, Washington D.C - Negara-negara BRICS yang beranggotakan awal Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan adalah kumpulan negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di abad ke-21.
Mereka ingin mengurangi ketergantungan negaranya dengan dolar Amerika Serikat (AS) yang merupakan mata uang cadangan dunia dan digunakan untuk hampir 80 persen perdagangan global.
Sebagian besar ekonom sepakat bahwa sistem keuangan yang didominasi dolar ini memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi AS, termasuk biaya pinjaman yang lebih rendah, kemampuan untuk mempertahankan defisit fiskal yang lebih besar, dan stabilitas nilai tukar, dikutip dari laman DW Indonesia, Rabu (4/12/2024).
Mengapa BRICS Ingin Menantang Dolar AS?
Dolar adalah mata uang utama yang digunakan untuk menentukan harga komoditas seperti minyak dan emas, dan stabilitasnya menarik para investor bahkan di saat situasi yang tidak menentu.
Washington juga mendapatkan pengaruh geopolitik yang menguntungkan dari apa yang disebut "dolarisasi," termasuk kemampuannya untuk memberlakukan sanksi terhadap negara lain dan membatasi akses mereka ke perdagangan dan modal.
Negara-negara BRICS, yang baru-baru ini diperluas dengan bergabungnya Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab (UEA), menuduh Washington "memanfaatkan" dolar sebagai senjata untuk memaksa para pesaingnya agar beroperasi dalam kerangka kerja yang ditentukan demi kepentingan AS.
Diskusi tentang mata uang bersama baru semakin berkembang setelah AS dan Uni Eropa memberlakukan sanksi terhadap Rusia atas invasi besar-besarannya ke Ukraina pada 2022, di tengah kekhawatiran bahwa negara-negara BRICS lainnya berpotensi menjadi target, jika mereka berselisih dengan Barat.
Mulai dari Prabowo tegaskan komitmen Indonesia gabung BRICS hingga rumah Netanyahu dilempar granat di News Flash Liputan6.com.
Bagaimana Perkembangan Rencana Mata Uang BRICS?
Penciptaan mata uang BRICS ini pertama kali diusulkan tidak lama setelah krisis keuangan pada 2008/2009, ketika meroketnya tren properti AS dan regulasinya yang buruk, hampir meruntuhkan seluruh sistem perbankan global.
Pada KTT BRICS tahun lalu di Afrika Selatan, blok ini sepakat untuk mempelajari kemungkinan menciptakan mata uang bersama guna meminimalkan risiko terhadap dolar AS, meskipun para pemimpin BRICS mencatat bahwa hal ini kemungkinan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa terwujud.
Presiden Rusia Vladimir Putin melangkah lebih jauh selama KTT BRICS terbaru di Kazan pada Oktober lalu, dengan mengusulkan sistem pembayaran internasional berbasis blockchain yang dirancang untuk menghindari sanksi Barat.
Meskipun rencana Putin itu kurang mendapat antusiasme, para pemimpin BRICS sepakat untuk memfasilitasi lebih banyak perdagangan dalam mata uang lokal, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Putin dan rekannya dari Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, adalah pendukung terkuat mata uang baru ini. Sementara China belum secara eksplisit menyatakan pendapatnya, Beijing telah mendukung inisiatif untuk mengurangi ketergantungan pada dolar. India, di sisi lain, lebih berhati-hati terhadap ide tersebut.
Seberapa Besar Pengaruh Mata Uang BRICS?
Menciptakan mata uang bersama baru akan menjadi langkah besar bagi negara-negara BRICS, dengan banyaknya kompleksitas karena sistem politik dan ekonomi yang berbeda-beda di antara kesembilan anggota saat ini. Negara-negara BRICS berada pada tahap perkembangan ekonomi yang beragam dan memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat berbeda satu sama lain.
Sebagai contoh, China adalah negara otoriter tetapi bertanggung jawab atas sekitar 70% dari total produk domestik bruto (PDB) blok ini yang mencapai $17,8 triliun (sekitar Rp283,8 triliun). China memiliki surplus perdagangan dan memegang cadangan dolar cukup besar untuk mendukung daya saingnya sebagai eksportir utama. India, di sisi lain, memiliki defisit perdagangan, yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia, dan ekonominya bernilai $3,7 triliun (sekitar Rp59 triliun).
Dominasi China dalam BRICS akan menciptakan ketidakseimbangan besar yang akan menyulitkan New Delhi untuk menyetujui kerangka kerja mata uang baru yang tidak mengesampingkan kepentingan nasionalnya. Perbedaan antara anggota BRICS lainnya juga kemungkinan akan memicu resistensi terhadap mata uang bersama itu.
Tidak mungkin juga anggota-anggota BRICS ini beralih ke mata uang yang sepenuhnya diperdagangkan seperti dolar atau euro. Euro membutuhkan lebih dari 40 tahun sejak pertama kali diusulkan pada 1959 hingga 2002, ketika uang kertas dan koinnya menjadi mata uang sah di 12 negara Uni Eropa, yang kemudian berekspansi menjadi ke 20 negara.
Opsi yang paling mungkin adalah penciptaan mata uang bersama yang digunakan murni untuk perdagangan, dengan nilai berdasarkan keranjang mata uang dan/atau komoditas seperti emas atau minyak.
Mata uang BRICS bisa berfungsi serupa dengan Hak Penarikan Khusus (SDR) Dana Moneter Internasional (IMF). SDR adalah aset keuangan internasional, yang nilainya berdasarkan pada nilai tukar harian dolar, euro, yuan, yen, dan pound. Beberapa pendukung telah menyarankan alternatif berupa mata uang digital BRICS.
Apakah Ancaman Tarif 100 Persen Trump Terlalu Dini?
Trump menulis di media sosial miliknya, Truth Social, pada Sabtu (30/11) lalu bahwa saat ia kembali ke Gedung Putih pada Januari mendatang, ia akan "meminta komitmen" dari negara-negara BRICS bahwa mereka "tidak akan menciptakan mata uang baru maupun mendukung mata uang lain untuk menggantikan dolar AS."
Namun, Presiden terpilih AS ini mungkin bertindak terlalu dini, karena usulan mata uang tersebut masih sedikit sekali kemajuannya, meskipun tetap ada retorika dari para pemimpin BRICS.
Bahkan pada Senin (02/12), pemerintah Afrika Selatan menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk menciptakan mata uang BRICS, bahkan menyalahkan "pelaporan keliru baru-baru ini" atas penyebaran narasi palsu.
Chrispin Phiri, juru bicara Departemen Hubungan Internasional dan Kerjasama Internasional (DIRCO) negara itu mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diposting di X/Twitter bahwa diskusi hingga saat ini berfokus pada meningkatkan perdagangan dalam blok tersebut dengan menggunakan mata uang nasional.
Ancaman Trump saat ini bahkan memperburuk hubungan dengan negara-negara pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia itu, yang juga merupakan beberapa mitra dagang utama AS. Hal ini dapat memicu ancaman tindakan balasan.
Ditambah dengan ancaman Trump yang sudah ada untuk memberlakukan tarif tambahan pada para pesaing AS, termasuk China, setiap langkah oleh pemerintahan AS dapat semakin memacu inflasi, baik secara global maupun domestik, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Keputusan untuk memprioritaskan dolar juga menandai pergeseran kebijakan dari masa jabatan pertama Trump, di mana ia mendukung pelemahan mata uang untuk meningkatkan ekspor AS. Ancaman Trump ini menyebabkan menguatnya dolar AS pada Senin (02/12), serta pelemahan emas, yuan, rupee, dan rand.
Juru bicara pemerintah Rusia Dmitry Peskov mengatakan sedang terjadi tren melawan dolar dengan menggunakan mata uang rubel sebagai mata uang cadangan, dengan mengatakan bahwa "semakin banyak negara beralih menggunakan mata uang nasional dalam perdagangan dan kegiatan ekonomi luar negeri mereka."