Liputan6.com, Taipei - Minggu depan, tepatnya 7 Mei 2025, 135 kardinal akan berkumpul di Vatikan untuk menghadiri konklaf—pertemuan sangat tertutup yang akan memilih pengganti Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April. Saat di seluruh dunia orang-orang berspekulasi "siapa yang akan menjadi paus berikutnya?", topik yang dilaporkan justru hangat dibicarakan di Taiwan adalah "siapa yang akan menghadiri pelantikan paus baru nanti?"
Mantan Wakil Presiden Chen Chien-jen, baru saja kembali dari Vatikan setelah mewakili Taiwan dalam pemakaman Paus Fransiskus. Sebagai seorang Katolik yang taat, Chen berharap dia tidak perlu kembali ke Vatikan untuk menyambut paus baru. Sebaliknya, dia mendorong agar Presiden Taiwan Lai Ching-te yang nantinya menghadiri pelantikan.
"Kami berdoa agar Dr. Lai bisa menghadiri pelantikan paus yang baru," kata Chen kepada The Guardian di Taipei.
Belum ada penjelasan resmi mengapa Lai tidak hadir dalam pemakaman Paus Fransiskus, namun dugaan yang beredar—semuanya mengarah ke tekanan dari China.
Vatikan adalah satu dari hanya 12 pemerintahan di dunia yang secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara dan mereka satu-satunya di Eropa. Presiden Taiwan sebelumnya pernah menghadiri pemakaman Paus Yohanes Paulus II serta misa pertama Paus Fransiskus. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, posisi Taiwan di panggung internasional semakin terjepit akibat dinamika geopolitik yang kian kompleks.
China mengklaim Taiwan sebagai salah satu provinsinya dan bertekad untuk menganeksasi wilayah tersebut, bahkan secara militer jika diperlukan. China ikut menggunakan pengaruh globalnya yang besar untuk mencegah pemerintah Taiwan—yang mereka cap sebagai "separatis"— tampil di panggung internasional dan telah berhasil meyakinkan banyak sekutu Taiwan untuk memutuskan hubungan resmi dan beralih mengakui China.
Para pengamat yakin itulah yang terjadi dalam konteks pemakaman Paus Fransiskus.
Momen Langka Pertemuan dengan Banyak Pemimpin Dunia
Setelah kematian Paus Fransiskus diumumkan, Taiwan dengan cepat mengirimkan ucapan belasungkawa. Wakil Menteri Luar Negeri Taiwan Wu Chih-chung secara terbuka menyatakan bahwa tujuan utama Taiwan adalah agar presidennya memimpin delegasi ke pemakaman. Namun, hanya beberapa jam kemudian, diumumkan bahwa Chen—yang pernah bertemu Paus Fransiskus sebanyak enam kali dan merupakan anggota Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan—adalah pilihan terbaik dalam kondisi saat ini, setelah diskusi dengan Vatikan.
Spekulasi pun merebak bahwa Vatikan mungkin telah menolak kehadiran Lai—atau paling tidak meminta agar dia tidak dikirim—karena tekanan dari China. Baik Taiwan, China, maupun Vatikan tidak memberikan komentar resmi.
China sendiri dilaporkan cukup lambat dalam mengirimkan ucapan duka, yang disampaikan hanya melalui juru bicara kementerian luar negeri dalam konferensi pers, yang menegaskan bahwa Taiwan adalah bagian yang tak terpisahkan dari China. Mereka juga tidak mengirimkan utusan ke pemakaman Paus Fransiskus, yang menimbulkan dugaan bahwa Vatikan menolak untuk mengecualikan delegasi dari Taiwan.
"Kami tahu (pemakaman) ini akan menjadi masalah yang rumit, kami tahu China akan meminta agar delegasi Taiwan tidak diizinkan hadir, dan kami tahu Vatikan tidak bisa berkata 'tidak' secara terbuka, tapi juga tidak bisa menolak Taiwan karena merupakan mitra diplomatik dan karena ada umat Katolik di Taiwan," ujar peneliti di Universitas Nasional Singapura Michel Chambon.
