Liputan6.com, Gaza - Israel pada hari Selasa (18/3/2025) bersumpah untuk terus bertempur di Gaza hingga semua sandera kembali saat melancarkan serangan paling gencarnya sejak gencatan senjata, dengan kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas melaporkan lebih dari 330 orang tewas.
Hamas menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memutuskan untuk "melanjutkan perang" setelah kebuntuan dalam memperpanjang gencatan senjata, dan memperingatkan bahwa kembalinya pertempuran bisa menjadi "hukuman mati" bagi para sandera yang masih hidup di Gaza.
Gedung Putih mengonfirmasi bahwa Israel berkonsultasi dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump sebelum melancarkan gelombang serangan, yang menurut kementerian kesehatan menewaskan sebagian besar wanita dan anak-anak.
Kantor Netanyahu mengatakan operasi itu diperintahkan setelah "Hamas berulang kali menolak untuk membebaskan sandera kami, serta penolakannya terhadap semua usulan yang telah diterimanya dari Utusan Presiden AS Steve Witkoff dan dari para mediator.
"Israel akan, mulai sekarang, bertindak melawan Hamas dengan meningkatkan kekuatan militer," kata pernyataan itu seperti dikutip dari AFP.
"Kami tidak akan berhenti berperang selama para sandera tidak dikembalikan ke rumah dan semua tujuan perang kami tidak tercapai," kata Menteri Pertahanan Israel Katz.
Selain pembebasan sandera yang tersisa, tujuan perang utama Israel lainnya adalah untuk menghancurkan Hamas.
Seorang pejabat Israel mengatakan kepada AFP bahwa operasi militer akan "berlanjut selama diperlukan" dan diperkirakan akan "meluas melampaui serangan udara".
Dalam sebuah pernyataan, Hamas mengatakan: "Netanyahu dan pemerintah ekstremisnya telah memutuskan untuk membatalkan perjanjian gencatan senjata.
"Keputusan Netanyahu untuk melanjutkan perang adalah keputusan untuk mengorbankan tahanan pendudukan dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka," katanya, menuduh perdana menteri Israel menggunakan konflik sebagai "sekoci" politik untuk tetap bertahan di tengah krisis domestik.
Neraka akan Pecah Lagi di Gaza
Dua sumber Hamas mengatakan kepada AFP bahwa serangan di Kota Gaza menewaskan jenderal Mahmud Abu Watfa, yang mengepalai kementerian dalam negeri kelompok itu di wilayah tersebut.
Lebih jauh ke selatan, di Khan Yunis, rekaman AFP menunjukkan orang-orang bergegas membawa tandu berisi orang-orang yang terluka, termasuk anak-anak kecil, ke Rumah Sakit Nasser. Jenazah yang ditutupi kain putih juga dibawa ke kamar mayat rumah sakit.
Mohammed Jarghoun, 36 tahun, sedang tidur di tenda dekat rumahnya yang hancur di Khan Yunis ketika ia terbangun oleh ledakan besar.
"Saya pikir itu hanya mimpi dan mimpi buruk, tetapi saya melihat kebakaran di rumah saudara saya. Lebih dari 20 orang mati syahid dan terluka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan wanita." Ramez Alammarin, 25 tahun, menggambarkan bagaimana ia menggendong anak-anak ke rumah sakit di tenggara Kota Gaza.
"Mereka kembali melepaskan api neraka ke Gaza," katanya tentang Israel, seraya menambahkan bahwa "mayat dan anggota tubuh tergeletak di tanah, dan yang terluka tidak dapat menemukan dokter untuk merawat mereka.
"Mereka mengebom sebuah gedung di daerah itu dan masih ada martir dan yang terluka di bawah reruntuhan... ketakutan dan teror. Kematian lebih baik daripada kehidupan."
Sekolah Dekat Perbatasan Gaza Ditutup hingga Ratusan Orang Terluka
Dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, fase awal gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari, yang sebagian besar menghentikan pertempuran selama lebih dari 15 bulan di Gaza yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel.
Fase pertama itu berakhir pada awal Maret, dan meskipun kedua belah pihak sejak itu menahan diri dari perang besar-besaran, mereka tidak dapat menyetujui langkah selanjutnya untuk perundingan gencatan senjata.
Israel juga telah melakukan serangan sesekali di Gaza, tetapi tidak dalam skala operasi hari Selasa (18/3/2025).
Dalam sebuah posting di Telegram pada dini hari Selasa, tentara Israel mengatakan bahwa mereka "melakukan serangan besar-besaran terhadap target teror milik organisasi teroris Hamas di Jalur Gaza".
Mohammed Zaqut, kepala kementerian kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas, mengatakan "sedikitnya 330 kematian" telah tercatat, "sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak Palestina".
Zaqut mengatakan ada "ratusan orang terluka, puluhan di antaranya dalam kondisi kritis".
Israel memerintahkan semua sekolah di dekat perbatasan Gaza untuk ditutup.
AS dan Proposal Jembatan
Utusan AS Witkoff mengatakan kepada CNN pada hari Minggu (16/3) bahwa ia telah menawarkan "proposal jembatan" yang akan membebaskan lima sandera yang masih hidup, termasuk Edan Alexander, warga negara Israel-Amerika, sebagai imbalan atas pembebasan "sejumlah besar tahanan Palestina" dari penjara Israel.
Hamas telah mengatakan siap membebaskan Alexander dan jenazah empat orang lainnya.
Witkoff mengatakan Hamas telah memberikan "respons yang tidak dapat diterima" dan "kesempatan itu semakin dekat".
Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt mengonfirmasi bahwa pemerintahan Trump telah diajak berkonsultasi sebelum operasi Israel pada hari Selasa (18/3).
"Seperti yang telah diperjelas oleh Presiden Trump, Hamas, Houthi, Iran, semua pihak yang berusaha meneror bukan hanya Israel, tetapi juga Amerika Serikat, akan melihat harga yang harus dibayar -- semua kekacauan akan terjadi," katanya dalam wawancara yang disiarkan televisi.
Kebuntuan Fase Gencatan Senjata Israel Vs Hamas di Gaza
Selama fase pertama perjanjian gencatan senjata, Hamas membebaskan 33 sandera, termasuk delapan orang yang tewas, dan Israel membebaskan sekitar 1.800 tahanan Palestina.
Sejak itu, Hamas secara konsisten menuntut negosiasi untuk fase kedua.
Sebelumnya, mantan presiden AS Joe Biden telah menguraikan tahap kedua yang melibatkan pembebasan sandera yang masih hidup, penarikan semua pasukan Israel yang tersisa di Gaza dan pembentukan gencatan senjata yang langgeng.
Namun, Israel berupaya memperpanjang tahap pertama hingga pertengahan April, dengan menegaskan bahwa setiap transisi ke tahap kedua harus mencakup "demiliterisasi total" Gaza dan penyingkiran Hamas, yang telah menguasai wilayah tersebut sejak 2007.
Pembicaraan menemui jalan buntu, dan Israel telah memutus bantuan dan listrik ke wilayah tersebut.
"Sangat sulit bagi saya untuk memikirkan apa yang mereka (para sandera) alami saat ini karena saya tahu perasaan itu," kata tawanan Israel yang dibebaskan, Omer Shem Tov, dalam sebuah video yang baru-baru ini dirilis.
"Perasaan itu mengerikan dan harus dihentikan sesegera mungkin."
Sebagai informasi menurut data dari kedua belah pihak, serangan Hamas pada Oktober 2023 mengakibatkan 1.218 kematian di pihak Israel --sebagian besar warga sipil. Sementara respons balasan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 48.572 orang, sebagian besar juga warga sipil.