Liputan6.com, Jakarta - Lanskap penyiaran di Indonesia mengalami perubahan yang sangat dinamis dalam dua dekade terakhir. Disrupsi digital telah mengguncang fondasi industri media, yang sebelumnya didominasi oleh media penyiaran konvensional seperti televisi dan radio. Hadirnya platform digital berbasis internet seperti YouTube, TikTok, Instagram, podcast, dan layanan Over The Top (OTT) seperti Netflix atau Disney+ telah menciptakan ekosistem baru dalam distribusi konten. Persaingan tak lagi terjadi hanya di antara media konvensional, melainkan juga melibatkan para pemain multiplatform yang tidak tunduk pada regulasi penyiaran konvensional. Kondisi ini menciptakan ketimpangan regulasi yang berdampak serius pada keadilan dan tata kelola penyiaran di Indonesia.
Terjadinya transformasi digital telah membawa perubahan besar terhadap pola masyarakat dalam mengakses dan mengonsumsi informasi dan hiburan. Internet dan teknologi mobile memungkinkan individu untuk menjadi produsen sekaligus konsumen konten. Akibatnya, media konvensional kehilangan dominasi tunggal atas ruang publik. Fenomena ini dikenal sebagai disrupsi digital, yakni suatu kondisi ketika inovasi teknologi mengganggu tatanan industri yang sudah mapan. Di Indonesia, dampak disrupsi digital sangat terasa pada industri penyiaran. Penurunan pendapatan iklan televisi konvensional, mencerminkan terjadinya pergeseran preferensi pengiklan ke media digital. Di lain pihak banyak konten kreator independen kini mampu menjangkau audiens yang luas tanpa harus melalui proses perizinandan regulasi yang ketat sebagaimana yang dihadapi oleh media penyiaran.
Kini peta persaingan media penyiaran juga telah berubah. Jika sebelumnya kompetisi hanya antara sesama stasiun televisi atau radio atau stasiun televisi dan radio atau stasiun televisi dan radio dengan media cetak, kini harus bersaing dengan multiplatform yang menawarkan kecepatan, keberagaman, serta kemudahan akses. YouTube, misalnya, telah menjadi kanal utama distribusi konten video, sementara TikTok menjelma sebagai platform hiburan dengan jutaan pengguna aktif harian. Masuknya para pemain multiplatform ini menimbulkan tantangan serius bagi media konvensional yang harus tetap mematuhi regulasi ketat dari negara seperti kewajiban sensor, pengaturan jam tayang, pembatasan iklan, dan aturan konten. Sementara pemain digital atau multiplatform tidak tunduk pada aturan yang sama. Ketidak seimbangan ini mengarah pada praktik persaingan yang tidak adil (unfair competition).
Salah satu akar masalah utama dari ketidakadilan ini adalah keterlambatan dan lambannya pembaruan regulasi penyiaran di Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah tidak lagi memadai dalam menjawab tantangan era digital. UU ini disusun ketika internet belum menjadi medium utama komunikasi massa, sehingga tidak terantisipasi dengan baik kehadiran multiplatform atau platform digital termasuk media sosial sebagai penyedia konten yang disiarkan kepada masyarakat. Ketimpangan regulasi ini bukan hanya menciptakan ketidakadilan struktural dalam industri penyiaran dan berdampak langsung pada ketahanan industri penyiaran nasional, namun lebih jauh lagi kondisi ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan keseimbangan dalam pembangunan nasional. Keadilan dalam penyiaran bukan hanya soal ekonomi dan persaingan bisnis, tetapi juga tentang tanggung jawab negara dalam melindungi masyarakat dari pengaruh konten yang tidak sesuai dengan nilai nilai dan kepribadian bangsa.
Merugikan Perlindungan Publik
Minimnya regulasi atau tanpa regulasi yang jelas terhadap multiplatform akan merugikan perlindungan publik. Banyak konten yang tersebar di platform digital tidak melalui proses kurasi atau sensor sebagaimana yang diwajibkan pada media penyiaran konvensional. Akibatnya, masyarakat terutama anak-anak dan remaja menjadi rentan terhadap paparan konten negatif seperti kekerasan, pornografi, ujaran kebencian, judi dan bahkan propaganda serta penyebaran ideologi yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Hal ini berpotensi melemahkan identitas nasional dan bahkan jika tidak hati-hati berpotensi meningkatkan polarisasi sosial di tengah masyarakat.
