Liputan6.com, Pyongyang - Kim Il-sung, bapak pendiri dan presiden pertama Korea Utara pada saat itu, lahir pada 15 April 1912 di Man’gyŏndae, sebuah daerah dekat Pyongyang yang kini berada dalam wilayah Korea Utara.
Kim Il-sung yang terlahir sebagai Kim Song-Ju, merupakan pemimpin komunis Korea Utara sejak 1948 hingga akhir hayatnya pada 8 Juli 1994 di Pyongyang. Ia menjabat sebagai perdana menteri dari 1948 hingga 1972, kemudian menjadi ketua Partai Buruh Korea mulai 1949, dan menjabat sebagai presiden serta kepala negara sejak 1972.
Menurut pemberitaan britannica.com yang dikutip pada Selasa (15/4/2025), disebutkan bahwa Kim Il-sung berasal dari keluarga yang melarikan diri ke Manchuria ketika ia masih kecil, demi menghindari penjajahan Jepang atas Korea. Ia menempuh pendidikan dasar di Manchuria dan bergabung dengan organisasi pemuda komunis ketika masih menjadi pelajar. Aktivitasnya itu membuatnya dipenjara pada 1929–1930.
Setelah dibebaskan, Kim Il-sung bergabung dengan kelompok gerilyawan Korea yang melawan pendudukan Jepang pada 1930-an dan mulai menggunakan nama seorang pejuang legendaris Korea yang menentang Jepang.
Aksi Kim Il-sung menarik perhatian otoritas militer Soviet. Ia pun dikirim ke Uni Soviet untuk menjalani pelatihan militer dan politik, sekaligus bergabung dengan Partai Komunis setempat.
Saat Perang Dunia II berlangsung, Kim memimpin pasukan Korea sebagai mayor dalam angkatan darat Soviet. Setelah Jepang menyerah pada 1945, Korea terbagi dua: bagian utara diduduki Soviet, sementara bagian selatan didukung Amerika Serikat. Kim lalu kembali ke Korea bersama warga Korea lainnya yang telah dilatih di Uni Soviet untuk mendirikan pemerintahan sementara komunis di wilayah utara. Pada 1948, ia diangkat sebagai perdana menteri Republik Rakyat Demokratik Korea yang baru dibentuk, dan setahun kemudian ia menjabat sebagai ketua Partai Buruh Korea.
Pada 1950, Kim Il-sung memimpin invasi ke Korea Selatan dalam upaya menyatukan Korea melalui kekuatan militer. Perang Korea pun pecah. Upaya itu gagal setelah pasukan Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil memukul mundur serangannya. Hanya dengan bantuan besar-besaran dari Tiongkok, Korea Utara mampu menahan serangan balasan PBB. Perang Korea berakhir tanpa pemenang pada 1953.
Sebagai kepala negara, Kim Il-sung menumpas oposisi dalam negeri dan menyingkirkan rival-rivalnya di tubuh Partai Buruh Korea. Ia memerintah Korea Utara dengan kekuasaan absolut dan membentuk masyarakat yang disiplin, militeristik, dan kaku dengan dua tujuan utama: industrialisasi dan penyatuan kembali Semenanjung Korea di bawah kekuasaan Korea Utara. Ia memperkenalkan filosofi juche atau "berdikari", yang mendorong pembangunan ekonomi tanpa bergantung pada bantuan asing.
Menjelang Akhir Kepemimpinan Kim Il-sung
Ekonomi yang dikelola negara ini sempat berkembang pesat pada 1950-an dan 1960-an. Namun, pada awal 1990-an, pertumbuhan itu terhambat dan menyebabkan kelangkaan pangan. Kim juga membangun sistem propaganda kuat dan kultus individu yang menyeluruh, yang membuatnya bisa memerintah tanpa tantangan selama 46 tahun di negara yang dikenal sebagai salah satu yang paling tertutup dan represif di dunia. Dalam kebijakan luar negerinya, Kim menjalin hubungan erat dengan Uni Soviet dan Tiongkok, sembari tetap bersikap keras terhadap Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Pada Desember 1972, Kim Il-sung melepaskan jabatan perdana menteri dan diangkat sebagai presiden. Pada 1980, ia mulai mempersiapkan anak sulungnya, Kim Jong Il, sebagai penerus dengan memberinya jabatan tinggi di partai dan militer.
Bubarnya Uni Soviet pada awal 1990-an membuat Tiongkok menjadi satu-satunya sekutu utama Korea Utara. Sementara itu, Tiongkok justru mempererat hubungan dengan Korea Selatan. Di sisi lain, kebijakan Korea Utara terhadap Selatan berayun antara provokasi dan tawaran damai sepanjang 1980-an hingga awal 1990-an. Hubungan kedua Korea sempat membaik setelah Korea Selatan menjadi tuan rumah Olimpiade 1988, yang diikuti oleh Korea Utara.
Pada 1991, Korea Utara dan Korea Selatan secara bersamaan menjadi anggota PBB. Beberapa kali pertemuan tingkat perdana menteri menghasilkan dua kesepakatan penting: perjanjian nonagresi, rekonsiliasi, pertukaran, dan kerja sama, serta deklarasi bersama tentang denuklirisasi Semenanjung Korea. Kedua perjanjian ini berlaku mulai Februari 1992, namun tidak membuahkan hasil berarti, terlebih setelah Korea Utara tersandung kontroversi terkait program nuklirnya dan menghentikan semua komunikasi dengan Selatan pada awal 1993.
Presiden Korea Selatan saat itu, Kim Young-Sam, dijadwalkan bertemu dengan Kim Il Sung dalam pertemuan bersejarah di Pyongyang pada Juli 1994. Namun, Kim Il-sung meninggal dunia sebelum pertemuan tersebut dapat terlaksana. Setelah itu, Kim Jong-il naik ke tampuk kekuasaan. Dalam konstitusi yang direvisi pada 1998, jabatan presiden dihapuskan dan Kim Il-sung dinobatkan sebagai "Presiden Abadi Republik".