25 April 1974: Rezim Marcello Caetano Tumbang Usai 50 Tahun Berkuasa di Portugal

10 hours ago 6

Liputan6.com, Lisbon - Catatan Sejarah menunjukan bahwa pada 25 April 1974 terjadi pemberontakan militer di Portugal. Kudeta yang dilaporkan tanpa ada pertumpahan darah itu berhasil mengakhiri hampir 50 tahun kekuasaan rezim diktator di negara tersebut.

Beberapa saat setelah kejadian di tengah malam itu, tank-tank dikerahkan ke pusat Kota Lisbon. Jembatan Salazar yang melintasi Sungai Tagus berhasil direbut, begitu juga dengan bandara serta pusat siaran radio dan televisi.

Menurut laporan yang dikutip dari BBC pada Jumat (25/4/2025), pasukan bersenjata lengkap menyerbu barak militer yang menjadi tempat perlindungan Perdana Menteri Dr. Marcello Caetano bersama sejumlah menterinya.

Caetano akhirnya menyerahkan diri kepada mantan Wakil Menteri Angkatan Bersenjata, Jenderal António de Spínola. Tak lama setelah itu, ia diasingkan ke Pulau Madeira, wilayah otonom Portugal di Atlantik.

Menjelang matahari terbit, kekuasaan berada sepenuhnya di tangan Movimento das Forças Armadas/MFA atau (Gerakan Angkatan Bersenjata). Mereka langsung mengeluarkan pernyataan yang menyerukan ketenangan serta semangat kebangsaan.

Setelah hampir lima dekade kekuasaan otoriter, MFA menjanjikan pemulihan hak-hak sipil dan penyelenggaraan pemilihan umum untuk membentuk majelis nasional sesegera mungkin.

"Setelah 13 tahun berjuang, Portugal dinyatakan gagal mencapai perdamaian antara sesama orang Portugis dari berbagai ras dan agama," ujar The MFA yang mengutuk kebijakan luar negeri Portugal 

"Mereka menyerukan adanya pembersihan terhadap institusi negara yang selama ini membiarkan praktik penyalahgunaan kekuasaan," lanjut MFA

Sebuah dewan junta yang beranggotakan tujuh orang dibentuk untuk memimpin masa transisi menuju demokrasi, dengan Jenderal Spínola sebagai pemimpinnya.

Kehadiran jendral Spínola dan pasukannya disambut meriah oleh warga. Mereka diberi rokok, makanan, surat kabar, dan bunga anyelir yang saat itu sedang mekar. Bunga tersebut kemudian menjadi simbol revolusi.

Namun, kekerasan sempat pecah di salah satu lokasi. Enam warga sipil dilaporkan tewas setelah terdengar tembakan dari markas kepolisian. Pasukan militer pun menyerbu gedung tersebut.

Oposisi Sambut Positif Kejatuhan Rezim

Komisi Pemilu Demokratik kelompok oposisi yang sempat mengikuti pemilihan parlemen tahun sebelumnya menyatakan bahwa mereka menyambut baik tindakan tersebut. Kudeta itu dinilai sebagai langkah yang bisa menggulingkan rezim yang telah menindas rakyat Portugal selama 50 tahun.

Saat kudeta terjadi, sebagian besar pasukan Portugal masih bertugas di wilayah jajahan seperti Angola, Guinea, dan Mozambik. Dari total 204 ribu tentara, sekitar 140 ribu di antaranya ditempatkan di luar negeri, mempertahankan kekaisaran kolonial yang mulai runtuh.

Sebulan sebelum kudeta, Jenderal Spínola dipecat dari jabatannya karena menerbitkan buku Portugal dan Masa Depan. Dalam buku itu, ia menyebut bahwa konflik di Afrika tak bisa diselesaikan hanya dengan kekuatan militer.

Spínola pernah menjabat sebagai Gubernur dan Panglima Tertinggi di Guinea Portugis antara 1968 hingga 1972. Ia dihormati karena pendekatannya yang mencoba merangkul rakyat lokal, bukan sekadar menundukkan mereka secara militer.

Namun, buku tersebut dianggap menyimpang oleh kubu konservatif Portugal. Dalam tulisannya, Spínola menolak anggapan bahwa kolonisasi Afrika merupakan bagian dari pembelaan terhadap peradaban Barat.

Kudeta ini kemudian dikenal sebagai Revolusi Anyelir (Carnation Revolution), yang menjadi penanda berakhirnya rezim kediktatoran terlama di Eropa, yakni Estado Novo.

Setelah kudeta, pemerintah baru langsung menjalankan program dekolonisasi secara cepat. Dalam beberapa tahun, Guinea-Bissau, Mozambik, Kepulauan Tanjung Verde, Sao Tome dan Principe, serta Angola menyatakan kemerdekaannya.

Jenderal Spínola sempat menjabat sebagai presiden sementara, sebelum digantikan oleh Jenderal Francisco da Costa Gomes.

Kedua pemimpin tersebut meluncurkan kebijakan nasionalisasi terhadap sekitar 60 persen perekonomian nasional dan menjalankan distribusi lahan secara besar-besaran.

Ratusan tahanan politik yang selama ini dipenjara dibebaskan.

Dalam kurun satu dekade pascakudeta, Portugal berhasil membangun sistem politik dua partai yang stabil.

Sementara itu, Marcello Caetano menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan di Brasil.

Sejak itu, 25 April diperingati sebagai Hari Kebebasan (Dia da Liberdade) dan ditetapkan sebagai hari libur nasional di Portugal.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |