AS dan Arab Saudi Tandatangani Kesepakatan Jual Beli Senjata Rp2.358 Triliun, Gedung Putih: Terbesar dalam Sejarah

23 hours ago 8

Liputan6.com, Riyadh - Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi menandatangani jual beli senjata senilai USD 142 miliar atau sekitar Rp2.358 triliun, yang disebut Gedung Putih sebagai "kesepakatan pertahanan terbesar dalam sejarah". Kesepakatan ini dicapai dalam lawatan perdana Donald Trump, di mana Arab Saudi menjadi negara pertama yang dikunjunginya dalam rangkaian tur selama empat hari ke negara-negara Teluk.

"Menegaskan komitmen kami untuk memperkuat kemitraan pertahanan dan keamanan, AS dan Arab Saudi menandatangani kesepakatan penjualan pertahanan terbesar dalam sejarah—hampir mencapai USD 142 miliar, yang menyediakan Arab Saudi peralatan dan layanan tempur tercanggih dari lebih dari selusin perusahaan pertahanan AS," demikian pernyataan situs web Gedung Putih yang dipublikasi Selasa (13/5/2025).

Lebih lanjut disebutkan, "Penjualan yang kami rencanakan untuk diselesaikan mencakup lima kategori utama: (1) pengembangan angkatan udara dan kemampuan ruang angkasa, (2) pertahanan udara dan rudal, (3) keamanan maritim dan pesisir, (4) keamanan perbatasan dan modernisasi pasukan darat, serta (5) peningkatan sistem informasi dan komunikasi."

"Paket ini juga mencakup pelatihan dan dukungan menyeluruh untuk membangun kapasitas angkatan bersenjata Arab Saudi, termasuk peningkatan akademi militer Arab Saudi dan layanan medis militer."

Gedung Putih menambahkan, "Hubungan pertahanan kami dengan Kerajaan Arab Saudi lebih kuat dari sebelumnya di bawah kepemimpinan Presiden Trump dan paket yang ditandatangani hari ini—kesepakatan kerja sama pertahanan terbesar dalam sejarah AS—merupakan bukti nyata komitmen kami untuk memperkuat kemitraan ini. Kesepakatan ini membuka peluang bagi perluasan peran industri pertahanan AS sekaligus kerja sama pemeliharaan jangka panjang dengan pihak Arab Saudi."

Candaan Trump ke Pangeran Arab Saudi

Selama makan siang dengan Trump, Mohammed bin Salman (MBS) dilaporkan berjanji akan berinvestasi USD 600 miliar di AS. Selain jual beli senjata, kesepakatan termasuk USD 20 miliar untuk pusat data kecerdasan buatan, pembelian turbin gas dan peralatan energi lainnya senilai USD 14,2 miliar, hampir USD 5 miliar untuk pesawat Boeing 737-8, dan kesepakatan lainnya.

Namun, angka-angka yang dikeluarkan Gedung Putih tidak mencapai total USD 600 miliar dan beberapa program disebutkan telah dimulai di bawah pemerintahan Joe Biden.

Bagaimanapun, Trump menikmati sambutan kerajaan yang megah saat tiba di Arab Saudi pada Selasa. Jet F-15 Angkatan Udara Kerajaan Arab Saudi mengawal pesawat Air Force One saat tiba di Riyadh.

MBS menjamunya di aula mewah di Istana Al Yamamah, di mana anggota elite bisnis AS dan Arab Saudi bergabung bersama mereka termasuk Elon Musk, CEO OpenAI Sam Altman, CEO IBM, BlackRock, Citigroup, Palantir, hingga Nvidia.

Ketika MBS berjanji bahwa Arab Saudi akan berinvestasi USD 600 miliar, Trump tersenyum dan bercanda bahwa seharusnya nilainya USD 1 triliun.

Perjalanan ini dinilai merupakan bagian dari penataan ulang politik Timur Tengah yang didominasi oleh slogan "America First" Trump, yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan keamanan domestik AS dibandingkan aliansi luar negeri dan hukum internasional. Para kritikus mengatakan bahwa pendekatan penuh transaksi ini memperkuat posisi Trump dan kelompok pebisnis di sekitarnya, sementara keluarga presiden AS memiliki kepentingan bisnis di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, yang menjadikan pemerintahan ini memiliki konflik kepentingan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam isu lainnya, Trump mengakui bahwa tujuan geopolitiknya agar Arab Saudi mengakui Israel secara diplomatik akan membutuhkan waktu, terutama karena Israel masih menjalankan perang di Jalur Gaza.

"Akan menjadi hari yang istimewa di Timur Tengah, dengan seluruh dunia menyaksikan, ketika Arab Saudi bergabung dengan kita dalam Abraham Accords (kerangka kerja administrasi Trump untuk negara-negara Arab yang mengakui Israel)," kata dia. "Dan saya sungguh percaya itu akan jadi sesuatu yang istimewa – tapi kalian akan melakukannya pada waktunya sendiri."

Trump juga dijadwalkan mengunjungi Uni Emirat Arab pada Kamis (15/5) sebelum melanjutkan perjalanan ke Qatar minggu ini.

Bertemu Pemimpin Suriah

Lawatan Trump di Timur Tengah yang ditandai dengan kesepakatan investasi besar-besaran disebut turut berperan dalam perubahan sikapnya terhadap kebijakan AS di Suriah.

Selama kunjungan ini, Gedung Putih mengonfirmasi bahwa Trump akan bertemu dengan pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, mantan komandan pemberontak yang pasukannya membantu menggulingkan Bashar al-Assad pada 2024. Pertemuan informal ini akan menjadi tatap muka pertama antara seorang presiden AS dan pemimpin Suriah sejak tahun 2000, ketika Bill Clinton bertemu dengan mendiang Hafez al-Assad di Jenewa.

Berbicara dalam sebuah forum investasi pada Selasa, Trump mengatakan bahwa dia berencana mencabut sanksi terhadap Suriah setelah mengadakan pembicaraan dengan MBS dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

"Saya akan memerintahkan penghentian sanksi terhadap Suriah untuk memberi mereka kesempatan menuju kejayaan," ungkap Trump seperti dilansir The Guardian.

Sharaa dilaporkan menawarkan akses ke minyak, proyek rekonstruksi, dan pembangunan Trump Tower di Damaskus sebagai syarat pencabutan sanksi AS terhadap Suriah.

Meskipun rincian tentang pencabutan sanksi tersebut masih belum jelas, tim Sharaa di Damaskus sudah merayakannya.

"Ini luar biasa, berhasil," kata Radwan Ziadeh, seorang penulis dan aktivis Suriah yang dekat dengan sang presiden Suriah.

Dia membagikan gambar rancangan awal Trump Tower Damaskus.

"Beginilah cara memenangkan hati dan pikirannya," ujarnya, menyebut bahwa kemungkinan besar Sharaa akan menunjukkan desain tersebut kepada Trump saat pertemuan mereka di Riyadh pada Rabu (14/5).

Gagasan menawarkan Trump Tower di jantung Kota Damaskus diprakarsai oleh seorang senator Partai Republik AS, yang kemudian menyampaikan ide itu kepada tim Sharaa.

"Sanksi di Suriah sangat rumit, tapi dengan Trump, dia bisa mencabut sebagian besar di antaranya. Ini adalah peluang besar," kata Ziadeh.

Perjalanan ini ditandai juga sebagai sesuai yang luar biasa karena keputusan Trump untuk tidak mengunjungi Israel, sekutu terdekat AS di kawasan. Perang di Jalur Gaza dan hubungan buruk Trump dengan Benjamin Netanyahu disebut sebagai alasan Trump tidak menginjakkan kaki di Israel.

Sementara itu, Hamas membebaskan satu-satunya sandera AS yang tersisa, Edan Alexander, pada malam sebelum kunjungan Trump dalam upaya mendorong Trump agar menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang.

Namun, Netanyahu pada awal pekan ini justru mempertegas bahwa gencatan senjata apa pun hanya akan bersifat "sementara".

"Dalam beberapa hari mendatang, kami akan masuk dengan kekuatan penuh untuk menyelesaikan operasi menghancurkan Hamas," sebut Netanyahu. "Pasukan kami sudah ada di sana sekarang."

"Tidak akan ada situasi di mana kami menghentikan perang."

Read Entire Article