AS Gempur 3 Situs Nuklir Iran, Memperparah Eskalasi Konflik?

1 week ago 23

Liputan6.com, Jakarta - Serangan Amerika Serikat (AS) ke tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6/2025), menandai eskalasi tajam dalam konflik segitiga antara Iran, Israel, dan AS yang selama ini terpendam di balik diplomasi tumpul dan operasi militer berskala terbatas.

Peristiwa ini mencerminkan bergesernya norma dalam menyelesaikan konflik antarnegara: dari meja perundingan kembali ke logika kekuatan senjata. Pada saat yang sama, risiko penutupan Selat Hormuz membayangi ekonomi global yang tengah rapuh, dengan harga energi yang bisa melonjak drastis dan mengancam stabilitas fiskal negara-negara berkembang.

Melihat kompleksitas situasi ini, para pengamat mencoba membaca arah perkembangan konflik, baik dari sisi dinamika kekuatan politik regional maupun implikasi serius terhadap stabilitas ekonomi dunia. Berikut pandangan mereka:

"Saya rasa negara-negara lain baik di kawasan Timur Tengah ataupun major powers yang berada di luar kawasan cenderung mendorong de-eskalasi sesegera mungkin. Tidak ada negara yang ingin peperangan ini berlarut-larut, selain mungkin Israel dan Iran sendiri. Seperti yang kita ketahui, axis of resistance yang selama ini menjadi sekutu Iran di kawasan semakin lemah karena rentetan serangan yang dilakukan oleh Israel. Sebut saja Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza yang masih terlibat peperangan dengan Israel. Mungkin tinggal Houthi di Yaman yang masih memiliki cukup kekuatan. Namun, mereka cenderung tidak mampu mengungguli kekuatan militer Israel dan AS," demikian disampaikan Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani kepada Liputan6.com, Senin (23/6).

"Di sisi lain, banyak negara-negara Arab yang memiliki kedekatan strategis dengan AS dan cenderung tidak sejalan dengan Iran. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin serangan yang dilakukan oleh AS tersebut sesuai dengan kepentingan mereka. Yang menjadi pertanyaan, apa langkah retaliasi yang disiapkan oleh Iran terhadap AS? Apakah mereka akan benar-benar menutup Selat Hormuz? Jika hal ini terjadi maka akan makin banyak negara yang terdampak secara langsung oleh eskalasi tersebut karena harga minyak dunia akan meningkat secara drastis maka makin banyak yang berkepentingan menyelesaikan konflik baik secara damai maupun tidak."

Jika Iran menutup Selat Hormuz, ungkap Irfan, selalu ada kemungkinan bagi Presiden Donald Trump untuk memerintahkan serangan kembali.

"Ini adalah bentuk penyelesaian sengketa dalam 'position of strength' yang selalu diidam-idamkan olehnya. Sementara itu, bernegosiasi justru membuat Iran merasa di atas angin. Jika Iran tidak menutup Selat Hormuz, mereka mungkin sedang berusaha mencari solusi di atas meja perundingan sembari menjaga martabat agar tidak semakin kehilangan muka," terang Irfan.

Arti dari serangan AS, sebut Irfan, adalah episode berulang terhadap pelanggaran hukum internasional.

"Hukum internasional yang selama ini diharapkan membatasi tindakan negara terbukti tidak efektif," kata Irfan, yang meyakini bahwa Rusia dan China cenderung mendorong de-eskalasi sembari mengutuk serangan AS.

Menduga Target Serangan Balasan Iran

Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar menduga serangan balasan Iran akan menargetkan pangkalan-pangkalan militer AS di Timur Tengah.

"Sepanjang negara Arab tidak mengizinkan wilayahnya digunakan AS (untuk menyerang Iran), perang regional bisa dikendalikan," sebut Smith kepada Liputan6.com saat ditanya mengenai potensi meluasnya konflik pasca Amerika serang Iran.

Ada dua fenomena yang diyakini Smith membuat eskalasi Iran versus AS dan Israel tidak berkepanjangan.

