Liputan6.com, Jakarta - Di dunia yang semakin terhubung, kesempatan untuk bertukar gagasan dan membangun jejaring internasional menjadi semakin penting.
Eisenhower Fellowship (EF) adalah salah satu program yang memberikan peluang tersebut kepada para pemimpin muda dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Dua alumni program ini, yang baru saja menyelesaikan perjalanan enam minggu mereka di Amerika Serikat (AS), berbagi pengalaman inspiratif yang memperlihatkan bagaimana program ini mampu membentuk perspektif, koneksi, dan kontribusi yang mendalam.
Eisenhower Fellowship dengan jaringan lebih dari 45 alumni di Indonesia sejak 1990, tidak hanya menjadi medium pengembangan karir, tetapi juga menjadi ruang untuk membangun pemahaman lintas budaya.
Beberapa alumni Indonesia yang telah menjadi bagian dari program ini di antaranya adalah Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu hingga Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro.
Co-Chairperson IdeaFest Desy Bachir dan Co-founder Krealogi Hanna Keraf membagikan pengalaman mereka usai mengikuti program fellowship di sejumlah kota di AS.
Desy dan Hanna mengakui bahwa proses seleksi dalam mengikuti program tersebut bukan hal yang mudah.
Mulai dari pengisian formulir aplikasi yang mendalam hingga wawancara oleh alumni senior seperti Mari Elka Pangestu dan Bambang Brodjonegoro, peserta dituntut untuk menunjukkan dampak kerja yang telah dilakukan serta visi masa depan mereka.
"Di proses ini, biasanya kita ngerasa duh kaya-nya belum layak nih. Belum se-high achieving seperti alumni yang lain. Tapi yang menarik, justru Eisenhower Fellowship ini tuh justru mencari yang belum selesai dengan dirinya dan nextnya mau apa?" tutur Hanna dalam pertemuan dengan sejumlah media, Rabu (5/12/2024).
Beri Pengalaman Unik
Salah satu aspek unik dari program ini adalah pertemuan langsung dengan individu-individu yang relevan dengan proyek yang diusulkan peserta. Kedua alumni itu menceritakan bagaimana mereka bertemu dengan pakar industri kreatif, penggerak perempuan di sektor kepemimpinan, hingga filantropis yang mendukung inisiatif mereka.
"Di sana, semua orang sangat terbuka. Ketika kami kirim e-mail untuk meminta waktu bertemu, tanggapan mereka langsung positif. Tidak ada rasa curiga atau trust issue seperti yang sering terjadi di Indonesia," ungkap Desy.
Budaya keterbukaan ini, menurutnya, menjadi inspirasi bagi mereka untuk membawa pola pikir serupa ke Indonesia. Salah satu cerita menarik yang juga dibagikan Desy dan Hanna usai mengikuti program ini adalah pertemuan dua peserta dari India dan Pakistan—dua negara dengan sejarah hubungan diplomatik yang kompleks.
Untuk pertama kalinya, peserta dari India ini bertemu dengan rekannya dari Pakistan, sebuah momen yang memperlihatkan bagaimana diplomasi personal bisa membuka ruang dialog yang jarang terjadi.
"Diplomasi itu bukan hanya tentang politik, tapi juga pertemuan personal seperti ini," kata Desy.
Titik Tolak untuk Inisiatif Baru
Bagi Hanna maupun Desy, program ini bukan sekadar pengalaman belajar, tetapi juga menjadi titik tolak untuk memulai inisiatif baru di Indonesia.
Desy pun berbagi tentang rencananya untuk menciptakan fellowship bagi perempuan pemimpin di sektor ekonomi kreatif. Tujuannya adalah memberikan akses kepada perempuan muda agar dapat mengembangkan kapasitas dan memimpin di bidang masing-masing.
"Kalau tidak ada contoh perempuan sebagai pemimpin, generasi muda akan berpikir bahwa itu sesuatu yang aneh," jelasnya. Ia berharap program ini dapat mendukung perempuan dalam berbagai industri seperti film, musik, dan seni.
Sementara itu, Hanna fokus pada pemberdayaan perempuan muda di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Melalui pendekatan berbasis komunitas, ia ingin membantu generasi muda membangun usaha sosial yang dapat menciptakan lapangan kerja baru.
"Kami ingin menciptakan lebih banyak social enterprise seperti yang kami lakukan di DuaNyam, yang kini telah memberikan penghasilan kepada lebih dari 1.000 perempuan di NTT," ujarnya.
Seleksi Eisenhower Fellowship
Tahun depan, Eisenhower Fellowship membuka program khusus untuk negara-negara Asia Tenggara. Ini adalah kesempatan emas bagi pemimpin muda Indonesia untuk ikut serta.
"Masih banyak yang merasa tidak layak atau menganggap ini membuang waktu, padahal ini adalah peluang yang luar biasa," kata Hanna.
Aplikasi untuk program ini masih dibuka hingga 20 Desember mendatang. Prosesnya memang menantang, tetapi alumni menegaskan bahwa pengalaman yang didapatkan jauh melampaui ekspektasi.