Liputan6.com, Rio de Jenairo - Di balik pemandangan pegunungan yang hijau dan tenang di timur laut Brasil, kota kecil Serrinha dos Pintos menyimpan kisah unik yang mengundang perhatian dunia medis.
Dengan populasi kurang dari 5.000 orang, kota ini menjadi tempat di mana banyak warganya masih memiliki hubungan darah satu sama lain—dan kondisi inilah yang membawa seorang ilmuwan genetika, Silvana Santos, mengungkap penyakit langka yang sebelumnya tak dikenal: Spoan syndrome.
Isolasi geografis dan minimnya migrasi membuat pernikahan antar sepupu menjadi hal yang lazim di Serrinha dos Pintos. Data penelitian tahun 2010 yang dipimpin oleh Santos menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen pasangan di kota ini memiliki hubungan kekerabatan, dan sepertiga dari mereka memiliki anak dengan disabilitas.
"Di Serrinha dos Pintos, pada dasarnya kami semua sepupu. Kami punya hubungan darah dengan hampir semua orang," kata Larissa Queiroz, salah satu warga yang menikah dengan kerabat jauhnya, seperti dikutip dari laman BBC, Senin (12/5/2025).
Fenomena sosial ini mendorong Santos, seorang biolog dan genetika dari São Paulo, untuk melakukan penelitian intensif. Ia pertama kali datang ke Serrinha setelah mendengar cerita dari tetangganya yang berasal dari kota itu. Setibanya di sana, ia merasa seperti memasuki "dunia yang berbeda" — bukan hanya karena alamnya yang indah, tetapi karena keterikatan kekerabatan yang begitu kuat.
Temuan Penyakit Genetik Langka
Dari kedekatan genetik inilah Spoan syndrome—penyakit yang menyebabkan kelemahan progresif pada sistem saraf dan otot—berasal. Penyakit ini hanya muncul jika kedua orangtua membawa gen yang bermutasi. Sebelumnya, keluarga hanya bisa menyaksikan anak-anak mereka kehilangan kemampuan berjalan tanpa tahu penyebabnya. Berkat penelitian Santos, mereka akhirnya mendapat diagnosis dan pengakuan.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi Santos untuk mengidentifikasi gen yang bertanggung jawab. Ia mengumpulkan DNA dari rumah ke rumah, duduk berbincang dengan warga sambil mendengarkan kisah keluarga, hingga akhirnya menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh hilangnya bagian kecil kromosom yang memicu produksi protein berlebih di sel otak.
Penelitian ini membawa angin segar: bantuan medis mulai berdatangan, pasien menerima kursi roda, dan yang terpenting—pemahaman tentang kondisi yang selama ini mereka alami.
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa mutasi ini kemungkinan besar berasal dari leluhur Eropa yang datang lebih dari 500 tahun lalu, termasuk orang-orang Yahudi Sephardic dan Moor yang melarikan diri dari Inkuisisi Iberia. Temuan dua kasus serupa di Mesir dengan jejak genetik Eropa memperkuat dugaan adanya asal usul bersama.
Jadi Proyek Nasional
Kini, Silvana Santos menjadi bagian dari proyek nasional yang akan menyaring 5.000 pasangan untuk mengetahui risiko genetik dalam pernikahan kekerabatan. Bagi warga Serrinha, program ini bukan ancaman terhadap tradisi, tapi justru bentuk perlindungan.
"Kami mencintai anak-anak kami seperti anak lainnya, tapi kami juga merasakan penderitaan mereka," kata Inés, ibu dari dua anak dengan Spoan.
Meski belum ditemukan obat, perubahan besar telah terjadi. Dulu mereka hanya disebut "lumpuh". Sekarang, mereka dikenali sebagai penyandang Spoan—dan masyarakat tidak lagi menatap dengan stigma, melainkan dengan pengertian.