Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan, mengatakan bahwa spektrum autisme perlu dideteksi sejak dini.
Pengetahuan tentang spektrum autisme yang dimiliki anak dapat menjadi petunjuk bagi orangtua untuk mengembangkan potensi anak sesuai kemampuannya. Hal ini berguna untuk menyiapkan anak sebelum terjun ke dunia kerja.
“Autisme itu kan spektrum ya, berarti personalize banget, bagaimana menganalisa dari awal spektrum-spektrum ini sehingga dari spektrum-spektrum ini bisa dilihat kelebihannya apa sih, dan treatment apa yang harus dilakukan sehingga dia punya peluang untuk bekerja,” kata Veronica dalam talkshow Autisme Bukan Hambatan: Dukungan dan Inovasi dalam Menciptakan Peluang Kerja di Jakarta, Kamis (22/5/2025).
Setelah mengetahui spektrum dan potensi anak, maka mereka perlu mendapat pelatihan kerja. Pelatihan kerja pun tak boleh sembarangan, harus sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pasalnya, setiap perusahaan juga membutuhkan karyawan dengan kualitas tertentu.
“Apakah ketika pemerintah memberikan pelatihan itu sesuai dengan kebutuhan kerja di lapangan? Berarti kita harus lihat dari ujungnya, lapangan pekerjaan butuh kualitas-kualitas seperti apa sih?”
Veronica memberi contoh, beberapa bank sudah menerima pekerja difabel. Dengan catatan difabel tersebut sudah dilatih sesuai posisi kerjanya.
Peneliti dari Universitas Michigan berencana untuk mempelajari anak-anak yang memiliki gangguan ekstrim autisme dalam mendeteksi bahaya di jalan.
Pelatihan Kerja Sejak Dini
Guna memenuhi kriteria pekerja difabel yang dibutuhkan perusahaan, maka pelatihan kerja sebetulnya bisa dilakukan sejak dini di sekolah.
Veronica menegaskan, saat mengenyam pendidikan di sekolah, para penyandang autisme tak harus mengejar pelajaran layaknya yang dilakukan anak-anak non disabilitas di sekolah umum. Namun, dapat difokuskan pada pelatihan untuk mengasah keterampilan kerja.
“Bukan masalah mereka harus akademis sekolah atau mereka harus sekolah dengan standar seperti nasional, tapi mereka benar-benar dilatih khusus (sesuai permintaan perusahaan),” jelasnya di hadapan pengurus Yayasan Autisma Indonesia.
Kelebihan Pekerja Autisme
Dalam kesempatan yang sama, Secretary General ASEAN Autism Network (AAN), Prita Kemal Gani, mengatakan bahwa penyandang autisme memiliki berbagai kelebihan jika terjun ke dunia kerja.
“Biasanya orang-orang dengan autisme sangat rigid dengan pekerjaannya sehingga mereka lebih tekun bisa bekerja tanpa destruksi,” ujarnya.
Penyandang autisme dinilai lebih fokus ketika bekerja sehingga hasil pekerjaannya lebih sesuai. Mereka juga lebih detail karena mampu melakukan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang.
“Mereka juga di kantor tidak suka bergosip pastinya dan tak suka bermain office politics, karena tidak terpikirkan oleh mereka. Tidak berkhianat dan InshaAllah tidak korupsi karena mereka biasanya jujur dan seadanya,” tambah Prita.
Lebih lanjut Prita menyampaikan bahwa setiap peluang pasti ada tantangan begitupun setiap tantangan pasti ada peluang. Seperti yang dihadapi penyandang autisme dalam mencari peluang kerja.
“Sering kita mendengar bahwa autisme dianggap sebagai penghalang bagi seseorang untuk dapat berkarier dan berkembang di dunia kerja. Padahal, kalau kita lihat lebih jauh, autisme bukanlah hambatan tapi justru menawarkan potensi luar biasa yang dapat mendukung keberagaman di tempat kerja,” jelas Prita.
Soal kekuatan fisik, orang-orang dengan autisme umumnya memiliki ketahanan fisik yang baik.
“Kekuatan, tenaga, endurance-nya luar biasa anak-anak kita dengan autisme. Anak saya sendiri (menyandang autisme) kalau melukis itu orang lain biasanya bisa selesai 2 minggu, anak saya bisa selesaikan dalam waktu 6 jam.”
Kenapa Banyak Perusahaan Ragu Rekrut Pekerja dengan Autisme?
Sayangnya, sambung Prita, masih banyak perusahaan yang ragu mempekerjakan individu dengan autisme. Hal ini dipicu berbagai sebab seperti:
- kesulitan komunikasi;
- kesulitan berinteraksi;
- kesulitan dalam fleksibilitas atau adaptasi;
- sering merasa tertekan jika bekerja di lingkungan yang bising dan ramai;
- sensitivitas sensorik membuat mereka mudah terganggu oleh wewangian, tekstur seragam, dan suhu ruangan;
- butuh waktu lebih lama dalam menyerap instruksi;
- kesulitan regulasi emosi dan sering cemas.
Maka dari itu, Prita mengajak pihak perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.
“Mari kita bersama siapkan lingkungan kerja yang inklusif dan ramah autisme. Memberikan pelatihan dan pemahaman bagi karyawan tentang spektrum autisme di lingkungan kerja.”
Prita memberi contoh, di London School of Public Relations (LSPR) mengusung kampus yang ramah bagi penyandang autisme.
“Sebelum menerima murid dengan autisme, kami melatih karyawan, dosen, dan murid sendiri untuk memahami tentang autisme. Sehingga, ketika kita menerima siswa dengan autisme, semuanya sudah terbiasa,” ucap CEO LSPR itu.
Dia pun mengajak semua pihak untuk mendorong setiap perusahaan agar lebih terbuka dan inklusif terhadap pekerja difabel.
“Mari bersama-sama kita mendorong perusahaan untuk lebih terbuka, lebih inklusif, dan lebih memahami bahwa autisme bukanlah penghalang melainkan peluang untuk menciptakan dunia kerja yang lebih kaya, beragam, dan inovatif,” pungkasnya.