Liputan6.com, Jakarta - Penyandang disabilitas di Amerika cenderung mengonsumsi rokok di usia lebih muda yakni sekitar di bawah 14 tahun. Beberapa pemicunya adalah gangguan emosi dan kesulitan belajar.
“Pelajar dengan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), disabilitas perkembangan, berpotensi untuk melakukan aktivitas merokok. Kemudian juga disabilitas dengan gangguan mobilitas, ini menggambarkan bahwa ternyata ada penyandang disabilitas yang memiliki kebiasaan merokok yang lebih tinggi di antara para pelajar,” kata peneliti di LSPR Centre for ASEAN Autism Studies, Hersnita, Ph.D dalam talkshow di Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
Hersnita menambahkan, para pelajar penyandang disabilitas kerap mendapat stigma dan diskriminasi sehingga mereka lari pada kegiatan yang dianggap bisa merilis kesedihan salah satunya dengan merokok.
“Faktor lain adalah teman dan rasa ingin tahu. Rokok juga jadi alasan untuk mengatasi kecemasan atau anxiety. Ketika digali lebih lanjut, kenapa mereka senang mengonsumsi rokok terutama rokok elektrik, mereka bilang ada perasaan high setelah menggunakan rokok elektrik,” jelas Hersnita.
Pengaruh teman atau lingkungan juga amat besar, pelajar disabilitas seperti autisme yang tidak merokok di sekolah dan di rumah bisa saja merokok di lingkungan pertemanan hanya karena merasa diterima di lingkungan tersebut.
“Social smoker gitu kali ya, kemudian bisa berlanjut menjadi adiksi.”
Kabar mengenai kenaikan harga rokok beberapa waktu lalu, menimbulkan pemikiran beberapa perokok akan beralih menggunakan rokok elektrik.
Kampanye Anti Rokok Perlu Sasar Penyandang Disabilitas
Data di atas menunjukkan betapa kelompok disabilitas rentan terkena dampak bahaya rokok baik secara aktif maupun pasif.
“Ada kelompok disabilitas yang sangat rentan terkena (dampak) konsumsi rokok, salah satunya adalah disabilitas intelektual dan disabilitas kognitif. Jadi, kampanye anti rokok juga harus diprioritaskan bagi penyandang disabilitas,” ucap Hersnita.
Tak hanya rokok konvensional, penggunaan rokok elektrik di kalangan remaja disabilitas secara global mulai 2020 mengalami peningkatan.
“Padahal, risiko dari konsumsi rokok elektrik maupun konvensional sama-sama meningkatkan dampak negatif yang cukup besar terhadap fisik, aspek kesehatan dan juga finansial. Yang pada akhirnya semakin meningkatkan kesenjangan bagi para penyandang disabilitas.”
Rokok Elektrik Dianggap Gaul
Hersnita menambahkan, riset di Amerika menunjukkan bahwa rokok elektrik atau vape dianggap sebagai hal yang trendy atau gaul di kalangan remaja.
“Ini mungkin membutuhkan riset-riset lagi, apa sih sebetulnya faktor-faktor yang memicu mereka untuk mengonsumsi rokok elektrik dan juga rokok konvensional.”
Rokok elektrik juga kerap dianggap memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan rokok biasa. Padahal, Hersnita menyatakan bahwa anggapan ini keliru.
“Kemenkes di 2022 menunjukkan bahaya rokok elektrik dan konvensional sama sebenarnya, karena sama-sama mengandung bahan yang beracun, karsinogen yang bisa memicu kanker lewat aktivitas merokok,” kata Hersnita.
Dampak Rokok bagi Kesehatan
Anak-anak yang terpapar asap rokok di lingkungan rumah, sekolah, atau tempat umum berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan serius. Seperti gangguan pernapasan, asma, infeksi saluran pernapasan, dan gangguan perkembangan otak.
Dampak ini bisa jauh lebih berat bagi anak penyandang disabilitas yang sudah memiliki keterbatasan atau kondisi medis tertentu.
Selain itu, anak penyandang disabilitas mungkin tidak memiliki pemahaman penuh tentang bahaya rokok, atau kesulitan untuk menghindari paparan rokok dalam kehidupan sehari-hari.