Liputan6.com, Teheran - Iran menyatakan pada Jumat (2/5/2025), sanksi Amerika Serikat (AS) yang terus dikenakan terhadap mitra dagangnya tidak akan memengaruhi kebijakan negaranya. Pernyataan ini disampaikan setelah Presiden Donald Trump mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada negara atau individu mana pun yang membeli minyak dari Iran.
"Kelanjutan dari perilaku ilegal ini tidak akan mengubah posisi Iran yang logis, sah, dan berdasarkan hukum internasional," kata pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Iran, yang mengecam apa yang disebutnya sebagai tekanan terhadap mitra dagang dan ekonomi Iran, seperti dilansir BBC.
Pernyataan itu juga menambahkan bahwa sanksi-sanksi seperti ini telah menciptakan kecurigaan dan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap keseriusan AS di jalur diplomasi.
Pada Kamis (1/5), Trump bersumpah akan menegakkan sanksi dan menyerukan boikot global terhadap minyak atau produk petrokimia dari Iran.
"Semua pembelian Minyak Iran atau produk Petrokimia, harus dihentikan, SEKARANG JUGA!" tulis Trump di platform Truth Social.
"Setiap negara atau individu yang membeli BERAPA PUN JUMLAH Minyak atau produk PETROKIMIA dari Iran akan dikenai sanksi Sekunder, secara langsung."
Pernyataannya muncul setelah Iran mengonfirmasi penundaan putaran berikutnya dari negosiasi nuklir dengan AS, yang sebelumnya dijadwalkan pada Sabtu.
Oman menyatakan bahwa tanggal baru untuk putaran negosiasi AS-Iran berikutnya akan diumumkan jika telah disepakati bersama.
Kesepakatan yang Adil dan Berimbang
Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, yang memimpin delegasi Iran dalam tiga putaran negosiasi sebelumnya, mengatakan bahwa Iran siap untuk mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang.
"Tidak ada perubahan dalam tekad kami untuk mencapai solusi yang dinegosiasikan," kata Araghchi di X, seraya menambahkan bahwa setiap kesepakatan harus menjamin 'penghapusan sanksi'.
Pembahasan ini merupakan kontak tingkat tertinggi terkait program nuklir Iran sejak Trump meninggalkan kesepakatan penting antara Teheran dan kekuatan besar dunia pada 2018.
Presiden AS sebelumnya telah menulis surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei pada Maret, yang isinya mengajak untuk bernegosiasi namun juga memperingatkan kemungkinan aksi militer jika upaya ini gagal.
Sejak kembali menjabat pada Januari, Trump menghidupkan kembali kebijakan "tekanan maksimum" dengan sanksi terhadap Iran, yang terbaru diumumkan pada Rabu (30/5) dan menargetkan tujuh perusahaan yang dituduh mengangkut produk minyak asal Iran.
Ketegangan terkait program nuklir Iran meningkat tajam setelah AS menarik diri dari kesepakatan tahun 2015 dengan negara-negara besar, yang awalnya memberikan keringanan sanksi kepada Teheran sebagai imbalan atas pembatasan aktivitas nuklirnya.
Iran dilaporkan masih mematuhi perjanjian itu selama setahun berikutnya sebelum mulai mengurangi tingkat kepatuhannya.
Peringatan Prancis
Pada Senin (28/5), Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot mengatakan bahwa Iran berada di ambang memperoleh senjata nuklir.
Dia juga memperingatkan bahwa sanksi PBB terhadap Teheran — yang dicabut di bawah kesepakatan nuklir 2015 — bisa kembali diberlakukan jika aktivitas nuklir Iran dianggap mengancam keamanan Eropa.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baqaei menyebut pernyataan menteri luar negeri Prancis itu "sangat tidak masuk akal".
“Pernyataan yang keliru ini, ditambah dengan ancaman terbuka sang menteri untuk kembali menjatuhkan sanksi, memperkuat kecurigaan bahwa sikap cerewet-cerewet bisa berkembang menjadi peran pengganggu (spoiler).”