Distonia dan Sindrom Tourette, Gangguan Gerak yang Kerap Tak Terdiagnosis dengan Baik

2 weeks ago 23

Liputan6.com, Jakarta Gangguan gerak dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Gerakan yang tidak terkendali dapat membuat kualitas hidup pasien menurun.

Contoh gangguan gerak yang kerap terjadi adalah distonia dan sindrom Tourette. Distonia adalah gangguan gerak dengan gejala seperti kedutan atau leher miring.

Meski terdengar asing, gangguan ini sebenarnya cukup umum, hanya saja sering kali tidak terdiagnosis dengan baik.

Menurut dokter spesialis neurologi di RS Siloam Lippo Village, Rocksy Fransisca V. Situmeang, distonia merupakan gangguan neurologi yang ditandai dengan kekakuan otot yang berkepanjangan dan di luar kendali. Sehingga, sering menyebabkan gerakan berulang dan postur tubuh menjadi tidak normal serta rasa nyeri yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

Distonia dialami oleh sekitar 16 per 100.000 orang. Gejala yang muncul dapat mengenai berbagai kelompok otot. Seperti di daerah leher yang orang awam sebut dengan “tengleng” atau “tengeng”, otot-otot wajah yang dikenal sebagai kedutan, otot vokal yang menimbulkan suara aneh yang tidak terkontrol, dan otot-otot tangan serta kaki yang dapat menimbulkan gerakan aneh seperti menari. 

Rocksy menjelaskan, diagnosis distonia memerlukan evaluasi klinis mendalam.

“Dokter akan melakukan wawancara medis untuk mengetahui kapan gejala pertama kali muncul, apakah ada riwayat keluarga dengan kondisi serupa, serta faktor pemicu seperti stres atau trauma,” kata Rocksy dalam keterangan pers dikutip Senin (17/3/2025).

Beberapa kasus distonia mungkin memerlukan pemeriksaan tambahan seperti MRI atau tes genetik untuk memastikan penyebabnya.

Aksi unjuk rasa Santi Warastuti memohon kepada pemerintah untuk melegalkan penggunaan ganja medis bagi anaknya, penderita penyakit cerebral palsy, mengundang simpati masyarakat. Dukungan mengalir untuk membuka penelitian bagi penggunaan ganja medis, ...

Promosi 1

Mengenal Sindrom Tourette

Sementara sindrom Tourette merujuk pada serangkaian gejala berupa gerakan tak terkendali pada otot (tics), terutama di area wajah dan otot vokal.

Sindrom Tourette merupakan gangguan neurologis kompleks yang ditandai dengan munculnya tics, yaitu gerakan otot yang tidak disadari. Tics ini dapat berupa kedutan pada wajah, otot sekitar mata dan pipi (motor tics), hingga suara-suara tidak disengaja seperti berdehem atau bahkan teriakan mendadak yang tidak dapat dikontrol (vocal tics).

Gejala ini sering kali membuat pengidapnya kesulitan dalam berinteraksi sosial dan dapat menimbulkan kecemasan atau depresi.

Sindrom Tourette lebih sering terjadi pada laki-laki dan diduga dipengaruhi oleh faktor genetik serta stres pada ibu hamil. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa sindrom ini bisa diperburuk oleh kondisi lingkungan yang penuh tekanan dan gangguan kecemasan yang mendasarinya.

Diagnosis sindrom Tourette melibatkan wawancara klinis dan pengamatan jangka panjang terhadap gejala pasien.

“Kami menilai frekuensi dan tingkat keparahan tics menggunakan skala khusus seperti Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS). Jika skornya di atas 35/50, prosedur DBS bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan,” kata Rocksy.

Penanganan Distonia dan Sindrom Tourette

Kabar baiknya, distonia dan sindrom Tourette dengan tingkat keparahan berat dapat ditangani dengan terapi Deep Brain Stimulation (DBS).

Untuk menangani distonia dan sindrom Tourette, terapi awal biasanya berupa kombinasi obat-obatan dan terapi fisik. Penggunaan obat ditujukan untuk meredakan nyeri serta mengurangi kontraksi otot yang tidak terkendali, sementara fisioterapi dapat membantu pasien dalam memperbaiki postur tubuh serta meningkatkan kontrol terhadap gerakan mereka.

Dalam kasus sindrom Tourette, terapi psikologis juga sering kali diperlukan karena gangguan ini berkaitan erat dengan faktor kecemasan dan gangguan psikologis lainnya seperti OCD (Obsessive Compulsive Disorder) atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).

Konseling dan terapi perilaku kognitif dapat membantu pasien dalam mengatasi dampak psikologis dari kondisi mereka.

Bagi Pengidap Gangguan Gerak dengan Kondisi Berat

Bagi pengidap gangguan gerak dengan kondisi berat yang tidak membaik dengan terapi konvensional, DBS bisa menjadi pilihan.

Prosedur ini bekerja dengan cara menanamkan elektroda di dalam otak yang memberikan stimulasi listrik ke area yang mengontrol gerakan, sehingga gejala dapat berkurang secara signifikan.

Menurut dokter spesialis bedah saraf di RS Siloam Lippo Village, Made Agus Mahendra Inggas, prosedur DBS hanya bisa dilakukan pada pasien yang memenuhi beberapa syarat tertentu.

DBS direkomendasikan bagi pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi, terutama yang mengalami distonia umum (general) atau sindrom Tourette berat.

Evaluasi sebelum prosedur melibatkan diskusi antara dokter spesialis saraf dan bedah saraf, serta keluarga pasien untuk memastikan apakah prosedur ini merupakan pilihan terbaik. Selain itu, pasien harus menjalani serangkaian pemeriksaan neurologis dan psikologis untuk mengidentifikasi apakah ada kontraindikasi medis sebelum operasi.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |