Liputan6.com, Seoul - Presiden Korea Selatan mengejutkan seluruh negara pada malam Selasa (3/12/2024) dengan mengumumkan pemberlakuan darurat militer (martial law) untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun. Langkah besar yang diambil oleh Yoon Suk Yeol disampaikan melalui siaran televisi malam hari, dengan alasan adanya ancaman dari "kekuatan anti-negara" serta situasi yang diperburuk oleh Korea Utara.
Namun, belakangan terungkap bahwa langkah tersebut lebih dipicu oleh masalah politik internal yang sedang dihadapi oleh presiden, bukan ancaman eksternal.
Pengumuman darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol memicu ribuan orang berkumpul di depan gedung parlemen sebagai bentuk protes, sementara anggota parlemen oposisi segera mendatangi lokasi untuk mendorong pemungutan suara darurat guna membatalkan langkah tersebut.
Beberapa jam kemudian, Yoon Suk Yeol muncul untuk menerima hasil pemungutan suara di parlemen dan memutuskan akan mencabut perintah darurat militer.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Menurut sejumlah pengamat seperti dilansir BBC, Rabu (4/12), Yoon Suk Yeol bertindak seolah-olah berada di bawah tekanan berat. Dalam pidatonya pada malam Selasa, dia menceritakan upaya oposisi yang mencoba menggulingkan pemerintahannya, sebelum mengatakan bahwa ida mengumumkan darurat militer untuk "menghancurkan kekuatan anti-negara yang telah merusak".
Pengumuan darurat militer membuat militer mengambil alih sementara, dengan pasukan berpakaian lengkap dan polisi dilaporkan ditempatkan di Gedung Majelis Nasional, sementara helikopter terlihat mendarat di atap gedung tersebut.
Media lokal melaporkan adanya pasukan yang mengenakan masker dan membawa senjata memasuki gedung parlemen, sementara staf mencoba menghalangi mereka dengan alat pemadam api. Sekitar pukul 23.00 waktu setempat, militer mengeluarkan dekrit yang melarang protes dan aktivitas politik, serta mengendalikan media.
Namun, para politikus Korea Selatan segera menyebutkan bahwa deklarasi Yoon Suk Yeol ilegal dan tidak konstitusional.
Pemimpin partai Yoon Suk Yeol, Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif, menyebutkan bahwa langkah Yoon Suk Yeol adalah "langkah yang salah". Sementara itu, pemimpin partai oposisi terbesar, Lee Jae-myung dari Partai Demokrat, menyerukan anggotanya untuk berkumpul di parlemen dan menggagalkan deklarasi darurat militer. Dia meminta warga datang dan berdemonstrasi.
Ribuan orang memenuhi panggilan itu dan berkumpul di luar gedung parlemen yang kini dijaga ketat. Para demonstran meneriakkan "Tidak ada darurat militer!" dan "Hancurkan kediktatoran". Meskipun ada beberapa ketegangan antara demonstran dan polisi, situasi tidak berkembang menjadi kekerasan. Anggota parlemen juga dapat melewati penghalang dan bahkan memanjat pagar untuk menuju ruang pemungutan suara.
Setelah pukul 01.00 pada Rabu, parlemen Korea Selatan, dengan 190 dari 300 anggotanya yang hadir, membatalkan keputusan Yoon Suk Yeol. Deklarasi darurat militer pun dinyatakan tidak sah.
Apa Arti Pemberlakuan Darurat Militer?
Darurat militer adalah kekuasaan sementara yang diberikan kepada militer dalam situasi darurat, ketika otoritas sipil dianggap tidak mampu berfungsi. Terakhir kali darurat militer diberlakukan di Korea Selatan adalah pada tahun 1979, ketika diktator militer Park Chung Hee dibunuh dalam sebuah kudeta.
Sejak Korea Selatan menjadi demokrasi parlementer pada tahun 1987, darurat militer tidak pernah diberlakukan lagi.
Namun pada hari Selasa, Yoon Suk Yeol mengeluarkan deklarasi tersebut, dengan alasan demi menyelamatkan Korea Selatan dari "kekuatan anti-negara". Yoon Suk Yeol, yang lebih keras dalam menghadapi Korea Utara dibandingkan pendahulunya, menggambarkan oposisi politik sebagai simpatisan Korea Utara, tanpa membeberkan bukti.
