur lembaga negara, melainkan juga harus membekali warga dengan kemampuan membaca kekuasaan, memahami hak-hak sipil, dan mengenali jebakan populisme.
Di era digital, pendidikan politik harus masuk ke ruang-ruang informal seperti podcast, YouTube, TikTok edukatif, dan serial drama. Narasi politik harus dikemas secara kreatif namun tetap kritis agar mampu menembus kebisingan algoritma.
Kelas menengah yang melek teknologi dan memiliki privilege akses pendidikan seharusnya menjadi target utama transformasi ini. Tanpa mereka, demokrasi akan kehilangan fondasi sosialnya yang paling strategis.
Demokrasi Indonesia tidak akan pulih hanya dengan pemilu atau elite reformis. Ia membutuhkan keterlibatan warga yang sadar, kritis, dan memiliki kapasitas kolektif. Dalam hal ini, membangkitkan kembali semangat kelas menengah adalah tugas historis.
Perlu pergeseran dari demokrasi elektoral menuju demokrasi partisipatif dan deliberatif. Kelas menengah harus diajak menjadi bagian dari perancangan kebijakan publik, bukan hanya target kampanye. Model partisipasi warga seperti citizen jury, budgeting partisipatif, hingga digital town hall harus diperluas dan diperkuat.
Demokrasi yang hidup adalah demokrasi yang tidak hanya diukur dari jumlah suara, tetapi dari sejauh mana warga merasa bahwa suara mereka didengar dan memengaruhi kebijakan nyata.
Kelesuan politik di kalangan kelas menengah Indonesia bukan sekadar soal malas ikut pemilu atau tidak aktif di media sosial. Ia adalah cerminan dari krisis representasi, polarisasi digital, dan kehampaan imajinasi politik. Jika tidak segera ditangani, maka kita akan menyaksikan demokrasi formal yang kehilangan jiwanya.
Harapan tetap ada. Namun ia memerlukan keberanian kelas menengah untuk keluar dari zona nyaman dan ikut serta merancang ulang kehidupan politik. Tidak cukup hanya menjadi penonton, apalagi konsumen. Warga negara harus kembali menjadi aktor.