Liputan6.com, Jakarta - Autisme adalah disabilitas perkembangan yang tidak terdiri hanya dari satu macam, melainkan berupa spektrum. Artinya, kondisinya bisa ringan hingga berat pada setiap orang.
Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kesulitan dalam diagnosis autisme sering terjadi.
Menurut dokter spesialis saraf anak, Prof. Hardiono D. Pusponegoro, gejala autism yang berat justru lebih mudah dideteksi. Sedangkan, untuk gejala ringan membutuhkan bantuan profesional.
“Bahkan seringkali disertai dengan keadaan lain, serta berubah gejala seiring bertambahnya umur dan terapi,” kata Hardiono dalam Webinar Kelas Orang Tua Hebat (KERABAT) Seri 11 yang ditayangkan secara live di Youtube BKKBN Official, Kamis (14/11/2024).
“Kalau bicara tentang autisme, sebetulnya gejalanya ada dua. Satu, gangguan interaksi dan gangguan komunikasi untuk kebutuhan sosialnya. Yang kedua, anak ini melakukan perilaku yang itu-itu saja, tidak berubah dan diulang dalam waktu yang tidak wajar. Gejalanya sejak kecil di bawah umur 1 tahun sudah mulai kelihatan,” tambah Hardiono.
Lebih jauh, dia menjabarkan bahwa defisit komunikasi-interaksi sosial ini memiliki tiga gejala. Yaitu, desifit sosial-emosional timbal balik, defisit komunikasi verbal-non verbal untuk interaksi sosial, dan defisit memulai dan memelihara interaksi sosial.
“Kalau kita main sama anak-anak kan (harusnya) akan melihat kita dan menjawab juga. Tapi ini tidak ada timbal baliknya. Kemudian bahasa tubuhnya kurang dipakai untuk berinteraksi. Kalau dia sudah bisa bicara dia sulit untuk memulai pembicaraan, memulai interaksi. Baru interaksi sebentar sudah hilang lagi,” paparnya.
Peneliti dari Universitas Michigan berencana untuk mempelajari anak-anak yang memiliki gangguan ekstrim autisme dalam mendeteksi bahaya di jalan.
Tanda Autisme
Hardiono menambahkan, seorang anak bisa dicurigai menyandang autisme jika terdapat dua dari beberapa gejala berikut:
- Cara bicara tak biasa atau enggan bicara.
- Gerakan atau penggunaan obyek yang repetitive atau berulang-ulang.
- Keterikatan terhadap rutinitas.
- Kesulitan dalam menerima perubahan.
- Minat terbatas dengan intensitas atau fokus abnormal.
- Hiper atau hipo reaktif terhadap input sensoris atau minat abnormal terhadap aspek sensoris dari lingkungan (Sensory Processing Disorder).
Skrining Autisme Sejak Dini
Terkait waktu yang tepat untuk dilakukan skrining, Hardiono mengatakan bisa sejak dini, karena gejalanya sudah mulai terlihat sejak kurang dari umur tiga tahun. Bahkan bisa di bawah umur 1 tahun.
“Skrining ini bukan diagnosis ya, hanya menentukan bahwa ada kecurigaan terhadap autisme,” katanya.
“Bisa juga anak autisme ini awalnya normal, sampai setahun setengah tiba-tiba setop. Perkembangannya setop, regresi, anaknya jadi nggak bisa ngomong, semua perkembangannya jadi kurang,” ujarnya.
Hardiono menyebut bahwa ketika ke dokter anak, seharusnya dilakukan skrining perkembangan terhadap semua anak.
“Skrining apa saja itu bisa mendeteksi autisme walaupun tidak terlalu akurat,” tambahnya.
Intervensi Tanpa Tunggu Diagnosis
Hardiono menambahkan, ada pendapat baru yang menyebut bahwa intervensi pada anak dapat dilakukan tanpa menunggu diagnosis.
“Kalau dulu saya bilang harus menunggu diagnosis dulu, ternyata tidak. Kita intervensi kalau sudah ada gejala, walau belum ada diagnosis. Harapannya hasilnya akan lebih baik,” kata Hardiono.
Ia pun membagikan tautan kuesioner Early Screening of Autistic Trait (ESAT) untuk skrining mandiri yakni https://form.jotform.com/hardiono/ESAT. Dengan skrining awal ini, orangtua bisa melihat ada tidaknya gejala mencurigakan dari gangguan spektrum autisme (ASD). Skrining mandiri ini bisa dilakukan sejak anak menginjak umur 1 tahun.
Hasil Skrining Awal Autisme Secara Mandiri
Berdasarkan data penelitan yang dilakukan Anakku.id, dari kuesioner tersebut terdapat 2.681 jawaban dalam waktu delapan bulan. Hasilnya, sebanyak 756 anak mengalami autisme, 356 anak mengalami Social Communication Disorder, serta 1.569 anak mengalami language disorder atau kelainan bicara dan berbahasa.
“Melalui beberapa penelitian ini kita yakin bahwa diagnosis autis itu dapat dilakukan secara online. Hal ini akan sangat membantu untuk pasien yang jauh,” kata Hardiono.
Setelah itu, sambungnya, biasanya di kliniknya dilakukan assessment transdisiplin. Di sini melibatkan orangtuanya, ada dokter, ada psikolog, dan berbagai terapis.
Menegakkan diagnosis dan menentukan gangguan fungsi yang ada pada satu orang anak, biasanya pemeriksaan ini memerlukan waktu sampai satu setengah jam. Namun, biasanya autisme disertai dengan gangguan lain.
“Bukan berdiri sendiri, bisa disertai epilepsi, gangguan gerak, gangguan tidur, anaknya mengalami kecemasan, hiperaktif Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan lain-lain," jelasnya.
Ia menambahkan, cek mandiri tentu tidak cukup, autisme tetap harus ditegakkan diagnosisnya oleh dokter.
"Terapis tidak bisa bicara tentang diagnosa melainkan bicara tentang gangguan fungsi pada anak,” pungkasnya.