Liputan6.com, Jakarta Menggunakan empat indikator pengukuran, yaitu (1) activities & success; (2) fiscal system; (3) oil and gas risk dan (4) legal & contractual , laporan IHS Markit (S&P Global) pada Juni 2023 lalu menunjukkan posisi iklim investasi hulu migas Indonesia di Asia Pasifik berada di peringkat 9 dari 14 negara.
Salah satu poin dari laporan itu adalah bahwa dalam hal rating, secara umum telah terjadi tren perbaikan dan peningkatan dalam overall attractiveness rating iklim investasi hulu migas Indonesia sejak tahun 2020 lalu. Khususnya dalam hal ini adalah dalam aspek activity and success, dimana Indonesia berada pada peringkat 4 dari 14 negara di Asia Pasifik, menandakan bahwa secara prospektif atau peluang keberhasilan investasi hulu migas Indonesia di kawasan Asia Pasifik masih sangat kompetitif.
Di dalam iklim investasi hulu migas nasional yang terus membaik tersebut, namun demikian, aspek kemudahan berusaha dan penyederhanaan proses bisnis, khususnya terkait perizinan-birokrasi, masih menjadi salah satu tantangan terbesar. Publikasi SKK Migas (2022) dan IPA (2024) menyebutkan, untuk dapat melakukan pengusahaan kegiatan hulu migas, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) harus melalui total 140 proses perizinan yang tersebar di sekitar 18 Kementerian/Lembaga. Waktu yang diperlukan untuk pengurusan masing - masing perizinan tersebut dapat berlangsung antara 3 hingga 24 bulan.
Dalam merespons permasalahan yang ada, berbagai upaya dan langkah kebijakan tercatat telah diambil pemerintah, diantaranya: 1) deregulasi dan penyederhanaan perizinan di lingkup Kementerian ESDM untuk tahapan pra-eksplorasi melalui penerbitan Permen ESDM 23/2015, Permen ESDM 15/2016 dan Permen ESDM 29/2017 jo Permen ESDM 52/2018, 2) penerapan One Door Service Policy (ODSP) untuk pengurusan perizinan teknis di lingkup SKK Migas, 3) pengembangan sistem perizinan terpadu Online Single Submission (OSS) di bawah koordinasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM yang diintegrasikan dengan Kementerian Teknis/Lembaga terkait.
Yang terkini, di tingkat nasional pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 1 Tahun 2025. Penerbitan Kepres 1/2025 ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menyelaraskan kebijakan di berbagai sektor, memastikan ketersediaan lahan, dan menyelesaikan berbagai hambatan yang ada secara terkoordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Satgas ini berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dengan tugas utama untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang mendukung percepatan hilirisasi dan ketahanan energi nasional. Satgas memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi penindakan administratif terhadap pejabat atau pihak yang terbukti menghambat proses percepatan.
Kepres 1/2025 tentang Satgas ini positif karena memberikan landasan payung hukum yang lebih kuat lagi atas bagi berfungsinya Satuan Tugas Percepatan Peningkatan Produksi Lifting Migas (Satgas Lifting Migas) yang sebelumnya telah lebih dulu dibentuk melalui Keputusan Menteri ESDM No. 296.K/MG.01/MEM.M/2024.
Satgas Lifting Migas ini terdiri dari 7 Kelompok Kerja (Pokja) yang merupakan gabungan dari unsur Direktorat Jenderal Migas KESDM, SKK Migas dan KKKS. Dalam kaitan dengan kemudahan berusaha dan penyederhanaan proses bisnis, salah satu pokja yang dibentuk di dalam Satgas Lifting migas adalah Pokja Percepatan Perizinan. Tugas Pokja tersebut adalah mengawal koordinasi perizinan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah (Pemda), dan perizinan pada instansi terkait lainnya.