"Di luar dugaan Israel dan AS, ternyata rudal-rudal Iran mampu menembus sistem pertahanan berlapis Israel. Hal ini merepotkan Israel. Sementara Trump dikecam sebagian anggota Kongres karena menyerang negara lain tanpa persetujuan kongres. Melihat dua fenomena ini, terbuka kemungkinan perang tidak berkepanjangan karena terlalu mahal bagi Israel dan AS. Iran juga pasti tidak menghendaki perang berlarut-larut yang menguras sumber dayanya. Tapi harus dicari exit strategy yang bisa menghentikan perang dengan menyelamatkan muka semua pihak yang terlibat," ujar Smith, yang mengakui bahwa program nuklir Iran menjadi tantangan utama di meja perundingan.

Ditanyakan bagaimana posisi Arab Saudi, Turki, Rusia, dan China dalam eskalasi ini, Smith menilai, "Mereka akan menahan diri, bahkan akan melakukan de-eskalasi. Tapi kalau perang berkepanjangan, langsung atau tidak langsung, semua negara di atas akan terseret ke dalamnya untuk menyelamatkan kepentingan nasional masing-masing. Rusia dan China, khususnya, tak mau ada perubahan rezim di Iran, terutama munculnya rezim baru yang pro-Barat."

Senada dengan Smith, Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah meyakini bahwa serangan balasan Iran atas AS akan menargetkan pangkalan militer AS di beberapa negara di Timur Tengah.

"Terutama sekali negara yang kemarin menyukseskan penyerangan AS atas instalasi nuklir Iran," kata Rezasyah saat dihubungi Liputan6.com.

Rezasyah menuturkan bahwa konflik berpotensi meluas karena Trump tidak memerintahkan Israel mengakhiri kekerasan yang dimulainya terhadap Iran.

"Keadaan ini cenderung memaksakan Iran mempertahankan diri dengan terus menyerang Israel... Saat ini AS dan Israel sangat tersudut. Karena mereka terbukti menjadi penyebab dari krisis Internasional yang berpotensi menjadi Perang Dunia III," ungkap Rezasyah.

Adapun negara kekuatan besar lainnya diperkirakan Rezasyah masih menahan diri untuk tidak terlibat.

"Mereka akan turun guna mencegah, jika perang berpotensi menggunakan senjata nuklir," beber Rezasyah.

Dampak Ekonomi Perang: Energi, Inflasi, dan Ancaman Krisis Global

Dari sisi ekonomi, salah satu skenario terburuk yang paling dikhawatirkan adalah penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menegaskan bahwa jika skenario ini terjadi, dampaknya akan langsung mengguncang pasar energi global dan menjalar ke berbagai sektor strategis di banyak negara.

"Penutupan Selat Hormuz akan menjadi guncangan besar bagi pasar energi global. Sekitar 20–25 persen pasokan minyak dunia melewati selat sempit ini setiap hari. Jika Iran benar-benar menutup jalur tersebut, harga minyak mentah global dapat melonjak ke level USD 120–130 per barel, sebagaimana diperkirakan oleh Oxford Economics. Lonjakan ini akan memicu inflasi global dan menghantam daya beli masyarakat lintas negara. Sektor paling rentan terdampak adalah transportasi, manufaktur energi-intensif, dan sektor logistik global yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil," jelas Karimi kepada Liputan6.com.

"Negara-negara berkembang akan paling merasakan dampaknya, karena mereka memiliki ruang fiskal dan moneter yang lebih sempit untuk menyerap tekanan harga energi."

Karimi menambahkan, "Negara-negara seperti China, India, dan Uni Eropa belum cukup siap menghadapi disrupsi total dari Selat Hormuz. Meskipun mereka telah berupaya melakukan diversifikasi energi—melalui energi terbarukan, peningkatan kapasitas cadangan strategis, dan pembelian dari negara non-OPEC—realitasnya, sebagian besar kebutuhan minyak mereka masih bersumber dari kawasan Teluk. Infrastruktur pipa dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang mem-bypass Hormuz memiliki kapasitas terbatas dan belum bisa menggantikan jalur laut sepenuhnya maka jika pasokan terganggu, negara-negara ini akan menghadapi kenaikan harga energi domestik, lonjakan biaya produksi, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Mereka harus segera memperkuat cadangan energi nasional dan mempercepat transisi energi sebagai langkah mitigasi jangka menengah."

Indonesia, kata Karimi, akan menghadapi tekanan berat jika Selat Hormuz terganggu.