Di bawah pemberlakuan darurat militer, militer diberikan kewenangan tambahan, yang sering kali disertai dengan penangguhan hak-hak sipil serta standar hukum yang melindungi warga negara. Meskipun militer mengumumkan pembatasan terhadap aktivitas politik dan media, para demonstran dan politikus tetap menentang perintah tersebut. Media seperti Yonhap dan kantor berita lainnya terus melanjutkan siarannya seperti biasa.
Mengapa Yoon Suk Yeol merasa tertekan?
Yoon Suk Yeol terpilih sebagai presiden pada Mei 2022 sebagai seorang konservatif keras, namun sejak April, ketika oposisi memenangkan pemilu besar-besaran, pemerintahannya menghadapi kesulitan dalam meloloskan rancangan undang-undang yang diinginkan. Sebaliknya, dia lebih sering menanggapi keputusan veto terhadap undang-undang yang disahkan oleh partai oposisi yang lebih liberal.
Tingkat persetujuan terhadap Yoon Suk Yeol juga mengalami penurunan, bahkan mencapai angka terendah sekitar 17 persen karena terjerat dalam beberapa skandal korupsi tahun ini, termasuk satu yang melibatkan Ibu Negara Kim Keon Hee yang menerima tas Dior, serta satu lagi terkait manipulasi saham.
Bulan lalu, dia meminta maaf di televisi nasional, dengan mengatakan dia akan membentuk sebuah kantor untuk mengawasi tugas-tugas Ibu Negara. Namun, dia menolak untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut, yang telah didesak oleh partai oposisi.
Minggu ini, oposisi mengusulkan pemotongan besar-besaran dalam RUU anggaran pemerintah yang tidak bisa diveto.
Pada saat yang sama, oposisi juga mengajukan pemakzulan terhadap sejumlah anggota kabinet dan beberapa jaksa tinggi, termasuk kepala badan audit pemerintah, karena gagal menyelidiki Ibu Negara.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Deklarasi darurat militer Yoon Suk Yeol mengejutkan banyak pihak dan selama enam jam rakyat Korea Selatan kebingungan mengenai apa arti perintah darurat militer itu. Namun, oposisi berhasil berkumpul dengan cepat di parlemen dan memiliki cukup suara untuk menolaknya. Meskipun ada banyak pasukan dan polisi di ibu kota, pengambilalihan oleh militer dilaporkan BBC tidak terjadi.
Menurut hukum Korea Selatan, pemerintah harus mencabut darurat militer jika mayoritas parlemen menginginkannya melalui pemungutan suara. Hukum yang sama juga melarang komando darurat militer untuk menangkap anggota parlemen.
Belum jelas apa yang akan terjadi sekarang dan bagaimana dampaknya bagi Yoon Suk Yeol. Beberapa demonstran yang berkumpul di luar gedung parlemen pada Selasa malam meneriakkan, "Tangkap Yoon Suk Yeol".
Bagaimanapun, tindakan Yoon Suk Yeol yang dinilai gegabah jelas mengejutkan Negeri Ginseng, yang memandang dirinya sebagai demokrasi modern yang berkembang pesat dan telah banyak berubah sejak era kediktatoran.
Para ahli berpendapat bahwa apa yang dilakukan Yoon Suk Yeol bisa lebih merusak reputasi Korea Selatan sebagai negara demokrasi dibandingkan dengan kerusuhan 6 Januari 2021 di Amerika Serikat.
"Deklarasi darurat militer oleh Yoon terlihat sebagai tindakan yang melampaui batas hukum dan kesalahan politik, yang tidak perlu membahayakan ekonomi dan keamanan Korea Selatan," kata Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha di Seoul.
"Dia terdengar seperti seorang politikus yang terpojok, mengambil langkah putus asa untuk melawan skandal yang terus berkembang, hambatan institusional, dan tuntutan pemakzulan, yang kini kemungkinan akan semakin intensif."
Seperti yang dikatakan oleh ketua parlemen pada hari Rabu, "Kami akan melindungi demokrasi bersama rakyat."