Berbagai upaya yang dilakukan tersebut positif namun tampaknya belum sepenuhnya menyentuh akar masalah dan dapat menyelesaikan permasalahan kompleksitas birokrasi-perizinan khususnya terkait izin operasional - post PSC signing - untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.
Sejauh ini upaya penyederhanaan perizinan yang dilakukan khususnya melalui UU Cipta Kerja maupun deregulasi di tingkat Kementerian ESDM, lebih mengarah pada penyederhanaan persyaratan dan prosedur terkait perizinan yang pada dasarnya lebih mengarah pada aspek legalitas usaha. Sementara itu, kebijakan One Door Service Policy (ODSP) masih terbatas pada izin atau rekomendasi yang berada di lingkungan SKK Migas.
Perlu perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut agar berbagai upaya penerbitan kebijakan tersebut dapat lebih optimal di dalam mengatasi permasalahan perizinan yang ada. Beberapa opsi yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Di dalam kebijakan ODSP, perlu terus disempurnakan menjadi sistem perizinan terintegrasi (satu pintu) yang tidak hanya terbatas di dalam lingkup SKK Migas, tetapi menjangkau perizinan yang semula memang memerlukan persetujuan lintas kementerian-lembaga.
Dalam hal ini, perlu disederhanakan untuk menjadi satu pintu saja; dapat melalui SKK Migas atau BKPM saja. Hal ini mestinya dapat dipadukan dengan sistem digital terintegrasi (seperti OSS) yang mencakup seluruh perizinan hulu migas, yang implementasinya perlu dipercepat.
Lebih jauh, diperlukan peraturan perundangan (baru) yang lebih kuat untuk memberikan kewenangan yang lebih luas bagi SKK Migas atau BKPM di dalam melakukan pengurusan perizinan operasional di sektor hulu migas. Dalam hal ini, SKK Migas atau BKPM ditempatkan sebagai pihak yang berhubungan/melakukan kegiatan langsung dengan kementerian-lembaga dan pemerintah daerah di dalam pengurusan perizinan terkait kegiatan operasi hulu migas.
Terkait tata waktu, perlu adanya payung hukum dan pengaturan yang tegas terkait batasan waktu dalam penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah 55/2009 tentang perubahan kedua Peraturan Pemerintah 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Juga perlu didorong adanya semacam penetapan Key Performance Indicator (KPI) bersama antar lembaga-kementerian terkait tata waktu ini, agar ada komitmen dan kerja bersama di dalam penyelenggaraan kegiatan investasi hulu migas dalam tata waktu yang ditentukan bersama dan diatur melalui peraturan perundangan tertentu, misalkan melalui UU APBN setiap tahun.
Proses penyederhanaan perizinan juga dapat disempurnakan dengan tidak hanya ditujukan untuk mengatur batasan waktu pengurusan, tetapi juga menyederhanakan aspek kewenangan dalam pemberian izin. Untuk sejumlah izin yang bersifat sangat teknis, kewenangan perizinan semestinya tidak memerlukan persetujuan berlapis sampai ke tingkat Menteri, tetapi dapat disederhanakan berhenti hanya di level birokrasi di bawahnya atau bahkan dilimpahkan kepada SKK Migas.
Dalam hal yang berkaitan dengan perizinan daerah, untuk penyederhaan dan kemudahaan koordinasi, ada baiknya pemerintah menerbitkan pengaturan pelaksana lanjut terhadap ketentuan pasal 14 UU No 23/2014 (UU Pemerintahan Daerah), yang dalam hal ini mengatur bahwa segala bentuk perizinan pada dasarnya dapat dilimpahkan ke tingkat pemerintah pusat. Dalam konteks pengaturan hal-hal di atas dalam ketekaitannya dengan UU Migas, penyelesaian revisi UU Migas atau kebutuhan akan adanya UU Migas baru dapat dikatakan memang tetap urgen dan tetap diperlukan untuk perbaikan kepastian hukum dalam arti luas dan menyeluruh.