Liputan6.com, Vatican City - Ketika 133 kardinal dari 71 negara bersiap memasuki Kapel Sistina pada 7 Mei 2025, satu hal menjadi jelas: siapa yang akan menjadi paus baru tidak semudah ditebak seperti konklaf sebelumnya.
Meski spekulasi ramai beredar, prediksi siapa yang akan menggantikan Paus Fransiskus—yang wafat pada Senin Paskah dalam usia 88 tahun—kali ini jauh lebih rumit.
Menurut sejarawan gereja Jörg Ernesti, penyebab utamanya adalah keragaman nasional dan budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam Kolese Kardinal.
"Secara umum lebih sulit memprediksi hasil pemilihan sekarang karena kolese ini secara nasional dan budaya jauh lebih heterogen," ungkapnya, seperti dikutip dari laman DW, Selasa (6/5/2025).
Paus Fransiskus selama masa kepemimpinannya aktif mendorong Gereja Katolik menjadi lebih universal dan inklusif. Ia menunjuk kardinal dari wilayah-wilayah yang sebelumnya jarang terwakili, termasuk Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Hasilnya, 80 persen kardinal pemilih saat ini merupakan penunjukannya sendiri.
Namun, angka dominan ini tidak serta-merta menjamin arah pemilihan.
"Terlalu banyak kandidat yang baik untuk dipastikan siapa yang akan dipilih," ujar Ernesti.
Berbeda dari pemilihan sebelumnya, saat ini tidak ada satu nama yang secara jelas menonjol sebagai kandidat kuat. Meski nama-nama seperti Kardinal Jean-Claude Hollerich dari Luksemburg atau Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina sempat disebut-sebut jadi calon kuat pengganti Paus Fransiskus, keduanya kini memilih untuk diam menjelang konklaf.
Media Prancis La Croix bahkan menolak mempublikasikan nama-nama kandidat, menilai bahwa semua kardinal pemilih memiliki peluang yang sama.
Faktor-Faktor Penentu
Pemilihan paus tidak hanya soal popularitas atau senioritas. Banyak aspek yang dipertimbangkan: pengalaman pastoral, kemampuan manajerial, asal negara (maju atau berkembang), hingga sikap terhadap isu-isu sensitif seperti homoseksualitas.
Bahkan di antara kelompok kardinal yang sama-sama “pro-Fransiskus”, masih terdapat perbedaan pendekatan yang signifikan. Hal ini membuat pemilihan kali ini bukan hanya tak terduga, tapi juga sangat terbuka untuk berbagai kemungkinan.
"Konklaf bukan ajang pertukaran pandangan seperti parlemen" jelas Ernesti.
"Itu proses ritual yang sangat berbeda."
Menariknya, beberapa tokoh senior yang sempat tersingkir di masa Fransiskus kembali terlihat aktif. Misalnya, Kardinal Juan Luis Cipriani dari Peru dan Kardinal Roger Mahony dari AS muncul di pertemuan pra-konklaf. Namun, tokoh-tokoh seperti Kardinal Christoph Schönborn dan Kardinal Walter Kasper tetap bersikukuh bahwa arah reformasi harus dilanjutkan.
"Reformasi tidak bisa dihentikan," tegas Kasper, sambil memperkirakan konklaf kali ini bisa berlangsung lebih lama dari biasanya.
Sebagai perbandingan, konklaf 2013 berlangsung 27 jam, sementara pada 2005 hanya 26 jam. Konklaf terlama di abad ke-20 berlangsung selama lima hari pada 1903—saat belum ada pertemuan pra-konklaf seintens sekarang.