Liputan6.com, Jakarta - Tidak hanya selebritas di Los Angeles yang resah akibat kebakaran hebat yang melanda California pada awal tahun 2025 ini. Sejumlah perusahaan asuransi kelas kakap juga mengalami kepanikan yang sama, bahkan lebih mendalam.
Gallagher Re, perusahaan pialang dan penasihat reasuransi global, pada Kamis (23/1/2025) mengungkapkan, kerugian akibat kebakaran di Los Angeles bisa mencapai USD 20 miliar hingga USD 30 miliar, dengan klaim asuransi berada di kisaran USD 20 miliar. Kebakaran ini tidak hanya menghanguskan properti, pun mengguncang fondasi finansial industri asuransi.
Bencana itu sebenarnya telah diperingatkan sejak awal Januari 2025. National Interagency Fire Center (CIFC) Idaho menyatakan bahwa potensi kebakaran di California akan berada di atas normal, dan peringatan ini terbukti benar. Badai api mengubah Los Angeles menjadi mimpi buruk. Ribuan hektare lahan, rumah, dan infrastruktur terbakar habis, meninggalkan penduduk dalam ketakutan.
Lingkungan megah yang menjadi ikon kota berubah menjadi hamparan abu dan puing. Bahkan selebritas yang tinggal di kastil-kastil mewah ikut terdampak secara signifikan. Makanya nilai kerugiannya bisa sakhohah.
Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), kebakaran ini diperparah suhu ekstrem yang dipicu perubahan iklim. Dalam dua dekade terakhir, perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu, kemarau panjang, dan atmosfer yang kering. Kondisi ini meningkatkan risiko kebakaran, terutama di kawasan barat Amerika.
Dampak perubahan iklim bahkan sudah berlangsuung secara merata di seluruh dunia. Munich Re, perusahaan reasuransi global, melaporkan bahwa sepanjang tahun 2024, kerugian global akibat perubahan iklim mencapai USD 320 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak 43,75% atau sekitar USD 140 miliar ditanggung oleh asuransi.
Kesiapan Indonesia
Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa selama tahun 2024, terjadi 2.093 bencana alam, dengan dominasi berupa bencana hidrometeorologi seperti banjir, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, dan tanah longsor.
Banjir menjadi bencana paling sering dengan 1.077 kejadian, diikuti cuaca ekstrem sebanyak 452 kejadian. Kerugian fisik yang dilaporkan sangat besar, dengan puluhan ribu rumah dan fasilitas umum rusak serta lebih dari enam juta orang terpaksa mengungsi.
Tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun terpanas di Indonesia, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Suhu rata-rata global melampaui batas kenaikan 1,5 derajat Celsius yang disepakati dalam Konferensi Iklim Paris 2015. Dampak perubahan iklim ini semakin memperkuat urgensi bagi pemerintah dan industri asuransi untuk mengambil langkah mitigasi yang konkret.
Indonesia, negara kepulauan dengan banyak lempeng tektonik dan gunung api tersebar di seluruh penjuru negeri, memang menghadapi risiko bencana yang tinggi.
World Risk Report 2024 mencatat, skor World Risk Index (WRI) Indonesia di angka 43,5, menjadikannya negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia setelah Filipina. Risiko ini membutuhkan kesiapan yang lebih baik dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri asuransi, dan masyarakat.
Penanganan Bencana Berkelanjutan
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah penting melalui strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI). Strategi ini bertujuan melindungi aset negara seperti gedung-gedung pemerintah melalui dana pooling.
Saat ini, dana pooling untuk bencana masih sekitar Rp7 triliun, tetapi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana meningkatkannya menjadi Rp40 triliun dalam beberapa tahun ke depan. Langkah ini merupakan bagian dari upaya mengurangi beban finansial akibat bencana alam.
Selain itu, OJK melalui Road Map Perasuransian Indonesia 2023-2027 juga mulai menginisiasi asuransi wajib, meskipun saat ini baru menyasar Third Party Liability (TPL) untuk kendaraan bermotor.
Diharapkan, asuransi wajib ini dapat diperluas ke sektor lain seperti bencana banjir, kebakaran, dan gempa bumi. Langkah ini sangat penting mengingat datangnya bencana alam semakin tidak terprediksi akibat perubahan iklim.
Di Jepang, ada Japan Earthquake Reinsurance Company (JER) yang melibatkan pemerintah dalam memberikan jaminan terhadap kerugian akibat gempa bumi berskala besar.
Dalam mekanisme ini, pemerintah Jepang berbagi beban dengan perusahaan asuransi sesuai batas retensi yang ditetapkan. Sistem serupa juga diterapkan di Taiwan melalui Taiwan Residential Earthquake Insurance Fund (TREIF), yang didirikan pasca-gempa bumi Chi-Chi tahun 1999. TREIF memberikan dasar hukum dan transparansi dalam pengelolaan dana asuransi gempa bumi.
Di Amerika Serikat, National Flood Insurance Program (NFIP) menjadi solusi mitigasi risiko banjir. Program ini mengintegrasikan dukungan pemerintah dengan sektor swasta untuk memberikan perlindungan finansial kepada masyarakat. Program-program seperti ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan industri asuransi dalam mengelola risiko bencana.
Namun, keberlanjutan upaya antisipasi ini memerlukan komitmen dari berbagai pihak. Lloyd’s of London, dalam laporan keberlanjutan 2023, menekankan perlunya kolaborasi global untuk memperkuat ketangguhan terhadap bencana terkait perubahan iklim. Lloyd’s juga menyoroti pentingnya peran asuransi dalam menciptakan solusi berbasis risiko untuk menghadapi tantangan masa depan.
Pendekatan di Indonesia
Di Indonesia, pendekatan serupa dapat diterapkan dengan memperkuat kerangka kolaborasi antara pemerintah, industri asuransi, dan masyarakat.
Pemerintah dapat menggandeng swasta dalam upaya implementasi asuransi bencana melalui skema Public Private Partnership (PPP). Konstitusi sudah menegaskan bahwa tugas negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia.
Dalam situasi perubahan iklim seperti saat ini, dan sebagai negara yang sangat rentan terhadap bencana, Indonesia perlu mempercepat implementasi asuransi wajib untuk bencana alam.
Ekonom dan pakar lingkungan hidup, Emil Salim (2024), menegaskan pentingnya sinergi antara kebijakan pemerintah dan peran swasta untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Edukasi tentang pentingnya asuransi bencana juga harus ditingkatkan sehingga risiko finansial akibat bencana dapat diminimalkan dan ketangguhan masyarakat terhadap bencana menjadi lebih baik.
Ahli iklim dari Pennsylvania State University, Michael E. Mann, dalam wawancaranya dengan BBC (2023), menyatakan bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, tetapi sudah menjadi realitas yang harus dihadapi sekarang. Hal ini mengingatkan kita bahwa upaya pengendalian risiko dan adaptasi harus menjadi prioritas utama.
Dengan langkah yang tepat, industri asuransi Indonesia dapat bertahan menghadapi tantangan perubahan iklim. Kolaborasi semua pemangku kepentingan adalah kunci untuk menciptakan sistem penangangan bencana yang efektif dan berkelanjutan.
Robert Glasser, mantan kepala UNISDR, pada 2024, mengingatkan, kesiapan menghadapi bencana adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya melindungi ekonomi tetapi juga menyelamatkan nyawa. Jadi, tak perlu menunda-nunda; aksi nyata harus dimulai sekarang demi melindungi masa depan.