Benarkah Iran Sudah di Ambang Memiliki Bom Nuklir?

1 week ago 19

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Donald Trump mengatakan kepada wartawan pada Selasa (17/6/2025), dia percaya Iran "sangat dekat" dengan kemampuan membangun senjata nuklir.

Hal itu sejalan dengan nada ancaman yang kian tajam dari Trump terhadap Iran dalam beberapa hari terakhir, baik melalui media sosial maupun pernyataan langsung, di tengah meningkatnya konflik Israel dengan musuh lamanya di Timur Tengah tersebut.

Sejak Jumat (13/6), Israel telah melancarkan serangan udara terhadap fasilitas nuklir utama Iran dan menewaskan sedikitnya 14 ilmuwan nuklir Iran. Angkatan Bersenjata Israel menyatakan bahwa para ilmuwan itu "merupakan tokoh kunci dalam pengembangan senjata nuklir Iran" dan bahwa "eliminasi mereka adalah pukulan signifikan terhadap kemampuan rezim untuk memperoleh senjata pemusnah massal (WMD)".

Iran selama ini konsisten menyatakan bahwa program nuklirnya sepenuhnya bersifat damai dan ditujukan untuk kepentingan sipil. Iran merujuk pada fatwa dari Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei yang melarang senjata nuklir sebagai bukti atas komitmennya tersebut.

Namun, pernyataan Trump menggemakan klaim yang selama lebih dari dua dekade terus diulang oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu — dan kembali ditegaskannya selama konflik yang sedang berlangsung ini — untuk membenarkan aksi militer terhadap Iran.

"Dalam beberapa bulan terakhir, Iran telah mengambil langkah-langkah yang belum pernah diambil sebelumnya: langkah-langkah untuk mempersenjatai uranium yang telah diperkaya," kata Netanyahu pada Jumat setelah gelombang pertama rudal menghantam fasilitas nuklir Iran.

Jadi, apakah Iran benar-benar hampir membangun bom nuklir seperti yang diklaim Trump dan Netanyahu? Dan apakah ada kemiripan antara tuduhan terhadap Iran ini dengan tuduhan palsu soal senjata pemusnah massal yang digunakan oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya untuk menyerang Irak pada tahun 2003?

Berikut fakta dan penilaian dari komunitas intelijen AS sendiri dan pengawas nuklir PBB, yaitu Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang dipublikasikan Al Jazeera:

Apa Kata Intelijen AS tentang Program Nuklir Iran?

Pada 25 Maret, Direktur Intelijen Nasional AS Tulsi Gabbard dengan tegas menyampaikan kepada anggota Kongres AS bahwa Iran tidak sedang bergerak menuju pembangunan senjata nuklir.

"Komunitas intelijen (IC) terus menilai bahwa Iran tidak sedang membangun senjata nuklir dan Pemimpin Tertinggi Khamenei belum memberikan otorisasi terhadap program senjata nuklir yang dia hentikan pada tahun 2003," ujarnya, merujuk pada kumpulan badan mata-mata AS yang bekerja sama dalam membuat penilaian tersebut.

Larangan tak tertulis yang selama puluhan tahun membuat isu senjata nuklir menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka di Iran, menurut Gabbard, kini mulai memudar. Perubahan ini, kata dia, kemungkinan telah memberi keberanian bagi para pendukung senjata nuklir di lingkaran pengambil kebijakan Iran.

Dia menambahkan bahwa stok uranium yang telah diperkaya milik Iran kini berada pada level tertinggi dan belum pernah terjadi sebelumnya untuk sebuah negara yang tidak memiliki senjata nuklir.

Pada Senin, ketika wartawan mengutip pernyataan Gabbard kepada Trump, dia menjawab, "Saya tidak peduli apa yang dia katakan. Saya pikir mereka sangat dekat untuk memilikinya" — merujuk pada senjata nuklir.

"Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Sesederhana itu," ujar Trump.

Ketika diminta tanggapan atas perbedaan penilaian itu, Gabbard mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya dan Trump berada di pihak yang sama — namun dia tidak menjelaskan bagaimana hal itu mungkin, mengingat perbedaan nyata dalam penilaian mereka terhadap program nuklir Iran.

Apa pendapat militer AS?

Pada 10 Juni, tiga hari sebelum Israel melancarkan serangannya terhadap Iran, Komandan Komando Pusat Militer AS (CENTCOM) Jenderal Erik Kurilla menyampaikan kepada sebuah komite Senat bahwa Iran terus bergerak maju menuju program senjata nuklir.

Sekilas, penilaian ini tampak bertentangan dengan pernyataan Gabbard pada Maret. Namun, sebenarnya, Kurilla tidak mengatakan bahwa militer AS menilai Iran saat ini sudah memiliki program untuk membangun bom nuklir — melainkan bahwa Iran sedang bergerak ke arah itu.

Yang dilakukan jenderal tersebut adalah mempertanyakan alasan di balik tingginya level pengayaan uranium milik Iran.

"Stok uranium yang diperkaya terus bertambah di berbagai fasilitas di seluruh negeri dengan dalih program nuklir sipil," kata dia. "Iran terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang secara langsung berkaitan dengan produksi senjata nuklir."

Bagaimana Penilaian IAEA?

Dalam pidatonya di hadapan Dewan Gubernur IAEA pada 9 Juni, Direktur Jenderal Rafael Grossi mengatakan bahwa Iran telah mengumpulkan 400 kg (880 pon) uranium yang diperkaya hingga tingkat 60 persen.

"Meskipun pengayaan uranium di bawah pengawasan tidak dilarang secara eksplisit, kenyataan bahwa Iran merupakan satu-satunya negara non-pemilik senjata nuklir yang memproduksi dan menimbun uranium hingga 60 persen tetap menjadi keprihatinan serius," sebut Grossi.

Pada Kamis (12/6), satu hari sebelum Israel menyerang fasilitas nuklir Iran, dewan IAEA mengesahkan resolusi yang mengecam Iran dan menuduhnya telah melanggar komitmen pengawasan yang harus dipenuhi terhadap badan PBB tersebut.

Namun, dalam wawancara dengan CNN pada Selasa (17/6), Grossi dengan tegas menyatakan bahwa dugaan pelanggaran Iran terhadap jaminan pengawasannya belum mengarah pada kesimpulan bahwa Teheran sedang membangun bom.

"Kami tidak memiliki bukti adanya upaya sistematis untuk bergerak menuju pembuatan senjata nuklir," tegas Grossi.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Iran dan Organisasi Energi Atom Iran menolak resolusi IAEA dan menegaskan bahwa Teheran tetap berkomitmen pada kewajiban pengawasan yang telah disepakati.

Apakah Iran Bisa Segera Membangun Senjata Nuklir?

Dalam kesaksiannya pada 10 Juni, Jenderal Erik Kurilla mengklaim bahwa jika Iran memutuskan untuk "berlari cepat menuju senjata nuklir", mereka memiliki cukup stok dan mesin pemutar (sentrifugal) untuk menghasilkan hingga 25 kg uranium berkualitas senjata hanya dalam waktu sekitar satu minggu — dan cukup untuk membuat hingga 10 senjata dalam waktu tiga minggu.

Namun Grossi, dalam wawancara dengan CNN pada Selasa, memberikan gambaran waktu yang sangat berbeda. Iran, ungkap Grossi, mungkin tidak akan memiliki senjata nuklir dalam waktu sangat dekat, namun jika mereka memutuskan untuk mengejarnya, proses itu bisa berlangsung dalam hitungan bulan bukan bertahun-tahun.

Baik Kurilla sebagai komandan militer, maupun Grossi sebagai kepala badan pengawas nuklir PBB, tidak menyebutkan berapa lama waktu yang sebenarnya diperlukan sebuah negara untuk benar-benar membangun senjata atom setelah memiliki stok uranium berkualitas senjata — bahkan jika Iran memang berniat melakukannya.

Kelsey Davenport, Direktur Kebijakan Non-Proliferasi di LSM Arms Control Association yang berbasis di AS, menyebutkan bahwa Israel pun kemungkinan besar menyadari bahwa Iran tidak memiliki kemampuan membangun bom dalam waktu dekat.

"Jika memang ada ancaman proliferasi yang benar-benar mendesak, jika Israel benar-benar percaya bahwa Iran sedang bergegas menuju senjata nuklir, saya rasa mereka akan melakukan serangan yang jauh lebih intensif untuk mengganggu aktivitas di Fordow dan fasilitas lainnya di Natanz," ujarnya kepada Al Jazeera, merujuk pada dua fasilitas nuklir utama Iran.

Gema Peristiwa 2003 soal Senjata Pemusnah Massal

Menjelang invasi AS ke Irak pada tahun 2003, AS dan Inggris menyatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, termasuk senjata kimia dan biologis, serta sedang mengembangkan program senjata nuklir.

Klaim-klaim ini menjadi dasar utama pembenaran aksi militer, dengan alasan bahwa Irak merupakan ancaman langsung bagi keamanan regional dan global. Penilaian intelijen AS saat itu — termasuk laporan resmi yang disusun oleh Komunitas Intelijen AS (NIE) 2002 — mendukung pandangan tersebut, meskipun dengan tingkat keyakinan yang berbeda-beda.

Namun, setelah invasi dilakukan, pencarian besar-besaran tidak menemukan adanya program WMD aktif di Irak.

Penyelidikan-penyelidikan lanjutan — termasuk oleh Komite Intelijen Senat AS dan Penyelidikan Chilcot di Inggris — menyimpulkan bahwa intelijen yang digunakan sangat cacat dan telah dipolitisasi oleh para pemimpin demi menciptakan dasar pembenaran untuk melancarkan invasi.

Read Entire Article