Pernahkah Iran Menutup Selat Hormuz?

1 week ago 17

Liputan6.com, Teheran - Keputusan Presiden Donald Trump untuk mengebom tiga situs nuklir Iran pada Minggu (22/6/2025), memperdalam kekhawatiran akan meluasnya konflik di Timur Tengah.

Langkah Trump bergabung bersama Israel, menandai aksi militer terbesar terhadap Iran sejak revolusi 1979. Kini, dunia bersiap menanti respons Iran atas serangan Amerika Serikat (AS).

Menurut sejumlah analis, salah satu cara yang mungkin diambil Iran untuk membalas adalah dengan menutup Selat Hormuz — jalur perdagangan yang sangat vital. Setiap harinya, lebih dari seperlima pasokan minyak dunia, yaitu sekitar 20 juta barel, serta sebagian besar gas cair global, melewati selat ini.

Iran sebelumnya telah beberapa kali mengancam akan menutup Selat Hormuz. Penutupan akan membatasi arus perdagangan dan memengaruhi harga minyak dunia. Namun, hingga kini ancaman tersebut belum pernah diwujudkan. Demikian seperti dilansir The Guardian.

TRT dan banyak media lainnya juga memuat hal serupa bahwa Iran di masa lalu pernah mengancam penutupan Selat Hormuz, namun belum pernah menindaklanjutinya.

Salah satu ancaman tersebut dilontarkan oleh Hassan Rouhani pada 2018. Rouhani, yang menjabat sebagai presiden Iran pada saat itu, seperti dilansir The New Arab menyatakan bahwa Iran akan menutup Selat Hormuz jika AS memblokir ekspor minyaknya.

"Jika suatu hari nanti AS memutuskan untuk memblokir ekspor minyak Iran maka tidak akan ada satu tetes pun minyak yang diekspor dari Teluk Persia," demikian pernyataan Rouhani yang dikutip oleh televisi pemerintah Iran.

Bagaimanapun, menurut analis strategi di Divisi Riset Ekuitas Institusional Yes Securities Hitesh Jain, "Meskipun berulang kali mengeluarkan ancaman, Iran tidak pernah benar-benar menutup Selat Hormuz karena dampak strategis dan biaya ekonominya yang sangat besar."    Iran disebut menggunakan ancaman ini sebagai alat diplomasi.

Ahli: Penutupan Selat Hormuz Tidak Mungkin Terjadi

Dalam ancaman terbarunya, anggota senior parlemen Iran Esmaeil Kowsari mengatakan pada Minggu bahwa parlemen Iran telah sepakat menutup Selat Hormuz sebagai respons terhadap serangan AS dan sikap diam komunitas internasional.

Kowsari merupakan anggota komite parlemen urusan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri.

"Parlemen telah sampai pada kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup, namun keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi," kata Kowsari seperti dikutip kantor berita Iran, Press TV.

Menurut catatan para analis dari Eurasia Group pada Minggu pagi, upaya Iran untuk menutup Selat Hormuz dan menyerang infrastruktur energi di Teluk Persia dinilai tidak mungkin terjadi.

"AS telah mengerahkan kehadiran militer besar-besaran di Teluk dan wilayah sekitarnya, dan langkah Iran terhadap selat tersebut hampir pasti akan memicu anggapan militer yang signifikan," tulis mereka.

Eurasia menyebut bahwa Iran kecil kemungkinan akan menyerang target-target tertentu selama ekspor mereka sendiri masih tetap berjalan. Namun, mereka menambahkan bahwa gangguan terhadap lalu lintas kapal tanker oleh Iran kemungkinan akan meningkat dalam beberapa hari ke depan.

Analis senior Eurasia Group, Gregory Brew, mengatakan kepada Axios bahwa langkah untuk menutup Selat Hormuz akan menjadi deklarasi perang yang efektif terhadap negara-negara Teluk dan AS.

"Dalam kondisi lemah seperti sekarang, Iran kecil kemungkinan akan memilih eskalasi sebesar itu untuk saat ini," tutur Brew.

Wakil Presiden JD Vance pada Minggu mengatakan bahwa menutup Selat Hormuz akan menjadi tindakan yang secara ekonomi "bunuh diri" bagi pihak Iran.

"Seluruh ekonomi mereka bergantung pada Selat Hormuz. Jika mereka ingin menghancurkan ekonomi mereka sendiri dan menyebabkan gangguan di dunia, saya rasa itu akan menjadi keputusan mereka sendiri," ujarnya dalam program Meet the Press di NBC.

Apa itu Selat Hormuz dan Mengapa Penting?

Di antara jalur-jalur penting pengiriman minyak dunia, Selat Hormuz merupakan titik krusial secara geo-strategis bagi AS dan juga negara-negara lain karena kekuatan ekonomi global sangat bergantung pada kelancaran arus minyak yang melewatinya.

Selat ini terletak di antara Oman dan Iran, menjadi penghubung antara Teluk Persia di utara dan Teluk Oman di selatan, yang kemudian terbuka ke Laut Arab. Pada titik tersempitnya, selat ini hanya selebar 33 kilometer, dengan jalur pelayaran yang lebarnya hanya sekitar 3 kilometer.

Mengapa selat ini begitu penting?

Antara awal 2022 hingga bulan lalu, menurut data perusahaan analitik Vortexa, diperkirakan sekitar 17,8 juta hingga 20,8 juta barel minyak mentah, kondensat, dan bahan bakar lainnya mengalir setiap hari melalui selat ini.

Negara-negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) – seperti Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak – mengekspor sebagian besar minyak mentah mereka melalui selat ini, terutama ke wilayah Asia.

Menutup Selat Hormuz memang memiliki keuntungan strategis, yaitu dapat menjadi cara untuk memberikan tekanan langsung kepada Trump. Tindakan ini akan memicu lonjakan harga minyak yang berdampak cepat terhadap inflasi, tidak hanya di AS, namun juga di seluruh dunia.

Namun, langkah yang sama pula akan menjadi bentuk kerugian ekonomi yang sangat besar bagi Iran sendiri. Pasalnya, ekspor minyak Iran bergantung pada jalur yang sama. Di lain sisi, menutup Selat Hormuz berisiko memicu keterlibatan negara-negara Teluk Arab—yang meskipun telah mengkritik keras serangan Israel—bisa terdorong masuk ke dalam konflik demi melindungi kepentingan ekonomi mereka sendiri.

Secara khusus, penutupan Selat Hormuz disebut akan sangat merugikan China. Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, China membeli hampir 90 persen ekspor minyak Iran, yang saat ini berada di bawah sanksi internasional.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah menyerukan agar China ikut mencegah Iran menutup Selat Hormuz. Dalam wawancaranya dengan Fox News, Rubio mengatakan, "Saya mendorong pemerintah China menghubungi mereka soal itu karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk pasokan minyak."

"Jika mereka (Iran) melakukan itu, itu akan menjadi kesalahan besar lainnya. Itu sama saja dengan bunuh diri ekonomi bagi mereka."

Read Entire Article