Liputan6.com, Stettin - Dalam sejarah Rusia, nama Putri Sophia August Frederika yang kelak dikenal sebagai Catherine II atau Catherine the Great menjadi salah satu sosok paling berpengaruh yang mengubah arah kekaisaran.
Ia lahir pada 2 Mei 1729 di Stettin, kota pelabuhan di kawasan Baltik yang saat itu menjadi bagian dari Pomerania, Jerman. Ayahnya, Christian August, merupakan pangeran militer Jerman yang kurang dikenal, sementara ibunya, Putri Joanna Elizabeth, berasal dari keluarga bangsawan Holstein-Gottorp.
Meskipun secara nominal Christian August adalah penguasa wilayah kecil Anhalt-Zerbst, sebagian besar hidupnya dihabiskan sebagai perwira di ketentaraan Prusia. Sejak kecil, Sophia akrab disapa Feke atau Figchen. Tak banyak yang diketahui mengenai masa kecilnya, kecuali kisah yang ia tuliskan sendiri dalam otobiografinya yang tak pernah selesai.
Mengutip dari alexanderpalace.org, Rabu (2/5/2025), disebutkan bahwa ibunda Figchen, Joanna, merupakan saudara dari Karl August yang dahulu sempat bertunangan dengan Elizabeth I dari Rusia sebelum naik takhta. Namun, Karl August wafat secara tiba-tiba di Petersburg pada 1727. Elizabeth tetap menyimpan kenangan hangat terhadap Karl dan keluarganya bahkan setelah kepergiannya.
Pada awal 1740-an, sang permaisuri mulai mencari calon istri untuk keponakan sekaligus pewarisnya, Peter. Figchen dianggap cocok dari segi usia dan menjadi pilihan sentimental bagi Elizabeth yang dikenal romantis.
Pada akhir 1743, Figchen dan ibunya pun dipanggil ke Rusia oleh Elizabeth. Usulan perjodohan antara sang putri muda dari Jerman dengan pewaris takhta Rusia didukung pula oleh Raja Prusia, Frederick, yang melihat peluang untuk memperkuat pengaruh Prusia di istana St. Petersburg.
Dari Pengantin Politik Menjadi Pengguling Takhta
Sebelum Figchen berangkat ke Rusia, Frederick sempat menjamu dan memperhatikan sang putri dalam sebuah jamuan di Berlin. Ia kemudian mengklaim bahwa dirinya sudah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Figchen sejak usia belia.
Perjalanan Figchen memasuki wilayah Rusia dimulai dari Riga menuju St. Petersburg dan kemudian ke Moskow. Pada 9 Februari 1744, ia akhirnya bertemu Ratu Elizabeth. Sang permaisuri langsung jatuh hati padanya. Figchen pun mulai mempelajari bahasa Rusia serta ajaran Ortodoks. Ia akhirnya meninggalkan keyakinan Lutheran dan dibaptis ulang dengan nama baru: Yekaterina, atau Catherine.
Namun, calon suaminya ternyata sangat jauh dari harapan. Peter dikenal sebagai pribadi yang lemah secara fisik dan mental, serta bertabiat buruk. Ia bahkan tidak mampu menyempurnakan pernikahannya dengan Catherine. Elizabeth tidak menyadari bahwa masalahnya ada pada Peter, dan justru menekan pasangan muda itu agar segera memiliki keturunan demi kelangsungan dinasti.
Saat upaya tersebut tak kunjung berhasil, Elizabeth akhirnya merestui hubungan Catherine dengan seorang perwira Rusia tampan, Serge Saltykov. Dari hubungan tersebut, Catherine melahirkan seorang anak laki-laki bernama Paul yang kemudian diakui Peter sebagai anaknya. Segera setelah kelahirannya, Paul langsung dibawa ke kediaman Ratu Elizabeth dan dibesarkan oleh sang permaisuri seolah anak kandungnya.
Catherine dan Peter tidak pernah saling mencintai. Ketika Ratu Elizabeth wafat pada 25 Desember 1761, Peter naik takhta sebagai Kaisar Peter III. Ia segera menunjukkan obsesi berlebihan terhadap budaya Prusia dengan menjalin aliansi yang justru merugikan Rusia. Ia memerintahkan pasukan elit Kekaisaran untuk mengganti seragam khas peninggalan Peter Agung dengan seragam ketat ala Prusia.
Tak hanya itu, ia juga memberlakukan aturan militer yang keras, meniru sistem Prusia. Hal ini menimbulkan kebencian dari kalangan militer dan masyarakat luas. Dalam waktu singkat, Peter menjadi sosok yang tidak disukai oleh berbagai lapisan. Hingga akhirnya, pada 28 Juni 1762, Catherine memimpin kudeta yang disambut dengan kelegaan oleh rakyat. Ia secara resmi menggulingkan suaminya.
Catherine pun naik takhta sebagai Maharani Rusia yang baru. Ia dinobatkan dengan kemegahan luar biasa pada 22 September 1762 di Kremlin Moskow, jantung kebudayaan dan Ortodoksi Rusia. Beberapa bulan setelah itu, Peter dibunuh oleh kekasih Catherine, Orlov, bersama saudara dan para pengikutnya.Tak lama, nama Peter pun terlupakan. Demi memperkuat posisinya, Catherine memberikan berbagai jabatan penting, tanah, kekayaan, dan budak kepada para pendukung setianya.
Reformasi dan Realita Pemerintahan Catherine
Begitu berkuasa, Catherine segera memulai berbagai perubahan dalam pemerintahan dan masyarakat. Ia menerapkan pemikiran dari para filsuf Prancis era Pencerahan dan juga ide-ide dari penulis Romawi kuno. Namun, ia segera menyadari bahwa sangat sulit memaksakan prinsip-prinsip asing walaupun logis ke dalam tatanan Rusia.
Lambat laun, Catherine pun mulai meninggalkan idealismenya. Ia semakin tenggelam dalam kekuasaan absolut, meski tetap mempertahankan citra sebagai pemimpin yang tercerahkan. Gereja Ortodoks, yang sebelumnya mulai dilemahkan oleh Peter Agung, turut dilemahkan oleh Catherine yang menyita kekayaannya dan menjadikan para rohaniwan sebagai pegawai negeri.
Catherine juga membangun banyak monumen megah di seluruh Rusia, serta mengubah wajah St. Petersburg menjadi kota modern berkelas Eropa. Ia menjadi pelindung seni, musik, dan pendidikan, serta menginvestasikan jutaan rubel untuk membangun koleksi Hermitage yang kini menjadi salah satu kebanggaan Rusia dan dunia.
Tak ada pemimpin Rusia lain yang mampu mengapresiasi keindahan seperti Catherine. Ia pun membuka jalan bagi lahirnya budaya nasional Rusia yang unik dan mempesona pada abad ke-19.
Catherine tak pernah menikah kembali secara resmi. Namun, sempat beredar kabar bahwa ia dan kekasihnya, Potemkin, menikah diam-diam di Gereja St. Samson di Petersburg. Kehidupan pribadinya sering menjadi sorotan, terutama karena banyak pria muda yang hadir di kehidupannya menjelang akhir masa kekuasaan.
Andaikan Catherine adalah seorang pria, besar kemungkinan tak akan ada yang mempermasalahkannya. Ia sendiri menghadapi isu ini dengan kepala tegak, dan menganggap hubungannya sebagai bentuk kebutuhan manusiawi seorang penguasa tunggal.
Akhir Hidup Catherine dan Warisan yang Tersisa
Sepanjang hidupnya, Catherine menjalin hubungan dingin dengan putranya, Paul Petrovich Romanov atau yang kelak dikenal sebagai Paul I. Sejak kecil, Paul menyimpan dendam terhadap ibunya karena merasa diperlakukan rendah dan meyakini bahwa Catherine terlibat langsung dalam pembunuhan ayahnya, Peter III meskipun bukti sejarah berkata sebaliknya.
Ia juga menolak mengakui Saltykov sebagai ayah kandungnya. Permusuhan antara ibu dan anak ini bersifat timbal balik. Catherine menilai Paul sebagai sosok yang bodoh dan tidak stabil. Ia khawatir bahwa Paul akan merusak seluruh pencapaiannya. Bahkan, Paul pernah beberapa kali secara terbuka menyatakan keinginannya untuk membatalkan seluruh kebijakan sang ibu jika kelak ia menjadi kaisar.
Catherine berencana mewariskan takhtanya kepada cucunya yang juga favoritnya, Alexander. Namun karena merasa masih memiliki banyak waktu, ia belum sempat mengatur peralihan kekuasaan tersebut. Ketika Catherine wafat akibat serangan jantung pada 6 November 1796, takhta pun jatuh ke tangan Paul.
Selama masa pemerintahannya, Catherine membawa Rusia menjadi negara yang lebih kuat, makmur, dan indah dibandingkan sebelumnya. Bahwa banyak dari cita-citanya yang gagal diwujudkan, bukan karena kurangnya usaha, melainkan karena sifat alami manusia itu sendiri.
Catherine menyadari bahwa perubahan tak bisa dipaksakan hanya dengan kekuasaan. Ia enggan menggunakan kekerasan untuk memaksakan transformasi sosial. Sebaliknya, ia memilih jalur yang lebih sabar melalui hukum, pendidikan, dan keteladanan. Ia sendiri telah menanamkan tunas peradaban Barat ke dalam akar budaya Rusia yang kemudian berkembang menjadi mahakarya dua generasi setelahnya.