Kehadiran Taiwan dalam acara semacam ini bukan hanya soal menghormati momen penting bagi sekutu dekat. Ini menjadi kesempatan langka untuk bertemu dengan para pemimpin dunia lain, terutama di masa ketika Taiwan sangat membutuhkan dukungan global guna mencegah agresi China.
Chen tidak yakin berapa banyak pemimpin dan pejabat asing yang dia temui di pemakaman Paus Fransiskus, namun jumlahnya banyak.
"Di lapangan (Santo Petrus), saya sempat bertemu, misalnya, Presiden Biden dari Amerika Serikat (AS), serta utusan khusus dari Jepang, Thailand, Korea Selatan—terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Ini kesempatan baik untuk berdialog dengan pejabat pemerintah dari negara-negara yang sejalan dengan kami," tutur Chen kepada The Guardian.
"Dengan semua teman kami, kami punya pemikiran yang sama, dan kami semua menghargai stabilitas, keamanan, dan kemakmuran kawasan. Kami berharap bisa terus menjaga kebebasan dan keterbukaan kawasan Indo-Pasifik."
Warisan Paus Fransiskus
Dari sisi Vatikan, Taiwan dinilai tetap merupakan mitra penting bagi gereja, meskipun hanya 0,02 persen umat Katolik dunia berada di pulau itu.
"Ini (Taiwan) adalah gereja penghubung," ungkap Chen.
Hingga sekitar satu dekade lalu, sebelum ketegangan lintas selat makin memburuk, para pastor dan biarawati dari China secara diam-diam datang ke Taiwan untuk mengikuti pelatihan teologi dalam bahasa mereka sendiri.
Paus Fransiskus dilaporkan memberikan perhatian lebih kepada umat Katolik berbahasa Mandarin di Asia. Dalam khotbah pemakamannya, dia bahkan menutup dengan doa dalam bahasa Mandarin—satu-satunya doa yang disampaikan dalam bahasa Asia. Diperkirakan ada sekitar 12 juta umat Katolik di China dan di bawah kepemimpinan Fransiskus, Vatikan mencapai kemajuan penting dalam negosiasi dengan China untuk melindungi kebebasan beragama mereka, termasuk perjanjian mengenai penunjukan uskup.
"Kita belum tahu apakah paus baru akan mencintai China seperti Paus Fransiskus," sebut pakar diplomasi Vatikan dari Universitas Nasional Chengchi, Taiwan, Thomas Tu. "Tapi saya rasa Vatikan ingin menjaga warisan itu."
Apakah warisan itu akan mengorbankan status diplomatik Taiwan, masih jadi bahan perdebatan. Chen mengakui ini adalah persoalan yang rumit.
"Takhta Suci perlu mendapatkan jaminan kebebasan beragama dari China untuk melindungi semua umat di sana, sebagai gembala besar. Ini tanggung jawab besar."
Menurut Chambon, Paus Fransiskus selama ini berhasil menjaga keseimbangan hubungan dengan kedua pihak—memperkuat relasi dengan China tanpa mengorbankan hubungan dengan Taiwan.
"Vatikan tidak ingin meninggalkan umat Katolik mana pun di dunia, termasuk yang ada di Taiwan," kata dia. "Selama ini Vatikan bisa bermanuver dan menolak tekanan dari Beijing untuk memutus hubungan resmi dengan Taiwan."
Pemerintah Taiwan menyatakan bahwa mereka masih menyusun rencana delegasi yang akan menghadi pelantikan dan belum menyebut apakah mereka berharap Presiden Lai akan memimpinnya. Namun menurut Chambon, Vatikan kemungkinan besar berharap Chen yang kembali memimpin delegasi.
"Vatikan tidak ingin benar-benar menolak Taiwan… Saya rasa mereka ingin situasinya seperti pada pemakaman kemarin—delegasi tetap ada, tapi tanpa memprovokasi Beijing," imbuhnya.