Tuvalu di Ambang Tenggelam, Warganya Berlomba Menuju Australia

3 days ago 20

Liputan6.com, Fongafale - Lebih dari sepertiga populasi Tuvalu mengajukan permohonan untuk pindah ke Australia melalui skema visa bersejarah yang dirancang untuk membantu warga melarikan diri dari naiknya permukaan laut.

Negara kepulauan ini, yang terletak di antara Hawaii dan Australia, dihuni oleh sekitar 10.000 orang yang tersebar di pulau-pulau kecil dan atol di Samudra Pasifik Selatan.

Karena seluruh wilayahnya berada kurang dari enam meter di atas permukaan laut, Tuvalu menjadi salah satu negara yang paling rentan di dunia terhadap ancaman kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim.

Pada 16 Juni, Australia membuka jendela pendaftaran selama kurang lebih satu bulan untuk apa yang diklaim sebagai skema visa unik yang dilatarbelakangi oleh perubahan iklim. Dalam skema baru ini, Australia akan menerima 280 pemegang visa yang terpilih melalui undian acak antara Juli hingga Januari 2026. Warga Tuvalu yang terpilih akan langsung mendapatkan izin tinggal permanen setibanya di Australia, dengan hak untuk bekerja serta akses terhadap layanan kesehatan publik dan pendidikan.

Menurut data resmi yang dilihat oleh CNN, lebih dari 4.000 orang telah mengajukan permohonan dalam skema ini.

"Pembukaan Jalur Mobilitas Falepili (Falepili Mobility Pathway) mewujudkan visi bersama kita untuk mobilitas yang bermartabat, dengan memberikan warga Tuvalu kesempatan untuk tinggal, belajar, dan bekerja di Australia seiring memburuknya dampak perubahan iklim," kata Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong seperti dilansir CNN.

Perdana Menteri Tuvalu Feleti Teo memperkirakan bahwa pada tahun 2050, lebih dari separuh wilayah negaranya akan secara rutin tergenang oleh air pasang. Bahkan, menurutnya, pada tahun 2100 sekitar 90 persen dari seluruh wilayah Tuvalu akan berada di bawah air secara permanen.

Kedaulatan Digital

Fongafale, ibu kota negara tersebut, merupakan pulau terbesar dan terpadat di atol utama Tuvalu, Funafuti. Pulau ini memiliki bentangan daratan seperti landasan pacu yang lebarnya hanya sekitar 20 meter di beberapa bagian.

"Bayangkan Anda berada di posisi saya, sebagai perdana menteri Tuvalu, memikirkan pembangunan, memikirkan layanan untuk kebutuhan dasar rakyat kami, dan pada saat yang sama disodori dengan ramalan yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan," kata Teo dalam Konferensi Samudra Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan ini di Nice, Prancis.

"Relokasi internal di Tuvalu bukanlah pilihan, kami benar-benar datar. Tidak ada opsi untuk pindah ke daratan atau ke tempat yang lebih tinggi karena tidak ada tanah yang lebih tinggi.”

Skema visa ini merupakan bagian dari perjanjian yang lebih luas yang ditandatangani antara Australia dan Tuvalu pada 2023, yang mengikat Australia untuk membela Tuvalu baik secara militer maupun dari ancaman kenaikan permukaan laut.

Tuvalu, yang mengklaim wilayah seluas 900.000 kilometer persegi di Samudra Pasifik, dipandang oleh Canberra sebagai pemain penting dalam perebutan pengaruh regional yang terus berlangsung dengan China.

Pengakuan merupakan sesuatu yang dijamin oleh Australia untuk Tuvalu, bahkan jika nantinya tidak ada lagi yang bisa tinggal di sana.

"Status kenegaraan dan kedaulatan Tuvalu akan terus diakui, serta hak serta kewajiban yang melekat padanya akan tetap dipertahankan, terlepas dari dampak kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim," demikian isi perjanjian mereka.

Pada 2022, dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, Tuvalu mengumumkan bahwa mereka berniat menjadi negara pertama di dunia yang sepenuhnya berpindah ke dunia digital. Pemerintah sejak itu telah mengembangkan rencana untuk menciptakan ulang wilayahnya secara digital, mengarsipkan sejarah dan budaya yang kaya, serta memindahkan seluruh fungsi pemerintahan ke ruang digital.

Australia kini mengakui "kedaulatan digital" Tuvalu, yang diharapkan negara itu akan memungkinkannya mempertahankan identitasnya dan terus berfungsi sebagai negara, bahkan setelah tanah fisiknya hilang.

Kebijakan Australia dan AS Bertolak Belakang

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengatakan tahun lalu bahwa negaranya memiliki visi bersama untuk kawasan yang damai, stabil, makmur, dan bersatu.

"Itu menunjukkan kepada mitra-mitra kami di Pasifik bahwa mereka dapat mengandalkan Australia sebagai mitra yang tulus dan dapat dipercaya," ujarnya.

Dukungan Australia terhadap negara kepulauan Pasifik ini sangat kontras dalam beberapa bulan terakhir dengan pemerintahan Presiden Donald Trump, yang telah memberlakukan pengetatan besar-besaran terhadap kebijakan iklim dan imigrasi.

Tuvalu, menurut Associated Press, termasuk dalam daftar 36 negara yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintahan Trump untuk dimasukkan ke dalam daftar larangan perjalanan saat ini.

Larangan tersebut sepenuhnya membatasi masuknya warga dari 12 negara: Afghanistan; Myanmar, juga dikenal sebagai Burma; Chad; Republik Kongo; Guinea Khatulistiwa; Eritrea; Haiti; Iran; Libya; Somalia; Sudan; dan Yaman. Warga dari tujuh negara juga menghadapi pembatasan sebagian: Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.

Ke-36 negara, termasuk negara tetangga Tuvalu di Pasifik seperti Tonga dan Vanuatu, telah diberi tahu untuk berkomitmen memperbaiki proses penyaringan pelancong dan mengambil langkah untuk menangani status warga mereka yang berada di Amerika Serikat (AS) secara ilegal atau menghadapi pembatasan serupa, lapor AP, mengutip kabel diplomatik yang dikirim oleh Kementerian Luar Negeri AS.

Read Entire Article