, Jakarta - Sebuah penelitian internasional mendalam dalam kerangka "Studi Kesejahteraan Global" (GFS) berusaha mengungkap makna kehidupan bahagia dan di negara mana masyarakat merasa paling puas, sejahtera, dan berkembang - faktor-faktor yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan sejati.
Temuan studi ini memetakan beragam narasi kehidupan yang unik, sangat bergantung pada konteks negara dan pengalaman personal masing-masing individu. Makna "sejahtera" atau "berkembang" ternyata bukanlah tentang pencapaian materi semata, melainkan tentang perjuangan untuk meraih kehidupan yang bermakna, penuh sukacita, dan terus bertumbuh sebagai pribadi.
Laporan DW Indonesia yang dikutip Minggu (4/5/2025) menyebut sebuah studi terbaru yang mengeksplorasi kesejahteraan global melalui pendekatan multidimensi mengungkap temuan yang bertolak belakang dengan Laporan Kebahagiaan Dunia (WHP) yang selama ini menjadi acuan. Penelitian ini tidak hanya mengukur kebahagiaan secara konvensional, tetapi menggali berbagai aspek kehidupan yang mencakup "Kesehatan, kesejahteraan subyektif, makna hidup, karakter, hubungan, dan keamanan finansial", menciptakan sebuah indeks perkembangan atau kesejahteraan yang lebih menyeluruh.
Dengan melibatkan "lebih dari 200.000 orang dari 22 negara berbeda di seluruh dunia, termasuk Indonesia dan Jerman", studi ini dirancang untuk diulang setiap tahun dengan responden yang sama, memungkinkan para peneliti melacak perubahan dan dinamika kesejahteraan dari waktu ke waktu.
Hasil penelitian ini menantang asumsi umum tentang kebahagiaan global. Prof. Dr. Hilke Brockmann dari Universitas Bremen menjelaskan bahwa "Peringkat negara tidak sesuai dengan Laporan Kebahagiaan Dunia (WHP) tahun ini, yang (selalu) menempatkan negara-negara Skandinavia yang kaya di peringkat teratas. Sebaliknya, Indonesia berada di peringkat pertama dalam GFS, tetapi ke-83 dalam WHP 2025."
Temuan ini mengindikasikan bahwa ukuran kebahagiaan konvensional mungkin telah mengabaikan dimensi-dimensi penting dari kesejahteraan manusia.
Yang lebih memprihatinkan adalah kondisi generasi muda. Menurut Leonie Steckermeier, profesor muda sosiologi terapan di Universitas Kaiserslautern-Landau, "generasi muda secara signifikan tertinggal dari generasi sebelumnya dalam hal kesejahteraan subyektif dan mental", dengan "tingkat kemakmuran yang sangat rendah ditemukan pada kelompok usia muda". Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang tantangan yang dihadapi generasi saat ini di tengah kemajuan teknologi dan ekonomi.
Pola kesejahteraan sepanjang usia juga menunjukkan variasi yang mencolok antarnegara. Di Australia, Brasil, Jepang, Swedia, dan AS, kesejahteraan cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Sementara di Indonesia, Kenya, dan Turki, tingkat kesejahteraan relatif stabil sepanjang hidup. Sebaliknya, India dan Tanzania justru menunjukkan penurunan kesejahteraan seiring pertambahan usia.
Steckermeier mengakui kompleksitas temuan ini, menyatakan bahwa "Berbagai perbedaan yang spesifik di setiap negara juga masih membingungkan. Ini karena konsep 'berkembang' ke arah kesejahteraan berbicara secara umum tentang konteks tanpa menjelaskannya secara rinci." Namun, ia menambahkan bahwa kumpulan data yang luas ini dapat menjadi dasar berharga untuk penelitian lebih lanjut yang bertujuan memahami penyebab perbedaan-perbedaan nasional tersebut.
Berbeda dengan banyak studi kebahagiaan lainnya, penelitian ini sengaja tidak memberikan penjelasan simplistis atau rekomendasi kebijakan yang terburu-buru. Sebaliknya, studi ini membuka pintu bagi eksplorasi lebih dalam tentang kompleksitas kebahagiaan manusia yang ternyata tidak bisa direduksi menjadi sekadar angka-angka ekonomi atau peringkat negara. Temuan-temuan yang kontra-intuitif ini mengajak kita untuk mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar tentang apa yang sebenarnya membuat manusia merasa sejahtera dan hidup bermakna.