Untuk mencapai keadilan dalam regulasi penyiaran, beberapa hal penting harus menjadi perhatian di antaranya:
- Kesetaraan Aturan di mana semua penyelenggara konten, baik konvensional maupun multiplatform/digital, harus tunduk pada regulasi yang setara dalam hal isi, etika, tanggung jawab sosial dan kewajiban kepada negara.
- Transparansi dan Akuntabilitas yang mengharuskan proses regulasi dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
- Kepastian Hukum dalam arti regulasi harus memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi semua pelaku industri penyiaran dan juga masyarakat.
- Partisipasi Publik yang mewajibkan masyarakat dilibatkan dalam proses perumusan regulasi penyiaran, termasuk dalam penentuan standar konten dan pengawasan.
- Adaptif terhadap Perubahan Teknologi yaitu regulasi yang dibuat harus fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Ada beberapa teori komunikasi dan media yang dapat menjadi dasar argumen untuk pentingnya regulasi berkeadilan dalam penyiaran. Pertama, teori Tanggung Jawab Sosial yang menekankan bahwa media memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat, serta harus diatur untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan media. Kedua, teori Spiral of Silence dari Elisabeth Noelle-Neumann yang menegaskan bahwa tanpa regulasi, suara mayoritas bisa menekan minoritas, atau sebaliknya, suara ekstrem dapat mendominasi jika tidak dikendalikan. Ini bisa merusak demokrasi dan keharmonisan sosial. Ketiga, teori Ekologi Media dari Marshall McLuhan yang menyebutkan media sebagai teknologi mempengaruhi cara masyarakat berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, perubahan bentuk media (seperti halnya multiplatform) harus diimbangi dengan regulasi agar tidak merusak tatanan sosial.
Regulasi Multiplatform Sangat Relevan
Saat ini multiplatform yang berperan sebagai penyedia konten penyiaran yang bisa diakses oleh masyarakat antara lain Platform Video Sharing seperti YouTube, Vimeo, TikTok; Layanan Streaming OTT seperti Netflix, Disney+, Vidio, iFlix; Media Sosial seperti Facebook, Instagram, X (dulu Twitter); Podcast dan Live Streaming Apps seperti Spotify, Clubhouse, Twitch. Konten yang disiarkan oleh multiplatform ini belum diatur oleh hukum penyiaran Indonesia. Karena itu regulasi multiplatform sangat relevan karena terkait dengan: Satu, Perlindungan Anak dan Remaja dimana konten harus sesuai usia dan memiliki klasifikasi yang jelas. Dua, Standar Etika dan Moral untuk mencegah penyebaran konten kekerasan, pornografi, ujaran kebencian. Tiga, Keamanan Nasional dalam rangka mendeteksi dan mencegah konten bermuatan propaganda, ideologi tertentu, hoaks, ujaran kebencian, dan ekstremisme. Empat, Keadilan Bisnis dengan menjaga agar pemain digital tidak merusak ekosistem media penyiaran konvensional Indonesia yang tunduk pada regulasi ketat.
Pengaturan multiplatform ini bukan hal yang haram ataupun hal yang mustahil. Beberapa negara telah mengambil langkah untuk mengatur media multiplatform seperti Jerman melalui Interstate Treaty on Media, yang menetapkan kewajiban platform digital untuk mematuhi prinsip pluralisme, netralitas, dan tanggung jawab sosial. Australia memberlakukan kode etik konten digital dan mewajibkan platform seperti Facebook dan Google untuk membayar media lokal. Uni Eropa melalui Audiovisual Media Services Directive (AVMSD), mengatur konten video online agar setara dengan penyiaran konvensional. Kemudian Singapura juga mengatur konten digital melalui Infocomm Media Development Authority (IMDA), termasuk sistem klasifikasi dan pelaporan konten.
Karenanya di perlukan percepatan lahirnya regulasi penyiaran yang berkeadilan. Hal ini membutuhkan keterlibatan aktif dari berbagai pihak seperti pemerintah, parlemen, pelaku industri, regulator penyiaran/pers, akademisi, lembaga riset, kelompok masyarakat sipil. Masing-masing memiliki peran dan kontribusi sesuai dengan tugas, peran, fungsi dan pengalaman masing-masing. Keadilan regulasi dalam penyelenggaraan penyiaran adalah keniscayaan di tengah perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. Ketimpangan antara media konvensional dan multiplatform menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat dan mengancam keberlangsungan media yang berkualitas. Lebih dari itu, minimnya regulasi juga melemahkan perlindungan masyarakat dari konten yang negatif. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dan tindakan nyata dari seluruh pemangku kepentingan untuk melahirkan regulasi penyiaran yang adil, adaptif, dan berlandaskan Pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.