27 April 2018: Kim Jong Un dan Moon Jae-in Teken Deklarasi Perdamaian, Akhiri Perang Korut-Korsel

11 hours ago 9

Liputan6.com, Ilsan - 27 April 2018 merupakan momen bersejarah bagi Semenanjung Korea. Kala itu para pemimpin dari Korea Utara dan Korea Selatan telah berkomitmen untuk denuklirisasi total Semenanjung Korea, dan berjanji untuk mengakhiri Perang Korea secara resmi, 65 tahun setelah permusuhan berakhir.

Dalam KTT yang berlangsung sehari penuh dengan simbolisme, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan mitranya dari Korea Utara, Kim Jong Un berpelukan, menanam pohon, dan berbicara selama lebih dari 30 menit.

Mengutip dari CNN, Minggu (27/4/2025), keduanya kemudian menandatangani Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification on the Korean Peninsula (Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran, dan Penyatuan Semenanjung Korea), yang memuat komitmen bersama untuk denuklirisasi serta mendorong perundingan guna mengakhiri konflik secara resmi. Kesepakatan itu menjadi penutup tak terduga dari pertemuan pertama para pemimpin kedua negara dalam satu dekade.

Lewat pidato yang disampaikan secara terpisah, Kim Jong Un dan Moon Jae-in menyuarakan harapan baru bagi masa depan hubungan kedua Korea. Untuk pertama kalinya tampil langsung di hadapan media internasional lewat siaran televisi.

Kim Jong Un menyampaikan pernyataan yang menyatakan bahwa kedua Korea “akan dipersatukan kembali menjadi satu negara.” sementara itu Moon Jae-in berkata “Tidak akan ada lagi perang di semenanjung Korea.”

Namun di balik seremoni yang berlangsung di Peace Village (Desa Perdamaian) Panmunjom, Demilitarized Zone (DMZ) atau Zona Demiliterisasi yang memisahkan Korea Utara dan Selatan, tidak banyak rincian konkret disampaikan. Deklarasi Panmunjom sebagian besar menghindari detail soal kapabilitas nuklir Pyongyang dan tidak menjelaskan apa yang diharapkan Korea Utara sebagai imbal balik dari proses denuklirisasi.

Janji untuk mengakhiri Perang Korea masih menghadapi banyak tantangan. Kesepakatan damai secara resmi harus melibatkan Tiongkok dan Amerika Serikat, dua negara yang terlibat langsung dalam konflik sejak 1950, saat Tentara Rakyat Korea Utara menyerbu wilayah Selatan. Meski gencatan senjata ditandatangani pada 1953, perjanjian damai formal tidak pernah dibuat, sehingga secara teknis, Semenanjung Korea masih berada dalam status perang.

Ketika peristiwa itu terjadi, Presiden AS Donald Trump yang saat itu tengah menjabat di periode pertamanya, serta sebagian besar warga Amerika Serikat, masih terlelap. Namun, saat Washington terbangun, Trump yang dijadwalkan bertemu Kim dalam beberapa bulan ke depan langsung memberikan pujian atas pertemuan tersebut.

Dia menulis di X: “Setelah setahun penuh dengan peluncuran misil dan uji coba nuklir, terjadi pertemuan bersejarah antara Korea Utara dan Korea Selatan,” katanya. “Hal-hal baik sedang terjadi, tapi hanya waktu yang akan menentukan!” Dalam twit lainnya, dia berseru: “PERANG KOREA AKAN BERAKHIR!”

Momen-Momen Ikonik di Zona Demiliterisasi

Pertemuan antara kedua pemimpin telah disusun secara cermat oleh Korea Selatan, namun momen paling mencolok justru datang dari Kim Jong Un.

Setelah menyeberangi garis demarkasi militer yang memisahkan Korea Utara dan Selatan untuk menjabat tangan Moon Jae-in, Kim Jong Un tiba-tiba mengajaknya melangkah ke wilayah Utara. Moon Jae-in sempat ragu sejenak, sebelum akhirnya mengikuti langkah Kim Jong Un memasuki Korea Utara.

