Anak Muda di China Pilih Tinggal Serumah dengan Teman Demi Hindari Tekanan Sosial

6 hours ago 4

Liputan6.com, Beijing - Di tengah tekanan keluarga dan norma sosial yang kuat, generasi muda di China mulai menempuh jalur baru dalam membangun kehidupan berumah tangga.

Mereka memilih menikah dengan sahabat sendiri dalam sebuah tren yang dikenal sebagai friendship marriage — sebuah bentuk pernikahan yang tidak berlandaskan cinta romantis maupun hubungan seksual, melainkan pertemanan dan nilai-nilai bersama.

Friendship marriage memberikan jalan bagi dua orang untuk menjadi pasangan sah secara hukum tanpa harus memenuhi ekspektasi tradisional tentang cinta, pernikahan, dan keturunan. Mereka tetap menjadi suami-istri secara legal, sering tinggal serumah, namun tidur di kamar terpisah dan bebas menjalin hubungan dengan orang lain di luar pernikahan.

Mengutip SCMP, Rabu (30/4/2025), kesepakatan ini memungkinkan pasangan menjaga kemandirian pribadi sambil tetap saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu contoh datang dari Meilan, seorang perempuan asal Chongqing berusia akhir 20-an, yang menikahi sahabatnya empat tahun lalu.

Setelah mendaftarkan pernikahan secara resmi, mereka sepakat untuk tidak mengadakan upacara pernikahan, tidak bertukar hadiah, dan memilih untuk tidak memiliki anak. Meilan mengatakan bahwa pernikahan mereka memungkinkan keduanya menjadi wali sah satu sama lain, sehingga dapat membuat keputusan penting dalam situasi darurat medis.

Meski orang tua mereka tidak sepenuhnya memahami keputusan tersebut, kemandirian finansial membuat mereka dapat menjalani kehidupan sesuai pilihan mereka.

Dalam kesehariannya, Meilan dan suaminya berbagi biaya hidup, menyumbangkan dana bersama untuk membeli rumah, serta menjaga keuangan pribadi masing-masing. Mereka tetap mempertahankan ruang pribadi dan menjadikan rumah mereka sebagai tempat tinggal bersama yang nyaman, tanpa tekanan hubungan romantis.

Terjadi di Kota Besar

Fenomena friendship marriage ini juga terlihat di kota-kota besar lain seperti Shanghai.

Chloe, seorang perempuan berusia 33 tahun, memilih menikah dengan teman universitasnya untuk menghindari gosip sosial mengenai status lajang. Untuk menjaga batasan dan hak masing-masing, Chloe dan suaminya menandatangani perjanjian pra-nikah.

Di dalamnya, mereka mengatur pembagian biaya rumah tangga, hak kepemilikan aset, serta menyepakati "divorce trigger" — klausul yang memungkinkan mereka bercerai jika salah satu menemukan cinta sejati di masa depan.

Meskipun pernikahan semacam ini menawarkan kebebasan dari tekanan sosial dan memberi ruang bagi kemandirian individu, para ahli mengingatkan bahwa friendship marriage bukan solusi yang cocok untuk semua orang.

Pan Lian, seorang konsultan hubungan keluarga dari Provinsi Hubei, menilai hubungan ini berpotensi tidak stabil dalam jangka panjang, karena lebih merupakan respons terhadap tekanan sosial ketimbang kebutuhan emosional yang mendalam.

Meskipun begitu, banyak pasangan friendship marriage yang membagikan kisah mereka di media sosial dan mendapat dukungan luas dari publik.

Mereka dipandang sebagai contoh keberanian generasi baru dalam mendefinisikan ulang konsep keluarga: bukan sekadar ikatan romantis, melainkan kemitraan sejati berdasarkan rasa hormat, kemandirian, dan dukungan satu sama lain.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |