22 Desember Memperingati Apa? Ada Hari Matematika, Begini Cara agar Anak Suka Berhitung

3 days ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Pada 22 Desember, Indonesia memperingati Hari Ibu Nasional. Lalu, di India pada hari ini memperingati Hari Matematika. Menurut situs National Today, peringatan ini terinspirasi dari seorang ahli matematika dari India, Sriniva Ramanujan. Kecerdasannya yang luar biasa dalam bidang trigonometri dan teorema membuat dirinya dianggap setara dengan Euler dan Jacobi.

Laki-laki kelahiran 1887 itu telah menghasilkan banyak karya yang berpengaruh. Salah satunya adalah karya teori bilangan yang telah mendorong kemajuan fungsi partisi di India. Sayangnya, pada tahun 1920 Ramanujan meninggal dunia akibat kondisi kesehatan yang memburuk.

Meskipun telah tiada, karya Ramanujan masih terus memberikan pengaruh bagi bangsa India. Oleh karena itu, pada tahun 2012, mantan Perdana Menteri India, Manmohan Singh, menetapkan hari kelahiran sang matematikawan sebagai Hari Matematika Nasional.

Matematika seringkali dianggap sebagai subjek pelajaran yang kompleks. Sehingga banyak pelajar yang kurang menyukai bahkan menghindari subjek ini. Namun, matematika bisa saja disukai asal cara mempelajarinya sesuai.

Mengutip NPR pada Senin, 22 Desember 2025, sebagian besar anak mengalami ‘kecemasan angka’. Istilah ini dicetuskan para pakar di Amerika pada tahun 1950 setelah diketahui sebanyak 93 persen warga mengalami kecemasan saat berhadapan dengan soal matematika.

Seorang profesor dari Stanford University, Jo Boaler, mengungkapkan bahwa akar dari kecemasan ini terjadi saat sekolah dasar. Terutama saat ujian yang memerlukan batas waktu serta hafalan yang dipaksa.

Menurutnya, pusat otak yang mengatur pemecahan masalah akan mati ketika kecemasan terjadi. Dengan begitu, para orang tua harus mengetahui beberapa cara yang efektif agar anak dapat tumbuh menyukai matematika tanpa rasa cemas dan takut.

Percaya Diri di Depan Anak Itu Perlu

Pakar dari Sesame Workshop, Rosemarie Truglio, mengatakan bahwa orangtua harus introspeksi diri ketika membicarakan matematika kepada anak. Dalam hal ini, orang tua harus menghindari kalimat ‘ibu dulu nggak suka matematika’ atau ‘ayah dulu nggak sepintar kamu’.

Ketika anak menerima ungkapan-ungkapan tersebut, prestasi anak dalam matematika cenderung menurun. Boaler juga mengatakan bahwa para peneliti menunjukkan bahwa kasus ini memiliki kaitan terhadap stereotip, baik ras maupun gender.

Para peneliti mengungkapkan bahwa kecemasan matematika kerap dialami ibu dan diwariskan kepada anak, terutama anak perempuan. Oleh karena itu, Boaler menyarankan untuk para orang tua terkadang harus berpura-pura percaya diri. Sehingga anak merasa aman dan tenang ketika berhadapan dengan matematika.

Selipkan Matematika dalam Kegiatan Sehari-Hari

Seorang profesor pendidikan anak dari Eastern Connecticut State University, Amerika Serikat, Sudha Swaminathan, mengatakan bahwa sebagian besar anak yang berhasil dalam matematika cenderung memiliki orangtua yang aktif melibatkan matematika di kehidupan sehari-hari.

Misalnya, ketika orangtua meminta anak menyimpan buku di rak. Ketika buku itu tidak muat, orang tua seharusnya menggiring anak pada konsep pengukuran. Hal ini dapat dilakukan dengan bertanya mengapa buku itu tidak muat? Apakah bukunya terlalu besar atau terlalu kecil?

Dengan begitu, anak akan terbiasa mengenal proses matematika yaitu pemecahan masalah.

Cara ini juga disetujui oleh Truglio, ia juga menyarankan agar orangtua mengenalkan konsep matematika melalui nyanyian. Selain itu, menghitung barang-barang juga bisa dilakukan. Misalnya, menghitung alat makan saat menatanya di meja.

Sementara itu, Boaler mengatakan bahwa orangtua juga bisa mengenalkan matematika melalui visual. Ia menyarankan untuk mengajak anak melihat dan berpikir dengan memperhatikan pola-pola di sekitarnya.

Semakin besar usia anak, kemampuannya pun semakin luas. Orangtua bisa mulai memperkenalkan matematika pada anak melalui kalender, jam, uang, peta, bahkan menggambar dan kerajinan tangan.

Belajar Sambil Bermain

Penelitian menunjukkan bahwa bermain efektif untuk menggali potensi anak. Oleh karena itu, Swaminathan juga menyarankan agar para orangtua mengenalkan matematika pada anak melalui permainan.

Permainan seperti balok, teka-teki, permainan kartu, video game, atau permainan papan dinilai efektif dalam meningkatkan kemampuan matematika anak.

Para peneliti menunjukkan bahwa semakin sering anak bermain dengan dadu, semakin baik pula kemampuan matematika dasar mereka.

Pertanyaan di Luar Dugaan

Swaminathan menegaskan bahwa sebaiknya orangtua jangan menggurui anak. Menurutnya, orangtua harus menghindari pertanyaan benar dan salah atau memaksa mereka mengerjakan pekerjaan rumah tanpa jeda.

Sebaliknya, orangtua disarankan untuk mengajukan pertanyaan yang sifatnya nyata dan terbuka bagi anak. Daripada bertanya ‘meja ini bentuknya apa?’, lebih baik bertanya ‘mengapa meja kita bentuknya lingkaran?’

Pertanyaan otentik seperti itu tidak hanya meningkatkan hubungan anak dengan orangtua. Tetapi juga akan memicu anak berpikir dan mampu menyampaikannya secara lisan. Otak anak akan bekerja dan merenungkan sifat-sifat bentuk, sehingga ia bisa menjawab ‘meja ini bentuknya lingkaran karena ada lengkungan’.

Menurut Boaler, pertanyaan berbasis benar dan salah dapat membuat anak jenuh dan mengalami kecemasan. Hal ini karena hafalan dan cara belajar yang penuh tekanan mampu meningkatkan stres sehingga mereka merasa tidak mampu menyelesaikannya.

Dengan demikian, ia menyarankan para orang tua untuk menanamkan kesukaan pada matematika seiring dengan pola pikir yang berkembang. Orangtua juga bisa secara sengaja membuat kesalahan dan meminta anak mengoreksinya. Sehingga anak bisa tumbuh menyukai matematika tanpa rasa takut dan cemas.

Read Entire Article