"Harga minyak dunia yang melonjak akan berdampak langsung pada harga impor minyak mentah dan produk BBM, sehingga meningkatkan beban subsidi energi. Pemerintah terpaksa mengalokasikan anggaran tambahan untuk menjaga stabilitas harga BBM atau membiarkan harga pasar melonjak yang akan menggerus daya beli masyarakat. Depresiasi rupiah akibat arus keluar modal juga memperburuk situasi, memicu imported inflation dan mempersempit ruang kebijakan moneter," ungkap Karimi.

"Bank Indonesia harus segera memperkuat intervensi di pasar valuta asing dan menstabilkan ekspektasi pelaku pasar. Kementerian Keuangan (RI) juga perlu mengkaji ulang APBN dan menyesuaikan kebijakan fiskal untuk menampung lonjakan belanja subsidi. Di saat yang sama, pemerintah wajib memastikan komunikasi publik berjalan efektif untuk meredam kepanikan pasar. Krisis ini bukan hanya soal harga energi, namun menyangkut ketahanan ekonomi nasional secara menyeluruh."

Kronologi Serangan Amerika ke Iran

AS menyerang tiga fasilitas nuklir Iran dalam satu malam. Bagaimana serangan tersebut terjadi?

Berikut penjelasannya seperti dilansir The New York Times.

Tujuh pesawat pengebom siluman B-2 Spirit lepas landas dari Pangkalan Angkatan Udara Whiteman di Missouri tepat pukul 00.01 waktu Timur AS atau pukul 11.31 waktu Iran, pada Sabtu (21/6/2025). Dalam misi yang dirancang dengan tingkat kerahasiaan tinggi, satu atau lebih dari pesawat itu diterbangkan ke arah barat melintasi Samudra Pasifik untuk mengecoh radar, sementara tujuh pengebom lainnya menempuh jalur timur melintasi Samudra Atlantik menuju sasaran mereka di Iran.

Di sepanjang perjalanan sejauh lebih dari 11.000 kilometer, puluhan pesawat tanker disiagakan di berbagai titik untuk mendukung pengisian bahan bakar di udara yang dilakukan berulang kali selama lebih dari 18 jam—manuver rumit yang menuntut presisi nyaris tanpa cela.

Setelah terbang selama 17 jam, pukul 17.00 waktu Timur AS atau pukul 04.30 Minggu waktu Iran, pesawat-pesawat pengebom itu memasuki wilayah udara yang berada di bawah pengawasan Komando Pusat AS (CENTCOM), yang mengoordinasikan seluruh operasi militer AS di Timur Tengah. Mereka bergabung dengan pesawat-pesawat tempur pengawal yang telah bersiap mengantar menuju wilayah musuh.

Pada waktu hampir bersamaan, sebuah kapal selam milik Angkatan Laut AS di Teluk Persia meluncurkan lebih dari selusin rudal jelajah Tomahawk yang diarahkan ke fasilitas nuklir Iran di Isfahan, salah satu dari tiga target utama dalam operasi ini.

Sekitar satu jam setelah peluncuran rudal, pesawat-pesawat pengebom AS memasuki wilayah udara Iran.

Tepat pukul 18.40 hingga 19.05 waktu Timur AS atau antara pukul 02.10 hingga 02.35 waktu Iran pada Minggu, rangkaian serangan dimulai. Lokasi nuklir Fordow dan Natanz dihantam dengan presisi tinggi oleh bom-bom yang dijatuhkan dari langit, sementara rudal-rudal Tomahawk menghantam Isfahan secara bersamaan.

Sebanyak 75 amunisi berpemandu presisi digunakan dalam serangan terkoordinasi ini, termasuk 14 bom GBU-57 Massive Ordnance Penetrator—bom super berat yang dirancang untuk menghancurkan target terkubur dalam tanah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, bom ini digunakan dalam pertempuran sesungguhnya.

Setelah misi rampung, pukul 19.30 waktu Timur AS atau pukul 03.00 waktu Iran, pesawat-pesawat pengebom AS mulai meninggalkan wilayah udara Iran dan memulai perjalanan panjang kembali ke AS.

Dua puluh menit kemudian, pukul 19.50 waktu Timur AS atau pukul 03.20 waktu Iran, Trump mengumumkan lewat media sosial bahwa pasukan AS menyerang tiga lokasi: Fordo, Natanz, dan Isfahan serta telah keluar dari wilayah udara Iran.

Kemudian, pukul 22.00 waktu Timur AS atau 05.30 waktu Iran, Presiden Trump muncul dalam siaran langsung dari Gedung Putih. Dengan nada tegas, dia menyatakan militer AS telah melumpuhkan ketiga fasilitas nuklir itu. Di saat yang bersamaan, Gedung Putih mulai menyebarkan foto-foto yang menunjukkan Trump, para menteri, dan staf-staf senior sedang berada di Situation Room, ruang kendali krisis Gedung Putih, saat serangan terhadap Iran berlangsung.

Keesokan paginya, Minggu pukul 08.00 waktu Timur atau pukul 16.30 waktu Iran, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dan Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Dan Caine muncul di Pentagon memberikan penjelasan resmi kepada wartawan. Jenderal Caine menyatakan bahwa penilaian akhir terhadap dampak serangan masih dalam proses.

Demikian Operasi Midnight Hammer dijalankan—operasi udara dan laut yang dirancang dengan ketelitian ekstrem, dilancarkan dalam senyap, dan disampaikan ke dunia dalam gebrakan penuh perhitungan.

Alasan Amerika Serang Iran

Berikut ini adalah pidato lengkap Trump yang disampaikannya pasca serangan Amerika ke Iran seperti dilansir Al Jazeera:

Baru saja, militer AS melancarkan serangan presisi besar-besaran terhadap tiga fasilitas nuklir utama milik rezim Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan.

Nama-nama itu telah lama dikenal dunia, karena selama bertahun-tahun Iran membangun proyek penghancur yang sangat berbahaya di sana. Tujuan kami dalam operasi ini adalah menghancurkan sepenuhnya kapasitas pengayaan nuklir Iran, serta menghentikan ancaman nuklir dari negara yang menjadi sponsor terorisme nomor satu di dunia.

Malam ini, saya sampaikan kepada dunia bahwa serangan tersebut adalah keberhasilan militer yang sangat luar biasa. Fasilitas utama pengayaan nuklir Iran telah dihancurkan secara total dan sepenuhnya. Iran, si pengganggu kawasan Timur Tengah, sekarang harus memilih untuk menempuh jalan damai.

Jika mereka tidak melakukannya, maka serangan-serangan di masa depan akan jauh lebih besar dan jauh lebih mudah dilakukan.

Selama 40 tahun, Iran terus meneriakkan, "Matilah AS, matilah Israel". Mereka telah membunuh warga kita, meledakkan tangan dan kaki mereka dengan bom pinggir jalan — itulah keahlian mereka.

Kita telah kehilangan lebih dari seribu orang karena ulah mereka. Ratusan ribu jiwa lainnya di seluruh Timur Tengah dan dunia telah tewas akibat kebencian yang mereka sebarkan. Secara khusus, begitu banyak yang tewas akibat tindakan jenderal mereka, Qassem Soleimani.

Saya telah memutuskan sejak lama bahwa saya tidak akan membiarkan ini terus terjadi. Dan saya pastikan, ini tidak akan terus berlanjut.

Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan ucapan selamat kepada Perdana Menteri Bibi Netanyahu. Kami bekerja sama sebagai satu tim — mungkin seperti belum pernah ada tim lain yang bekerja seerat ini sebelumnya — dan kami telah melangkah sangat jauh dalam menghapus ancaman mengerikan terhadap Israel.

Saya juga ingin berterima kasih kepada militer Israel atas pekerjaan luar biasa yang telah mereka lakukan. Dan yang paling penting, saya ingin memberikan selamat kepada para patriot AS yang luar biasa yang malam ini menerbangkan mesin-mesin tempur itu, serta kepada seluruh militer AS atas operasi yang belum pernah disaksikan dunia selama puluhan tahun terakhir.

Semoga kita tidak perlu lagi menggunakan kekuatan militer dalam kapasitas seperti ini. Saya sungguh berharap demikian. Saya juga ingin mengucapkan selamat kepada Ketua Kepala Staf Gabungan, Jenderal Dan “Razin” Caine — seorang jenderal yang luar biasa — dan semua pemikir militer brilian yang terlibat dalam serangan ini.

Namun demikian, keadaan ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.

Harus ada perdamaian, atau akan ada tragedi yang jauh lebih besar bagi Iran daripada apa yang telah kita saksikan selama delapan hari terakhir.

Ingat, masih banyak target yang tersisa. Target malam ini adalah yang paling sulit dan mungkin yang paling mematikan, tetapi jika perdamaian tidak segera tercapai, kami akan menghancurkan target-target lainnya dengan presisi, kecepatan, dan keterampilan. Sebagian besar dari target tersebut dapat dihancurkan hanya dalam hitungan menit.

Tidak ada militer lain di dunia ini yang mampu melakukan apa yang telah kami lakukan malam ini. Tidak ada yang mendekati, bahkan sekalipun. Belum pernah ada militer yang mampu melakukan apa yang baru saja terjadi beberapa saat lalu.

Besok pagi, Jenderal Caine dan Menteri Pertahanan Pete Hegseth akan menggelar konferensi pers pada pukul 08.00 pagi di Pentagon. Dan saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada Tuhan.

Saya ingin mengatakan: "Kami mencintai-Mu, Tuhan, dan kami mencintai militer hebat kami. Lindungilah mereka."

Tuhan memberkati Timur Tengah. Tuhan memberkati Israel. Dan Tuhan memberkati AS.

Terima kasih banyak. Terima kasih.

Menanti Serangan Balasan Iran

Iran menjanjikan balasan atas serangan AS terhadap tiga fasilitas nuklirnya, sembari meluncurkan gelombang baru rudal dan drone ke arah Israel.

Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran Abdolrahim Mousavi pada Senin pagi mengatakan bahwa AS telah melanggar kedaulatan Iran ketika menyerang situs nuklir di Fordow, Natanz, dan Isfahan, serta telah memasuki perang secara jelas dan langsung.

"AS yang kriminal harus tahu bahwa, selain memberi hukuman kepada sekutunya yang ilegal dan agresif, para pejuang Islam dalam angkatan bersenjata kini memiliki kebebasan penuh untuk mengambil tindakan terhadap kepentingan dan militer AS. Kami tidak akan pernah mundur dalam hal ini," ujarnya, merujuk pada Israel.

Ebrahim Zolfaghari, yang bertindak sebagai juru bicara serangan balasan Iran terhadap Israel, dalam pernyataan televisi terbarunya pada Senin mengatakan bahwa serangan AS dimaksudkan untuk menghidupkan kembali rezim Zionis yang sekarat, namun justru akan memperluas cakupan target sah yang beragam bagi Angkatan Bersenjata Iran, serta menciptakan dasar bagi meluasnya perang di kawasan.

"Trump si penjudi, Anda mungkin memulai perang ini, tapi kami yang akan menyelesaikannya," ujar Zolfaghari seperti dilansir Al Jazeera.

Lantas, bagaimana reaksi dunia merespons serangan Amerika ke Iran?

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer seperti dikutip dari AP memperingatkan akan potensi eskalasi yang melampaui kawasan Timur Tengah seraya menyerukan semua pihak untuk berunding demi mengakhiri krisis melalui jalur diplomatik. Dia menekankan bahwa stabilitas merupakan prioritas utama di kawasan yang penuh gejolak ini.

Inggris, bersama Uni Eropa, Prancis, dan Jerman, telah berupaya, namun gagal menengahi solusi diplomatik dalam perundingan di Jenewa pekan lalu dengan Iran.

Starmer menyatakan bahwa program nuklir Iran merupakan ancaman serius bagi keamanan global.

"Iran tidak boleh dibiarkan mengembangkan senjata nuklir dan AS telah mengambil tindakan untuk meredakan ancaman itu," kata Starmer.

Kementerian Luar Negeri Rusia mengutuk keras serangan udara AS terhadap Iran dan menyebutnya sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional, Piagam PBB, dan resolusi Dewan Keamanan PBB.

Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi memperingatkan adanya konsekuensi serius apabila konflik di Timur Tengah semakin meluas. Dia mendesak agar semua pihak kembali ke meja perundingan.

Arab Saudi menyatakan keprihatinan mendalam atas serangan AS, namun tidak secara eksplisit mengecamnya.

"Kerajaan menegaskan perlunya mengerahkan segala upaya untuk menahan diri, meredakan ketegangan, dan menghindari eskalasi lebih lanjut," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Saudi.

Qatar, yang menjadi tuan rumah pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah, menyatakan bahwa pihaknya menyesalkan meningkatnya ketegangan dalam perang Iran-Israel.

Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Qatar mendesak semua pihak untuk menahan diri dan menghindari eskalasi, yang tak lagi mampu ditanggung oleh rakyat kawasan ini yang telah lama terbebani oleh konflik dan dampak kemanusiaannya yang tragis.

Qatar merupakan mediator kunci dalam perang Israel-Hamas.

Wakil Perdana Menteri Irlandia Simon Harris menyebut serangan AS sebagai eskalasi yang luar biasa berbahaya dari konflik yang bahkan sebelumnya sudah layak disebut seperti tumpukan jerami kering siap terbakar.

Irlandia, yang selama ini sangat vokal mengkritik perang Israel di Gaza, menyerukan seperti negara-negara Eropa lainnya agar dilakukan perundingan guna mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.

"Kita sekarang memasuki masa yang sangat berbahaya," kata Harris. "Kemungkinan eskalasi berantai kini lebih besar dari sebelumnya dan ada prospek nyata bahwa komunitas internasional akan kehilangan kendali sepenuhnya atas konflik yang sangat, sangat mudah meledak ini."

Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menyatakan bahwa pemerintahnya mendukung serangan AS.

"Kami mendukung tindakan untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir dan itulah inti dari tindakan ini," ujarnya dalam wawancara dengan Channel Nine News pada Senin. Pernyataan ini lebih tegas dibandingkan dengan pernyataan resmi pemerintah Australia pada Minggu, yang sebelumnya tidak secara eksplisit menyatakan dukungan.

"Pada akhirnya, kami ingin melihat adanya de-eskalasi dan diplomasi."

Wong menolak menjawab apakah komunikasi satelit atau intelijen sinyal Australia digunakan oleh AS. Kedua negara tergabung dalam kemitraan intelijen Five Eyes. Namun, Wong menegaskan bahwa Amerika Serikat telah menyatakan secara jelas bahwa ini adalah serangan sepihak.

Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengatakan kepada wartawan bahwa sangat penting untuk meredakan situasi sesegera mungkin, seraya menambahkan bahwa pengembangan senjata nuklir oleh Iran juga harus dicegah. Dia menolak memberikan komentar apakah mendukung serangan AS terhadap Iran.

Vietnam menyerukan agar semua pihak melanjutkan upaya perundingan dan menghormati hukum humaniter serta regulasi Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

"Vietnam sangat prihatin dengan eskalasi dan kompleksitas konflik di Timur Tengah, yang menimbulkan ancaman serius terhadap kehidupan dan keselamatan warga sipil, serta perdamaian dan stabilitas regional dan global," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam Pham Thu Hang.

Paus Leo XIV menyampaikan seruan kuat untuk perdamaian dalam doa Angelus pada Minggu di Lapangan Santo Petrus, menyerukan agar diplomasi internasional membungkam senjata.

Dalam referensi terbuka terhadap situasi di Iran yang disebutnya mengkhawatirkan, Paus Leo XIV yang berasal dari AS menekankan, "Hari ini, lebih dari sebelumnya, umat manusia menangis dan menyerukan perdamaian—ini adalah seruan yang menuntut akal sehat dan tidak boleh dibungkam."

Paus Leo XIV mendesak setiap anggota komunitas internasional untuk memikul tanggung jawab moral mereka guna menghentikan tragedi perang sebelum berubah menjadi kehancuran yang tak bisa diperbaiki lagi.

Merespons tuduhan Barat soal ambisinya memiliki senjata nuklir, Iran hingga hari ini konsisten bahwa program nuklirnya sepenuhnya bersifat damai.

Direktur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi pada 9 Juni menyatakan bahwa meskipun tindakan Iran tidak secara teknis melanggar aturan internasional, namun level pengayaan uranium yang sangat tinggi — yang dilakukan satu-satunya oleh Iran sebagai negara non-pemilik senjata nuklir — menimbulkan kekhawatiran serius karena bisa membuka jalan bagi kemampuan membuat bom nuklir.    

Dalam wawancara dengan CNN pada Selasa (17/6), Grossi pun menegaskan, "Kami tidak memiliki bukti adanya upaya sistematis untuk bergerak menuju pembuatan senjata nuklir."

Read Entire Article