Momen itu mungkin menjadi satu-satunya tindakan spontan dalam sebuah pertemuan yang sejatinya telah dirancang secara detail dan dilatih oleh pihak Korea Selatan selama berminggu-minggu.

"Presiden Moon Jae-in sempat melintasi MDL ke Utara," kata Gedung Biru dalam sebuah pernyataan, mengacu MDL pada military demarcation line atau garis demarkasi militer. 

"Ini bukan peristiwa yang direncanakan," tambah gedung biru

Saat memasuki Peace House tempat berlangsungnya pembicaraan Kim Jong Un Jong Un menuliskan pesan di buku tamu: “Sejarah baru dimulai sekarang” dan “Era perdamaian, pada titik awal sejarah.”

Setelah pertemuan awal dengan para pejabat masing-masing, Kim Jong Un dan Moon Jae-in mengikuti seremoni penanaman pohon di Zona Demiliterisasi (DMZ). Pohon itu berasal dari tahun 1953, tahun berakhirnya Perang Korea melalui perjanjian gencatan senjata. Dalam seremoni tersebut, Kim Jong Un menggunakan tanah dari Gunung Halla di Pulau Jeju, sementara Moon Jae-in membawa tanah dari Gunung Paektu di wilayah utara.

Keduanya kemudian meninggalkan para pejabat dan berjalan berdampingan menyusuri DMZ menuju sebuah jembatan kecil yang baru dicat biru, warna dari Bendera Penyatuan Korea. Mereka berbincang selama 30 menit tanpa pendamping atau pencatat, dan kamera pun hanya merekam dari kejauhan. Isi pembicaraan tersebut tidak pernah diungkapkan kepada publik.

Momen puncak terjadi ketika Kim Jong Un dan Moon Jae-in menandatangani Deklarasi Panmunjom, yang menyatakan komitmen kedua negara untuk mengakhiri konflik berkepanjangan dan bergerak menuju denuklirisasi Semenanjung Korea.

Pertemuan Bersejarah dan Reaksi Internasional

Keduanya juga sepakat untuk menjalin komunikasi lewat sambungan telepon, menghentikan siaran propaganda ke wilayah masing-masing, dan menggelar pertemuan lanjutan di Pyongyang pada musim gugur 2018.

Hari bersejarah itu diakhiri dengan jamuan makan malam yang turut dihadiri istri masing-masing pemimpin, pertunjukan cahaya, dan konser musik. Acara ditutup dengan pemutaran video kilas balik kegiatan sepanjang hari yang ditayangkan di layar lebar.

Dalam pertemuan pagi hari, Moon Jae-in memuji keputusan Kim Jong Un yang disebutnya “berani dan penuh tekad”. “Selama tujuh dekade kita tidak dapat berkomunikasi, jadi saya rasa hari ini kita bisa berbincang sepanjang hari,” ujar Moon Jae-in yang disambut tawa Kim Jong Un di awal pertemuan.

Jean H. Lee, pakar Korea Utara dari Wilson Center di Amerika Serikat, menyebut bahwa gambar Kim Jong Un berbincang santai dengan Moon Jae-in akan membekas kuat bagi warga Korea Selatan.

“Selama lebih dari satu dekade, warga Korea Selatan terputus dari Korea Utara karena ketegangan politik,” kata Jean H. Lee. “Melihat Kim Jong Un Jong Un berbicara langsung dengan presiden mereka pasti menjadi kejutan emosional dan mengingatkan bahwa mereka berbagi bahasa dan sejarah, meski berbeda sistem politik dan ekonomi.”

Meski hari itu dipenuhi senyum dan jabat tangan, banyak tantangan menanti ke depan. Deklarasi Panmunjom menyebutkan bahwa kedua pihak “menegaskan tujuan bersama mewujudkan Semenanjung Korea yang bebas nuklir melalui denuklirisasi sepenuhnya.”

Namun, makna “denuklirisasi” masih menjadi ganjalan, terutama dalam hubungan Korea Utara dan Amerika Serikat.

“Menjelang pertemuan antara AS dan Korea Utara, pertanyaan utamanya adalah apakah Korea Utara benar-benar akan menghentikan program senjata nuklirnya,” ujar analis Stratfor Asia Pasifik, Evan Rees.

“Redaksi dalam Deklarasi Panmunjom merujuk pada denuklirisasi Semenanjung, yang bisa berarti penarikan aset strategis AS, serta denuklirisasi bertahap—sesuatu yang bertentangan dengan tuntutan AS untuk proses yang cepat.”

Pada hari yang sama, Kim Jong Un menyampaikan harapannya agar perbedaan tidak menggagalkan implementasi deklarasi, seperti yang pernah terjadi pada kesepakatan di masa lalu. Hal ini menunjukkan bahwa ia menyadari bahwa kesepakatan damai masih jauh dari kata final.

Tiongkok menyambut positif hasil pertemuan. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Lu Kang, mengucapkan selamat kepada kedua pihak. “Kami berharap semua pihak terkait menjaga momentum dialog dan bekerja sama memajukan denuklirisasi serta penyelesaian politik isu Semenanjung Korea,” ujarnya. Tiongkok pun menyatakan kesediaannya untuk terus berperan positif dalam proses ini.

Gedung Putih turut menyambut baik hasil pertemuan tersebut. “Kami berharap pembicaraan ini membawa kemajuan menuju masa depan penuh perdamaian dan kemakmuran bagi seluruh Semenanjung Korea,” demikian pernyataan resmi dari pemerintah AS.

Jejak Perang yang Masih Membekas

Di utara Seoul, tepatnya di sepanjang Freedom Road yang mengarah ke Jembatan Reunifikasi dan DMZ, terlihat perubahan suasana. Di satu sisi jalan, balon kuning dan putih bergambar peta Korea mengisi langit. Namun di sisi lainnya, kawat berduri, menara penjaga, dan tentara bersenjata lengkap tetap berjaga di tepi selatan Sungai Han.

Meski pertempuran telah berakhir sejak 65 tahun lalu, luka-luka perang masih sangat terasa. Banyak keluarga yang terpisah dan belum pernah bertemu kembali. Bahkan, ada yang hingga kini belum mengetahui nasib keluarganya yang hilang dalam perang.

Sehari sebelum pertemuan bersejarah itu, sebanyak 51 orang dari Program Veteran Perang Korea berkumpul di dekat DMZ untuk mengenang anggota keluarga mereka yang gugur dan menyuarakan dukungan bagi perdamaian serta reunifikasi.

“Ayah saya, Karle Seydel, gugur pada 7 Desember 1950 di Waduk Chosin,” ujar Ruth Hebert, warga San Diego, California, kepada CNN. Jenazah ayahnya diyakini masih berada di wilayah Korea Utara.

Hebert juga mengaku telah berbicara dengan warga Korea Selatan yang mengalami hal serupa kehilangan anggota keluarga dan terpisah oleh pembatasan wilayah. “Kami berharap dan berdoa agar momen ini benar-benar membawa perubahan,” ujarnya. “Ada harapan besar dari Jepang, Korea, dan Amerika untuk memulangkan jenazah. Mungkin masih ada sedikit tawanan perang yang masih hidup, tetapi kini fokusnya adalah menemukan dan memulangkan jenazah mereka.”

Penandatanganan perjanjian damai resmi nantinya tidak hanya melibatkan Korea Utara dan Selatan. Tiongkok dan Amerika Serikat, yang saat itu terlibat besar dalam konflik di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa, juga harus menjadi pihak penandatangan.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |