Liputan6.com, Islamabad - Survei Ekonomi Pakistan tahun 2024–2025 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Muhammad Aurangzeb menggambarkan kondisi negara yang mengkhawatirkan: pertumbuhan ekonomi yang stagnan, kegagalan struktural, dan dominasi militer yang terus menggerus anggaran publik untuk pembangunan.
Dalam laporan ini, pemerintah Pakistan dituding lebih mementingkan pengeluaran pertahanan ketimbang investasi pada pembangunan manusia dan ekonomi. Kekalahan dalam konflik militer terbaru dengan India menjadi dalih bagi militer untuk membeli sistem persenjataan baru—mayoritas dari Tiongkok.
Meski performa senjata Tiongkok dinilai mengecewakan dalam konflik terakhir, tekanan dari lobi pertahanan Beijing di Islamabad mendorong pembelian besar-besaran senjata canggih, termasuk jet tempur dan sistem pertahanan udara, dikutip dari laman greekcitytimes, Senin (16/6/2025).
Langkah ini berisiko memperbesar beban fiskal, terutama ketika rakyat Pakistan sangat membutuhkan dukungan sosial dan pembangunan infrastruktur dasar. Apalagi, perekonomian negara itu kini sangat bergantung pada pinjaman dari lembaga-lembaga internasional, termasuk paket bantuan USD 7 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang disetujui tahun lalu.
Pemerintah sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,6 persen, namun realisasinya hanya mencapai 2,68 persen—angka yang mencerminkan stagnasi, bukan pemulihan. Dengan populasi muda yang terus meningkat, pertumbuhan seperti ini tidak cukup untuk menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi kemiskinan, atau meningkatkan taraf hidup.
Konflik dengan India juga membawa kerugian finansial besar, diperkirakan mencapai lebih dari USD 11 miliar. Hal ini makin menekan kondisi keuangan Pakistan, yang kini menghadapi kekhawatiran IMF terkait penggunaan dana bantuan yang dikhawatirkan dialihkan untuk belanja militer ketimbang reformasi ekonomi.
Serangan militer India ke wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan dan Pakistan awal pekan ini menewaskan lebih dari 100 militan, termasuk para pemimpin mereka, demikian klaim kepala operasi militer India pada hari Minggu.
Sektor Pertanian Pakistan
Sektor pertanian, yang menyerap lebih dari 35 persen tenaga kerja nasional, hanya tumbuh 0,56 persen. Penurunan produksi utama seperti kapas (turun 31 persen), gandum (turun 9 persen), dan jagung (turun 15 persen) mencerminkan krisis agrikultur yang serius. Penyebabnya beragam: kekurangan air, tata kelola input yang buruk, korupsi, dan dampak perubahan iklim. Kinerja ini disebut sebagai yang terburuk dalam sejarah pertanian Pakistan, bahkan dibandingkan dengan tahun-tahun bencana banjir besar. Namun ironisnya, reformasi agraria masih belum masuk ke dalam agenda kebijakan pemerintah pusat.
Di sektor manufaktur, produksi skala besar mengalami kontraksi sebesar 1,5 persen. Sementara sektor jasa tumbuh 2,91 persen, namun pertumbuhan ini lebih terkonsentrasi di kota-kota besar dan gagal menyentuh mayoritas penduduk. Industri manufaktur turut terpukul oleh tingginya biaya energi, pembatasan impor, serta kebijakan proteksionis dan korupsi sistemik yang melemahkan daya saing nasional.
Pemerintah sempat mengklaim keberhasilan dengan menurunnya inflasi dari 25 persen menjadi 4,7 persen. Namun penurunan ini ditopang oleh kebijakan penghematan besar-besaran atas desakan IMF. Subsidi untuk bahan makanan, bahan bakar, dan listrik dipangkas, sementara pengeluaran pembangunan disunat tajam. Beban pun jatuh pada masyarakat, dengan penurunan upah riil dan tagihan listrik yang melonjak.
Surplus fiskal primer sebesar 3 persen dari PDB sebenarnya tidak berasal dari reformasi struktural, melainkan dari pemangkasan belanja pembangunan dan penerapan pajak regresif, termasuk pungutan minyak. Hal ini justru memperlebar jurang kesenjangan dan memperkecil ruang negara untuk berinvestasi dalam sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, dan adaptasi perubahan iklim.
Laporan Stunting di Pakistan
Kontras dengan pemotongan anggaran publik, belanja pertahanan Pakistan justru direncanakan naik signifikan hingga menembus PKR 2 triliun—sekitar 16 persen dari total belanja negara. Pada saat yang sama, anggaran pendidikan turun di bawah 2 persen dari PDB, dan belanja kesehatan hanya menyentuh 1,5 persen—jauh dari standar regional.
Akibatnya, lebih dari 40 persen anak balita mengalami stunting, dan lebih dari 20 juta anak putus sekolah. Ini mempertegas bagaimana keamanan nasional Pakistan lebih dipahami dalam perspektif militer, bukan sebagai upaya untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Beban utang publik kini telah melewati PKR 76 triliun, atau setara dengan 65–68 persen dari PDB. Selain itu, utang luar negeri Pakistan mencapai USD 87,4 miliar. Lebih dari separuh pendapatan negara digunakan hanya untuk membayar cicilan utang, menyisakan sangat sedikit untuk program pembangunan.
Surplus transaksi berjalan sebesar USD 1,9 miliar pun tidak berasal dari ekspor yang meningkat, melainkan dari pembatasan impor dan pinjaman baru. Remitansi dari tenaga kerja luar negeri menjadi penyelamat sementara, tetapi sifatnya sangat rentan terhadap dinamika geopolitik.
Bantuan Internasional
Pakistan kini sangat bergantung pada dana talangan dari IMF, Tiongkok, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Ketergantungan ini telah mengikis kedaulatan ekonomi negara dan memberi pengaruh besar kepada para kreditor terhadap kebijakan domestik Pakistan.
Tiongkok, salah satu penyokong utama, disebut-sebut menawarkan pinjaman dan keringanan utang demi memastikan pembelian alat militer produksinya oleh Pakistan. Ini bukan hanya memperdalam ketergantungan Islamabad terhadap Beijing, tetapi juga menjadikan Pakistan sebagai ladang uji coba peralatan militer Tiongkok dan etalase untuk menjangkau pasar global.
Namun, realitasnya, anggaran militer yang membengkak, peran dominan militer dalam tata kelola negara, dan ketidakpastian ekonomi hanya akan memperburuk prospek pertumbuhan sipil dan stabilitas jangka panjang Pakistan. Dalam kondisi seperti ini, rakyatlah yang menanggung beban terberat dari sebuah negara yang lebih sibuk memperkuat senjatanya daripada membangun masa depan warganya.