Liputan6.com, Jakarta Seorang pemimpin publik tidak akan efektif tanpa kemampuan komunikasi yang kuat. Komunikasi adalah alat utama bagi pemimpin untuk menyampaikan visi, tujuan, kebijakan, dan menginspirasi serta memobilisasi masyarakat. Hal ini sangat berpengaruh bagi seorang pemimpin publik yang ingin membangun legitimasi pada mata publik dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.
Pesan komunikasi dan gaya kepimpinan memiliki hubungan yang kuat untuk membentuk persepsi masyarakat. Gaya dan pesan komunikasi pemimpin publik sangat memengaruhi bagaimana masyarakat mempersepsikan pemimpin tersebut dan kebijakannya. Komunikasi yang cerdas dapat membangun citra positif dan dukungan.
Dalam konteks komunikasi politik dan kepemimpinan publik, teori ini menjadi sangat relevan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi formal, publik cenderung menggeser kepercayaannya pada figur-figur yang dianggap otentik, hadir, dan berbicara dengan bahasa yang dapat mereka mengerti.
Ini membawa kita pada fenomena Kang Dedi Mulyadi (KDM), tokoh Jawa Barat yang kembali menjadi pusat perhatian. Kekhasan gaya komunikasinya menggabungkan unsur kedekatan dengan rakyat dan penggunaan simbol budaya Sunda.
Gaya komunikasi KDM turut menjadi fenomena unik dalam politik lokal Indonesia, membentuk persepsi masyarakat melalui pendekatan multidimensi yang memadukan budaya lokal, media digital, dan strategi populis.
KDM menggunakan pendekatan budaya sunda yang menjadi fondasi komunikasi seperti murah hati atau loma, KDM membangun citra keterbukaan dengan berbagi informasi kebijakan secara langsung melalui media sosial dan blusukan dan mampu menghilangkan kesan eksklusivitas birokrasi.
KDM juga tergolong akrab atau ramah dalam penggunaan bahasa Sunda sehari-hari seperti ‘bapak aing’ dan interkasi informasi yang mampu menciptkan kedekatan emosional semisal terlihat dalam dialog petani atau pedagang kecil yang diunggal melalui Youtube. Terakhir, pendekatan yang dilakukan KDM bersikap bersahaja atau sederhana. Penampulan tanpa atribut elit (kemeja lengan digulung, sepeda ontel) dan kebiasaan makan di warung rakyat memperkuat citra ‘pemimpin lokal atau merakyat’.
Disrupsi Digital dan Pembentukan Citra
Dalam perspektif ilmu komunikasi publik, pendekatan yang digunakan oleh KDM dapat dianalisis melalui teori komunikasi dua arah, tingginya engagement (like/komentar/share) mampu menciptakan ilusi dialog langsung sehingga masyarakat merasa aspirasinya langsung didengar tanpa birokrasi.
Menurut Adorno dan Horkheimer (1944), media modern tidak lagi bertujuan membangkitkan kesadaran kritis, melainkan menciptakan budaya konsumsi pada setiap produk, termasuk produk politik, dikemas agar mudah dicerna, menghibur, dan mengkonfirmasi nilai-nilai yang sudah ada.
Dalam dunia ini, bahkan aktivisme sosial, bahkan kritik terhadap sistem, bisa direduksi menjadi sekadar tontonan cepat konsumsi: sesuatu yang menimbulkan rasa baik di hati penonton, tetapi tidak menuntut perubahan struktural nyata.
KDM mengerti hal ini, mungkin secara intuitif. Setiap aksinya di lapangan seperti menegur pembuang sampah, menghibur anak yatim, membantu pedagang kecil—selalu direkam dengan kualitas visual yang apik, diedit dengan musik latar yang menyentuh, dan dikemas dalam narasi storytelling sederhana yang mudah dipahami dan dibagikan. Tak ada kerumitan struktural di sana.
Tak ada juga diskusi panjang tentang sistem ekonomi, hak kepemilikan lahan, atau peran negara dalam menciptakan ketimpangan. Yang ada hanyalah visualisasi aksi individu yang membawa perubahan langsung, cepat, dan penuh emosi. Dalam bahasa industri budaya, ini merupakan produksi afeksi: membangkitkan rasa iba, rasa kagum, rasa haru—semua emosi yang membuat penonton merasa telah melakukan sesuatu hanya dengan menonton, menyukai, atau membagikan video tersebut. Ini membentuk kesadaran palsu baru: bahwa perubahan sosial dapat dicapai melalui perasaan semata, tanpa perlu mengorganisir diri, menggugat struktur, atau mengubah relasi produksi