Liputan6.com, Vatikan - Ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik pada 2013, ia memilih nama Fransiskus, terinspirasi dari Santo Fransiskus dari Assisi, pelindung para ekologis dan pembela kaum miskin.
Mengutip CNN, Minggu (27/4/2025), nama ini menjadi lambang dari arah baru Gereja, di mana perhatian terhadap lingkungan hidup menjadi bagian penting dari misi spiritual.
Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus dikenal sebagai advokat lingkungan paling vokal dalam sejarah Gereja Katolik. Ia menghubungkan perubahan iklim dengan ketidakadilan sosial dan mengkritik gaya hidup Barat yang dianggap "tidak bertanggung jawab".
Pada 2015, Paus Fransiskus menerbitkan ensiklik bersejarah berjudul "Laudato Si’: On Care for Our Common Home". Dalam dokumen ini, ia menghapus ketegangan lama antara Gereja dan ilmu ekologi, menolak penyangkalan perubahan iklim, dan menyerukan aksi nyata untuk menyelamatkan bumi.
Dalam surat yang ditujukan kepada lebih dari 1 miliar umat Katolik di seluruh dunia, Paus menekankan bahwa nilai-nilai iman Katolik selaras dengan aksi perlindungan lingkungan.
Ia mengutip Kitab Kejadian tentang tugas manusia untuk merawat bumi, serta menyoroti bagaimana eksploitasi sumber daya alam, terutama dalam dua abad terakhir, telah menyebabkan kerusakan besar.
"Belum pernah kita melukai dan memperlakukan rumah bersama kita seburuk yang kita lakukan dalam 200 tahun terakhir," tulis Paus dengan bahasa yang lugas.
Keterbatasan dan Tantangan yang Dihadapi
Paus Fransiskus mendorong agar ensiklik tersebut diterbitkan sebelum KTT Iklim PBB COP21 di Paris, 2015, yang menghasilkan Perjanjian Paris bersejarah. Keberaniannya berbicara keras terhadap industri dan pemerintah memperkuat posisi Gereja di kancah aksi iklim global.
Pada 2022, Vatikan resmi menjadi pihak dalam kerangka kerja iklim internasional PBB, mempertegas komitmen negara kota tersebut dalam agenda perubahan iklim. Menjelang COP28 di Dubai, Paus kembali mengeluarkan seruan keras melalui dokumen apostolik setebal 12 halaman, menuntut aksi nyata dan mengkritik ketidakadilan emisi global.
"Persentase kecil orang kaya mencemari lebih banyak daripada 50 persen populasi termiskin dunia," tegasnya.
Meski banyak institusi Katolik mulai merespons seruan Paus untuk divestasi dari bahan bakar fosil, resistensi tetap ada.
Para pengamat menilai, ada ruang lebih besar bagi Gereja untuk berperan aktif, termasuk dalam penggunaan aset keuangan dan mendukung komunitas lokal yang terdampak proyek ekstraktif.
Namun demikian, warisan Paus Fransiskus tetap kuat. Menurut Christina Leaño dari Laudato Si’ Movement, "Ia telah membangkitkan gerakan global yang menjadikan kepedulian terhadap ciptaan sebagai bagian dari iman kita."