Liputan6.com, Teheran - Presiden Iran pada Rabu (2/7/2025) memerintahkan negara tersebut untuk menghentikan kerja samanya dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) setelah serangan udara Amerika Serikat (AS) dan Israel menghantam fasilitas nuklir terpentingnya. Langkah ini kemungkinan besar akan semakin membatasi kemampuan para inspektur untuk memantau program nuklir Iran, yang telah memperkaya uranium hingga mendekati tingkat senjata.
Namun, perintah Presiden Masoud Pezeshkian itu tidak mencantumkan jadwal atau rincian mengenai bentuk penghentian kerja sama tersebut. Di lain sisi, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi memberi isyarat dalam wawancara dengan CBS News bahwa Iran masih bersedia melanjutkan negosiasi dengan AS.
"Saya tidak berpikir negosiasi akan dimulai secepat itu," kata Araghchi seperti dilansir AP, merujuk pada pernyataan Donald Trump bahwa pembicaraan bisa dimulai paling cepat pekan ini. Namun, ia menambahkan, "Pintu diplomasi tidak akan pernah tertutup rapat."
Taktik tekanan
Iran sebelumnya pernah membatasi inspeksi IAEA sebagai taktik tekanan dalam bernegosiasi dengan Barat — meskipun hingga saat ini Iran membantah bahwa ada rencana segera untuk melanjutkan pembicaraan dengan AS, yang terhenti akibat perang Iran-Israel selama 12 hari.
Televisi pemerintah Iran mengumumkan perintah Pezeshkian, yang mengikuti undang-undang yang disahkan oleh parlemen Iran untuk menghentikan kerja sama tersebut.
"Pemerintah diperintahkan untuk segera menghentikan seluruh kerja sama dengan IAEA berdasarkan Traktat Nonproliferasi Nuklir dan Perjanjian Pengamanan yang terkait," demikian kutipan dari Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui sebagaimana disampaikan oleh televisi pemerintah. "Penghentian ini akan tetap berlaku hingga syarat-syarat tertentu terpenuhi, termasuk jaminan keamanan terhadap fasilitas dan ilmuwan nuklir."
IAEA, badan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbasis di Wina, Austria, menyatakan bahwa mereka masih menunggu komunikasi resmi dari Iran mengenai arti penghentian tersebut.
Reaksi Israel
Keputusan Iran langsung memicu kecaman dari Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar.
"Iran baru saja mengeluarkan pengumuman memalukan tentang penghentian kerja sama dengan IAEA," ujarnya melalui unggahan di platform media sosial X. "Ini merupakan penolakan total terhadap seluruh kewajiban dan komitmen nuklir internasionalnya."
Saar mendesak negara-negara Eropa yang menjadi bagian dari Kesepakatan Nuklir Iran pada 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) menerapkan klausul "snapback" — yang memungkinkan penerapan kembali seluruh sanksi PBB terhadap Iran yang sebelumnya dicabut dalam perjanjian tersebut apabila salah satu pihak Barat menyatakan bahwa Iran telah melanggar kesepakatan.
Israel sendiri secara luas diyakini sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir dan IAEA tidak memiliki akses ke fasilitas yang berkaitan dengan senjata milik Israel.
Masih Belum Jelas
Belum diketahui bagaimana Iran akan secara teknis menerapkan penghentian kerja sama dengan IAEA ini. Namun, langkah Iran ini masih belum mencapai titik yang paling dikhawatirkan para pakar.
Mereka sebelumnya khawatir bahwa sebagai respons atas perang dengan Israel dan AS, Iran bisa saja memutuskan untuk sepenuhnya menghentikan kerja sama dengan IAEA, keluar dari Traktat Nonproliferasi Nuklir, dan bergerak cepat menuju pembuatan bom nuklir. Traktat tersebut mengatur bahwa negara-negara yang menandatanganinya sepakat untuk tidak membangun atau memperoleh senjata nuklir dan memberikan kewenangan kepada IAEA untuk melakukan inspeksi guna memastikan program nuklir mereka dilaporkan secara benar.
JCPOA mengatur secara ketat aktivitas nuklir Iran guna memastikan programnya tetap bersifat damai. Dalam kesepakatan itu, Iran hanya diperbolehkan memperkaya uranium hingga tingkat kemurnian 3,67 persen — angka ini cukup untuk digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir, tetapi terlalu rendah untuk bisa digunakan dalam pembuatan senjata nuklir, yang membutuhkan tingkat kemurnian sekitar 90 persen.
Selain membatasi tingkat pengayaan, JCPOA juga secara drastis mengurangi cadangan uranium yang boleh dimiliki Iran, serta membatasi jumlah dan jenis sentrifugal (alat untuk memperkaya uranium) yang dapat digunakan. Untuk memastikan Iran mematuhi semua ketentuan tersebut, JCPOA memberikan akses tambahan kepada IAEA untuk melakukan inspeksi rutin dan mendadak, serta pengawasan ketat terhadap fasilitas nuklir Iran. Mekanisme ini menjadikan IAEA sebagai badan utama yang memverifikasi kepatuhan Iran terhadap isi kesepakatan.
Namun, pada 2018, Trump di masa jabatan pertamanya secara sepihak menarik AS keluar dari JCPOA. Dia beralasan kesepakatan tersebut terlalu lemah karena tidak mencakup pembatasan terhadap program rudal balistik Iran dan tidak menyinggung dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok militan di Timur Tengah.
Keputusan penarikan diri ini menjadi titik balik yang memicu eskalasi ketegangan Iran dan Barat, khususnya AS.
Iran sendiri telah memperkaya uranium hingga tingkat 60 persen, yang secara teknis hanya satu langkah lagi menuju tingkat 90 persen yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir. Selain itu, Iran juga telah mengumpulkan cadangan uranium dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi beberapa bom nuklir, jika mereka memilih jalur tersebut.
Meski demikian, Iran berulang kali menegaskan bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai, seperti pembangkit listrik dan penelitian medis.