Kardinal Suharyo Kenang Paus Fransiskus: Sosok Sederhana Pemimpin Gereja, Mengaku Senang Berada di Indonesia

1 month ago 35

Liputan6.com, Jakarta - Setelah Paus Fransiskus meninggal, Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo mengenang sosoknya sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi kesederhanaan, tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam pendekatannya terhadap umat.

Menurut Kardinal Suharyo, nilai kesederhanaan tersebut sangat terasa saat Paus Fransiskus melakukan kunjungan ke Indonesia pada 4-6 September 2024.

"Kesederhanaan itu tidak hanya tampak ketika beliau berkunjung ke Indonesia, tapi juga sangat jelas di pusat Gereja, di Vatikan," ujar Kardinal Suharyo dalam konferensi pers di Gereja Katedral, Senin (21/4/2025). 

Selama kunjungannya ke Indonesia, Paus Fransiskus memilih kendaraan yang umum digunakan masyarakat, bukan mobil mewah sebagaimana lazimnya kepala negara atau pemimpin besar dunia.

"Mobil yang beliau pakai itu tahun lama. Beliau kepala negara, tetapi pilihannya seperti itu. Sangat sederhana," kata Kardinal Suharyo.

Tak hanya dari kendaraan, kesan mendalam juga muncul dari cara Paus berinteraksi. Kardinal Suharyo mengisahkan bagaimana Paus lebih memilih bergabung bersama para uskup dalam jam istirahat minum daripada menempati ruangan khusus.

Bahkan, dalam Sinode Para Uskup sedunia, Paus Fransiskus kerap datang lebih awal untuk menyambut peserta satu per satu, sebuah kebiasaan yang belum pernah dilakukan para Paus sebelumnya.

"Beliau bisa bergurau, sangat ramah, dan tidak segan berbicara akrab bahkan dengan sopir. Saya pernah satu mobil dengan beliau dua kali, beliau sangat senang berada di Indonesia," kenang Kardinal Suharyo.

Momen Mengesankan Paus Fransiskus dengan Imam Nasaruddin Umar

Kesan mendalam juga tercermin saat Paus Fransiskus mengunjungi Masjid Istiqlal. Momen saling mencium tangan antara Paus dan Imam Besar Istiqlal Nasaruddin Umar menjadi simbol keakraban lintas agama yang menyentuh banyak pihak.

"Kalau tidak ada ketulusan dari dua pribadi, momen itu tidak mungkin terjadi. Itu ketulusan yang nyata," ungkap Kardinal Suharyo.

Kesederhanaan Paus Fransiskus juga tampak dalam keputusannya untuk tidak tinggal di Istana Kepausan, melainkan di Domus Sanctae Marthae—penginapan sederhana di dalam wilayah Vatikan.

"Itu bukan soal tempat tinggal saja, tapi simbol keinginan beliau untuk mengubah wajah Gereja dari yang monarkis menjadi Gereja yang melayani," jelasnya.

Kardinal Suharyo menyebut bahwa pilihan hidup Paus Fransiskus mencerminkan transformasi pribadi yang sudah terjadi sejak usia muda. Pengalaman rohani mendalam di usia 17 tahun, saat Paus masih bernama Jorge Mario Bergoglio, menjadi titik balik dalam hidupnya.

"Pengalaman akan Allah yang Maha Rahim itulah yang menjadi dasar seluruh sikap hidupnya. Tidak heran jika pilihan-pilihannya selalu berpihak kepada mereka yang terpinggirkan, seperti para pengungsi di Pulau Lampedusa," kata Kardinal Suharyo.

Ingin Upacara Pemakaman Sederhana

Bahkan dalam kematiannya, Paus Fransiskus tetap memilih kesederhanaan. Ia tidak menginginkan upacara pemakaman yang megah, melainkan agung dalam makna yang sesungguhnya. 

"Bukan karena kuasa yang dimiliki, tapi karena keteladanan yang beliau tunjukkan," tutup Kardinal Suharyo.

Read Entire Article