Defisit dan Persoalan Harga Gas Bumi Domestik

3 days ago 9

Liputan6.com, Jakarta Di tengah jargon swasembada energi yang digaungkan, potensi terjadinya defisit gas nasional makin dekat terjadi, kalaulah tak boleh disebut sebenarnya bahkan mungkin sudah terjadi di beberapa wilayah. Merujuk data SKK Migas (2024), selama periode 2015 hingga 2023, permintaan gas domestik mengalami peningkatan rata - rata sekitar 1,44% per tahun. Sementara pada periode yang sama, produksi gas nasional mengalami penurunan sekitar 2,38% per tahun.

Merujuk publikasi data neraca gas PGN (2025), defisit gas di wilayah Jawa Barat hingga Sumatera diperkirakan terjadi tahun 2025-2035. Kekurangan gas untuk tahun 2025 mencapai 177 MMSCFD, kemudian 2026 mencapai 239 MMSCFD, 2027 mencapai 369 MMSCFD, 2028 mencapai 390 MMSCFD, 2029 mencapai 259 MMSCFD.

Kemudian untuk 2030 defisit mencapai 349 MMSCFD, 2031 mencapai 465 MMSCFD, 2032 mencapai 516 MMSCFD, 2033 mencapai 524 MMSCFD, 2034 mencapai 534 MMSCFD, serta 2035 mencapai 513 MMSCFD.

Potensi akan terjadinya defisit gas nasional ini sebenarnya bukan barang baru. Berbagai kalangan, juga jika melihat neraca gas nasional, sebenarnya sudah sejak lama, setidaknya lima-sepuluh tahun terakhir, telah mengidentifikasi dan menyuarakan potensi terjadinya defisit gas nasional.

Harapannya, tentu agar sejak jauh hari bisa dicegah dan diantisipasi dengan baik. Namun, seperti biasa, semua seperti berjalan business as usual saja, seolah tak ada hal terkait defisit gas ini yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius.

Distorsi Ekonomi Kebijakan Harga Gas

Salah satu aspek terpenting yang sejatinya menjadi penentu dan sekaligus pintu solusi untuk mengatasi masalah defisit gas ini, yaitu persoalan kebijakan harga gas domestik, dalam beberapa tahun terakhir ini bahkan cenderung kontradiktif.

Terutama, tampaknya karena dipengaruhi pandangan dan pertimbangan populis bahwa harga energi di dalam negeri, termasuk gas dalam hal ini, haruslah murah (rendah) secara nominalnya. Penerapan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri yang telah berjalan sejak kurang lebih awal 2020 lalu adalah salah satu wujud bentuk kebijakan yang secara langsung maupun tak langsung dipengaruhi oleh pandangan-pertimbangan itu.

Harga nominal maksimal 6 USD/MMBTU di titik pengguna akhir dianggap cukup untuk menjadi insentif dan pendorong daya saing sektor industri konsumen gas nasional. Harga di atas 6 USD/MMBTU, dengan kata lain, secara tidak langsung dianggap tinggi (mahal), sehingga perlu diturunkan atau ditetapkan dan dibatasi lebih rendah.

Ilmu dasar ekonomi sejatinya telah mengajarkan bahwa subsidi (insentif) semestinya diberikan secara langsung kepada yang ditargetkan dan tidak dilakukan dengan memberikan subsidi terhadap harga. Di dalam ilmu ekonomi, subsidi terhadap harga hanya akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar dan inefisiensi ekonomi (deadweight loss) secara keseluruhan.

Kebijakan HGBT, dengan membatasi harga atas gas domestik pada nominal 6 USD/MMBTU di pengguna akhir termasuk di dalam kategori subsidi harga. Kebijakan ini sebaiknya dievaluasi dan ditinjau kembali secara lebih menyeluruh.

Jika objektif pemerintah adalah mendorong dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas, maka alternatif kebijakan atau mekanisme lain yang dalam pandangan penulis layak unutk dipertimbangkan adalah melalui pemberian insentif fiskal secara langsung (direct fiscal incentives) kepada industri pengguna gas terpilih.

Pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas terpilih berpotensi akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai objektif yang sama karena bersifat lebih terfokus dan mengangkat “daya mampu” industri pengguna gas tersebut secara langsung.

Pemberian insentif fiskal secara langsung juga akan meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul dari kebijakan HGBT, yaitu terganggunya investasi di sisi hulu dan midstream di dalam penyedian, penyaluran gas dan pengembangan infrastrukturnya.

