30 April 2013: Ratu Beatrix Turun Takhta, Willem-Alexander Jadi Raja Belanda

8 hours ago 5

Liputan6.com, Amsterdam - Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu abad, Belanda kembali dipimpin oleh seorang raja. Pada Selasa 30 April 2013, Willem-Alexander resmi naik takhta menggantikan ibunya, Ratu Beatrix yang mengakhiri masa pemerintahannya setelah 33 tahun memimpin Negeri Kincir Angin itu.

Momen bersejarah tersebut menandai babak baru dalam monarki Belanda, sekaligus menghidupkan kembali tradisi kerajaan yang sudah lama tidak disandang oleh seorang raja 120 tahun sebelumnya.

Dalam sebuah laporan CNN yang dikutip Rabu (30/4/2025), momen bersejarah terjadi di Aula Mozes, Istana Kerajaan di Amsterdam, yang dipenuhi suasana khidmat. Ratu Beatrix yang saat itu berusia 75 tahun secara resmi menyerahkan kekuasaan pada Willem-Alexander. 

Momen penting itu menjadi sah setelah ia membubuhkan tanda tangan pada dokumen resmi bernama instrument of abdication. Sejak saat itu, gelarnya pun berubah bukan lagi Ratu, melainkan kembali menjadi Putri Beatrix.

Sorak sorai meledak dari kerumunan warga yang berkumpul di luar istana, menyaksikan jalannya upacara melalui layar lebar. Jurnalis CNN, Max Foster, melaporkan bahwa banyak warga Belanda telah berpesta hingga larut malam.

Ribuan warga yang antusias, banyak di antaranya mengenakan wig, kaus, dan topi berwarna oranye, memadati jalan Damrak menuju pusat kota. Bendera-bendera berkibar dengan tulisan “Dag Beatrix” di satu sisi dan “Hallo Willem-Alexander” di sisi lain.

Dentang lonceng gereja menggema di seluruh penjuru kota saat keluarga kerajaan muncul di balkon istana. Massa yang memenuhi alun-alun melambaikan bendera dan meniup terompet. 

"Saya gembira dan bersyukur dapat mempersembahkan Raja Willem-Alexander yang baru," kata Beatrix kepada hadirin.

Willem-Alexander menyampaikan rasa terima kasih atas kepercayaan dan dukungan rakyat saat memulai masa kepemimpinannya. Ia juga menyampaikan penghargaan untuk sang ibu atas “33 tahun yang menyentuh dan menginspirasi.”

Ratu Beatrix Menyerahkan Takhta, Willem-Alexander Mengucap Sumpah

Ratu Beatrix turun takhta bertepatan dengan Queen’s Day (Hari Ratu), sebuah hari libur nasional yang dirayakan warga Belanda dengan berdandan meriah dan berpesta. Penobatan raja yang baru, yang diiringi sumpah jabatan di hadapan sidang bersama parlemen, menjadi puncak dari rangkaian perayaan memperingati akhir pendudukan Napoleon pada 1813.

Sebelum mengucapkan sumpahnya, Raja Willem-Alexander menyampaikan terima kasih kepada sang ibu atas “tahun-tahun indah yang telah dilaluinya sebagai ratu.”

“Ibunda tercinta,” ucapnya, “selalu tenang di masa sulit dan teguh pada pendiriannya. Saya mengikuti jejakmu, meski tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi di masa depan.”

Raja kemudian bersumpah, “Akan menjaga kemerdekaan dan wilayah kerajaan sebaik mungkin... demi Tuhan.”

Beatrix sebelumnya telah mengumumkan niatnya untuk turun takhta pada Januari 2013, dengan alasan saatnya generasi baru memimpin.

“Saya selalu menganggap bahwa merupakan sebuah kehormatan luar biasa bisa mendedikasikan sebagian besar hidup saya untuk negara ini dan melaksanakan tugas saya sebagai ratu,” ujar Beatrix, yang naik takhta setelah ibunya, Ratu Juliana, turun takhta pada 1980.

“Hingga hari ini, tugas mulia ini memberikan banyak kepuasan. Sungguh menginspirasi bisa dekat dengan rakyat, turut berduka saat musibah, dan berbagi suka serta kebanggaan nasional.”

Media Belanda berspekulasi bahwa keputusan Beatrix untuk turun takhta berkaitan dengan keinginan menghabiskan lebih banyak waktu bersama putra keduanya, Friso, yang mengalami koma akibat tertimbun longsoran salju di sebuah resor ski di Austria tahun sebelumnya. Ia kini masih dirawat di sebuah rumah sakit di London.

Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Senin malam 29 April 2013, Ratu Beatrix menyatakan keyakinannya bahwa pasangan kerajaan yang baru akan mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat.

“Putra sulung saya kini akan menjalani tugas indah yang penuh tanggung jawab besar,” ujarnya. “Saya benar-benar yakin Willem-Alexander akan menjalankan tugas sebagai raja dengan setia dan sepenuh hati.”

Raja Belanda untuk Abad ke-21

Raja Willem-Alexander yang saat itu berusia 46 tahun mengenyam pendidikan di Wales dan Belanda, dan meraih gelar sejarah dari Universitas Leiden. Ia pernah bertugas di Angkatan Laut Kerajaan Belanda dari 1985 hingga 1987. Sebagai Prince of Orange -gelar bagi pewaris takhta Belanda dikenal memiliki ketertarikan pada isu keberlanjutan dan inovasi.

Ia menikah dengan Máxima, perempuan kelahiran Buenos Aires, Argentina, yang memiliki gelar sarjana ekonomi dan pengalaman kerja di HSBC serta Deutsche Bank. Pasangan ini telah menikah selama 11 tahun dan dikaruniai tiga putri.

Pekan sebelumnya, keduanya menjalani wawancara televisi bersama pertama mereka. Dalam wawancara tersebut, Willem-Alexander memaparkan visi kepemimpinannya sebagai raja.

“Saya ingin menjadi raja yang, pertama-tama, bersandar pada tradisi para pendahulu saya, yang menjunjung kesinambungan dan stabilitas... namun juga menjadi raja abad ke-21 yang bisa menyatukan dan mewakili seluruh masyarakat,” ujarnya.

Ketika ditanya bagaimana cara mewujudkannya, Willem menjawab kepada stasiun penyiaran NOS: “Dengan hadir di tempat yang membutuhkan dukungan atau bantuan, memberikan perhatian khusus pada acara penting, serta mendampingi mereka yang sedang dalam kesulitan.”

Satu ketidakhadiran yang mencolok pada upacara Selasa (30/4/2013) adalah ayah Ratu Máxima, Jorge Zorreguieta, yang pernah menjabat sebagai menteri pada masa rezim militer Argentina 1976–1983.

Máxima menyatakan bahwa keluarganya tidak hadir dalam penobatan karena masa lalu sang ayah yang kontroversial.

“Ini adalah acara kenegaraan, di mana suami saya menjadi raja, dan ayah saya tidak punya tempat di sana, apalagi jika menimbulkan persoalan,” ujar sang putri kepada NOS. “Namun, ia tetap ayah saya, dan kami masih menikmati momen pribadi bersama.”

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |