Liputan6.com, Seoul - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan pada Rabu (4/12/2024) bahwa dia akan mencabut darurat militer yang diberlakukan beberapa jam sebelumnya, yang bertujuan menanggulangi apa yang dia sebut sebagai "kekuatan anti-negara".
Keputusan Yoon muncul setelah anggota parlemen memutuskan menentang deklarasi yang tiba-tiba itu, yang mengejutkan bahkan sekutu-sekutu terdekat Korea Selatan di dunia.
Sebelumnya, Gedung Majelis Nasional ditutup dan tentara sempat masuk sebentar, sementara ratusan demonstran berkumpul di luar sambil berteriak, "Tangkap Yoon Suk Yeol", dan berhadapan dengan pasukan keamanan.
"Baru saja, ada permintaan dari Majelis Nasional untuk mencabut keadaan darurat dan kami telah menarik pasukan militer yang dikerahkan untuk operasi darurat militer," kata Yoon dalam pidato yang disiarkan televisi sekitar pukul 04.30 waktu setempat, seperti dilansir CNA.
"Kami akan menerima permintaan Majelis Nasional dan mencabut darurat militer melalui rapat kabinet."
Keputusan ini memicu kegembiraan di kalangan para demonstran di luar parlemen yang telah bertahan dalam suhu beku semalaman untuk memprotes perintah darurat militer Yoon.
Sekitar 190 anggota parlemen berhasil memasuki gedung parlemen pada Rabu dini hari, di mana mereka memberikan suara secara bulat untuk menentang dan meminta pencabutan deklarasi darurat militer.
Keprihatinan Internasional
Yoon memberikan berbagai alasan untuk membenarkan pemberlakuan darurat militer - yang pertama kali dalam lebih dari 40 tahun di Korea Selatan.
"Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh kekuatan komunis Korea Utara dan untuk menghapus elemen-elemen anti-negara yang merusak kebebasan dan kebahagiaan rakyat, saya dengan ini menyatakan darurat militer," kata Yoon dalam pidato langsung kepada bangsanya pada Selasa (3/12) pukul 22.30 waktu setempat.
Namun, Yoon tidak memberikan rincian ancaman dari Korea Utara, meskipun Korea Selatan masih berada dalam keadaan perang teknis dengan Pyongyang yang memiliki senjata nuklir.
"Majelis Nasional kita telah menjadi tempat perlindungan bagi para kriminal, sarang kediktatoran legislatif yang berusaha melumpuhkan sistem peradilan dan administrasi serta membalikkan tatanan demokrasi liberal kita," tambah Yoon.
Jenderal Park An-su, Kepala Staf Angkatan Darat, mengambil alih sebagai komandan darurat militer berdasarkan perintah sebelumnya dan segera mengeluarkan dekrit yang melarang "semua kegiatan politik".
Korea Selatan yang demokratis adalah sekutu utama Amerika Serikat (AS) di Asia dan Kementerian Luar Negeri AS menyatakan memiliki "keprihatinan serius" atas situasi tersebut.
"Kami memantau perkembangan terbaru di ROK dengan keprihatinan yang mendalam," kata Campbell setelah darurat militer diberlakukan, merujuk pada Korea Selatan dengan nama resmi Republik Korea.
"Kami sangat berharap dan mengharapkan bahwa segala perselisihan politik akan diselesaikan secara damai dan sesuai dengan aturan hukum," tambahnya.
China, sekutu utama Korea Utara, mengimbau warganya di Korea Selatan untuk tetap tenang dan berhati-hati, sementara Inggris mengatakan sedang memantau perkembangan dengan cermat.
Dekrit dari komandan darurat militer Park juga melarang "tindakan yang menentang atau berusaha menggulingkan sistem demokrasi liberal, termasuk penyebaran berita palsu, manipulasi opini publik, dan propaganda palsu".
Kekuatan Anti-Negara?
Yoon menggambarkan oposisi, yang memiliki mayoritas di parlemen beranggotakan 300 orang, sebagai "kekuatan anti-negara yang berusaha menggulingkan rezim".
Dia lantas menyebut pemberlakuan darurat militer sebagai "keputusan yang tak terhindarkan untuk menjamin kelangsungan Korea Selatan yang liberal" dan menambahkan bahwa hal itu tidak akan memengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut.
"Saya akan mengembalikan negara ini ke keadaan normal dengan menghilangkan kekuatan anti-negara secepat mungkin," katanya, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Dia menggambarkan situasi saat ini sebagai Korea Selatan "di ambang kehancuran, dengan Majelis Nasional bertindak sebagai monster yang berniat menjatuhkan demokrasi liberal".
Perselisihan Anggaran
Vladimir Tikhonov, profesor studi Korea di Universitas Oslo, mengatakan tindakan Yoon adalah upaya untuk mengembalikan sejarah.
"Saya rasa masyarakat sipil Korea Selatan tidak lagi dapat mengakui Yoon sebagai presiden yang sah," ujarnya kepada AFP.
Partai Kekuatan Rakyat yang dipimpin Yoon dan Partai Demokrat oposisi tengah berselisih sengit mengenai anggaran tahun depan.
Para anggota parlemen oposisi minggu lalu menyetujui rencana anggaran yang jauh lebih kecil melalui komite parlemen.
Oposisi memangkas sekitar 4,1 triliun won dari anggaran yang diajukan oleh Yoon sebesar 677 triliun won, dengan mengurangi dana cadangan pemerintah serta anggaran untuk berbagai lembaga, termasuk kantor presiden, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga audit negara.
Pemberlakuan darurat militer ini terjadi setelah tingkat persetujuan terhadap Yoon turun menjadi 19 persen dalam jajak pendapat Gallup pekan lalu, di tengah ketidakpuasan yang meluas terkait dengan pengelolaan ekonomi dan kontroversi yang melibatkan istrinya, Kim Keon Hee.