Prinsip Dasar Kebijakan Harga Gas

Level harga gas di setiap negara pada dasarnya memang dapat berbeda-beda, tergantung pada banyak faktor tekno-ekonomi yang membentuk mempengaruhinya dan juga ditentukan oleh faktor kebijakan – pasar, subsidi, pajak – dan mekanisme yang diterapkan setiap pemerintahannya di dalam pemberlakuannya. Namun, di setiap negara, level harga gas secara prinsip selalu tetap berpijak dan mempertimbangkan tingkat keekonomian yang layak pada seluruh mata rantai sektor yang terkait di dalam penyediaannya.

Dari mulai keekonomian yang layak di sisi suplai di hulu, baik suplai yang berasal dari impor ataupun suplai yang bersumber dari produksi dan pengembangan lapangan gas, keekonomian yang layak di sisi midstream dalam hal penyaluran gas baik melalui transmisi dan distribusinya, maupun di sisi keterjangkauan dan proporsionalitas kemanfaatan ekonominya di sisi pengguna akhir.

Jadi, penetapan dan pemberlakuan harga gas tidak hanya melihat satu aspek pada berapa secara nominalnya di level pengguna akhir saja. Kelayakan keekonomian di sektor hulu perlu dipenuhi untuk menjaga keberlanjutan suplai gas itu sendiri.

Suatu lapangan gas tidak akan diproduksikan jika keekonomian pengembangan lapangannya tidak terpenuhi. Investasi untuk eksplorasi dan produksi, bagi penemuan cadangan gas dan bagi pengembangan lapangannya tidak akan bergulir jika harga gas yang diberlakukan ditekan terlalu rendah. Harga gas di hulu tetap perlu dijaga pada level yang menjamin tingkat pengembalian investasi yang menarik bagi investor hulu.

Dengan karakteristik segmen hulu yang secara relatif lebih padat modal padat teknologi dan lebih berisiko – potensi kegagalan eksplorasi tinggi -, pemberlakuan harga gas di hulu semestinya lebih didasarkan atas prinsip ekonomi willingness to sell – willingness to buy antara masing-masing entitas pelaku usaha (B to B) dan bersifat dinamis dari waktu ke waktu.

Kebijakan pengaturan sebaiknya bersifat makro dan tidak menetapkan suatu batas angka tertentu yang rigid, statis, apalagi rendah secara nominal. Kelayakan keekonomian di midstream sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan penyaluran dan serapan gas di pengguna akhir itu sendiri.

Biaya penyaluran di midstream, baik dalam hal transmisi dan distribusi maupun dalam mode penyaluran lainnya perlu dijaga pada level yang membuat industri midstream tidak hanya cukup bisa bertahan hidup tetapi juga mampu berekspansi untuk mengembangkan infrastruktur dan memperluas jaringan transmisi distribusinya. Infrastruktur gas yang semakin luas akan mendorong peningkatan serapan gas itu sendiri.

Pada gilirannya, tersedianya infrastuktur penyaluran gas yang cukup juga akan membuat iklim investasi dan iklim berusaha di dalam penyaluran gas itu sendiri menjadi lebih kondusif. Pada sektor midstream yang struktur pasarnya sudah mendekati kompetitif – infrastruktur tersedia cukup dan banyak alternatif -, biaya midstream dengan sendirinya nanti juga akan menjadi lebih kompetitif, tanpa harus diatur terlalu mikro melalui kebijakan yang membatasi tingkat pengembalian investasi.

Prinsip dasar kelayakan ekonomi di sektor hulu dan midstream di atas itulah yang semestinya menjadi basis di dalam bagaimana level harga gas di tingkat pengguna akhir akan terjadi. Ini pula semestinya yang menjadi pijakan pemerintah untuk bisa menerapkan kebijakan harga gas domestik secara lebih proporsional.

Harga gas domestik yang bersumber dari LNG misalnya, tentu tak dapat disamaratakan begitu saja dengan harga gas pipa. Harga jual gas yang bersumber dari LNG pada umumnya menggunakan formula: slope 17,40 % x Indonesian Crude Price (ICP) + Alpha. Komponen Alpha mencakup biaya pengapalan dan transportasi, biaya penyimpanan, biaya regasifikasi, biaya penyaluran (transmisi dan distribusi), margin niaga, dan komponen biaya lainnya.

Dengan formula harga tersebut, jika rata-rata ICP 80 USD per barel, harga gas yang bersumber dari LNG akan berada pada kisaran 17 - 18 USD per MMBTU. Jika ICP meningkat menjadi 100 USD per barel, harga gas yang bersumber dari LNG bisa mencapai kisaran 20-21 USD per MMBTU.

Dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana lokasi pusat pengguna gas dan sumber gas utama terpisah-tersebar, pasokan gas dalam bentuk LNG sejatinya adalah jawaban untuk permasalahan defisit gas yang ada. Syaratnya, kita perlu lebih dulu “menyehatkan” kebijakan harga gas domestik yang ada.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |