Cerita 3 Mahasiswa Penyandang Autisme Arungi Masa Kuliah di UGM

17 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta Tiga mahasiswa penyandang autisme membagikan pengalaman dan praktik baik selama berkuliah di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ketiga mahasiswa itu adalah Riani Wulan Sujarrivani dari prodi S1 Ilmu Tanah angkatan 2024, Siham Hamda Zaula Mumtaza dari prodi S1 Ilmu dan Industri Peternakan angkatan 2019, dan Muhammad Rhaka Katresna dari prodi Magister Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana.

Riani berkisah, sebagai penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD), ia sempat mendapat stigma yakni dianggap bodoh oleh masyarakat dan dianggap tidak mandiri.

“Beruntung, saya mendapat dukungan dari keluarga dan guru. Orangtua bahkan sempat berhenti bekerja karena melihat perkembangan saya yang berbeda dan ingin mendampingi saya lebih dekat,” kenang Riani mengutip laman UGM, Selasa (15/4/2025).

“Ketika sekolah, saya juga mendapatkan dukungan moral dari para guru untuk belajar mandiri dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya dalam sharing session bertajuk “Refleksi Hak Pendidikan dan Pengalaman Mahasiswa Autisme dalam Menempuh Pendidikan Tinggi di UGM.”

Sebagai penyandang autisme, Riani mengaku dirinya sempat mengalami kegagalan dalam mengikuti proses seleksi di tiga jalur seleksi masuk UGM pada tahun pertama. Namun, ia tidak menyerah dan akhirnya diterima pada tahun kedua melalui jalur UM UGM CBT.

Selama berkuliah, sambung Riani, ia memiliki tantangan tersendiri dalam menyelesaikan tugas tepat waktu, serta belum terbiasa dengan laboratorium karena belum terbiasa dengan instrumen yang ada.

Meski begitu, Riani menyampaikan bahwa ia mendapatkan dukungan dari pihak universitas dan fakultas, seperti perpanjangan waktu pengerjaan tugas dan akses ke layanan disabilitas. Meski ia sempat mengalami kendala ketika mencoba mengajukan permohonan layanan pendukung di awal masa studinya.

Peneliti dari Universitas Michigan berencana untuk mempelajari anak-anak yang memiliki gangguan ekstrim autisme dalam mendeteksi bahaya di jalan.

Kisah Siham

Dalam kesempatan yang sama, Siham, mahasiswa penyandang autisme kelahiran Bojonegoro, Jawa Tengah juga turut berbagi kisah sebagai penyandang autisme dan gangguan kesehatan mental.

Siham didiagnosis dengan ASD saat masih di sekolah dasar dan telah menjalani berbagai terapi sejak usia dini meski diagnosis itu sempat disangkal oleh orangtuanya.

“Pada saat awal saya diagnosis Autism Spectrum Disorder, orangtua saya, terutama ayah saya, menolak status Autism Spectrum Disorder saya. Dibilang, saya ini adalah orang normal, tidak ada kekurangan,” katanya.

Agar mendapatkan dukungan yang sesuai untuk Siham selama proses perkuliahan, Unit Layanan Disabilitas (ULD UGM) melakukan asesmen dan pengaturan ulang dosen pengampu setiap semester, serta penyampaian informasi kepada asisten praktikum mengenai kondisi Siham.

Ia juga mengaku mendapatkan pendampingan khusus untuk membantu proses belajar. Menurutnya, penting untuk adanya asesmen berkelanjutan yang dipantau dan ditindaklanjuti agar pendampingan dan penyesuaian selama perkuliahan tetap relevan dan efektif.

Kisah Rhaka

Autisme, menurut Rhaka, bukanlah sekadar kondisi kesehatan mental, melainkan disabilitas perkembangan.

Sejak kecil hingga dewasa, ia mengalami perbedaan perkembangan yang tidak diidentifikasi secara tepat oleh sistem layanan kesehatan. Rhaka berbagi kisahnya dalam memperoleh diagnosis autisme di usia dewasa. Ia mengaku bahwa mendapatkan diagnosis autisme di usia dewasa bukanlah perkara mudah, apalagi di Indonesia.

Selama 27 tahun hidupnya, ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan keluarga dan ketidakpastian dari layanan kesehatan.

“Diagnosis autisme pada anak-anak saat ini cenderung lebih mudah karena banyak tenaga ahli yang fokus di sana. Tapi untuk usia dewasa, justru jauh lebih sulit,” ungkapnya.

Setelah lulus S1 Psikologi, ia akhirnya memilih untuk melanjutkan S2 di Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya di UGM, yang menyatakan bahwa program ini terbuka terhadap mahasiswa autistik.

Orang dengan Autisme Miliki Minat Khusus

Rhaka menekankan bahwa orang autis cenderung memiliki minat khusus. Setiap individu memiliki ketertarikan mendalam yang berbeda-beda. Dalam kasusnya, ia tertarik pada penelitian berbasis pengalaman autistik, bidang yang masih jarang diakui di Indonesia. Di prodi Studi Agama dan Lintas Budaya selalu mendukung minat risetnya, termasuk dalam membangun epistemologi studi yang berasal dari perspektif orang autistik.

“Di prodi ini, saya bisa mendapat ruang untuk mengkritisi konstruksi ilmu tersebut,” katanya.

Selama berkuliah di UGM, Rhaka mendapatkan dukungan dalam bentuk perpanjangan tenggat tugas, pembelajaran berbasis proyek, serta metode yang fleksibel dan efektif. Ia menekankan bahwa diskriminasi yang didapatkannya menjadi alasan mengapa orang autistik harus mulai mengambil ruang, membangun cara sendiri untuk bersuara, agar dapat hidup sesuai dengan kebutuhan mereka, bukan ekspektasi pihak lain.

“Saya punya diagnosis ganda, autisme dan ADHD. Tapi saya bangga. Jadi saya mengajak teman-teman semua untuk bangga. Kita mesti bangga menjadi diri sendiri, sebagaimana adanya,” tutup Rhaka.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |