Liputan6.com, Jakarta - Seorang anak difabel yang tinggal dalam keluarga ekonomi lemah memiliki hambatan yang spesifik. Hambatan dapat bertambah bila anak tersebut tinggal di daerah pedesaan yang jauh dari berbagai fasilitas.
Lingkungan yang inklusif dirasa sebagai harapan kosong karena hambatan yang berlapis-lapis. Maka tak aneh bila anak dengan disabilitas seringkali tidak terdeteksi keberadaan dan kondisinya karena tebalnya lapisan hambatan.
“Untuk kondisi anak disabilitas di desa kami, kami sendiri belum pernah melakukan pendataan tersebut,” kata seorang kepala desa di Kabupaten Manggarai Barat, mengutip laman Wahana Visi Indonesia (WVI), Senin (23/12/2024).
Isu disabilitas sendiri masih belum tersentuh karena bertumpuknya berbagai masalah lain di desa. Belum lagi, anak dengan disabilitas memang seringkali “tidak terlihat” karena berbagai alasan. Bisa jadi, orangtua menyembunyikan keberadaan anak tersebut karena dirasa sebagai aib. Atau, karena anak tersebut memiliki hambatan mobilitas sehingga hampir seumur hidupnya hanya dihabiskan di dalam rumah, dan masih banyak alasan lainnya.
Di salah satu desa dampingan Wahana Visi Indonesia yang berada di Kabupaten Manggarai Timur, kerentanan anak dengan disabilitas mulai muncul ke permukaan. Sebuah cerita soal tantangan penyandang disabilitas datang dari Enjel. Seorang anak perempuan dengan disabilitas yang tidak pernah sekolah meski sudah menginjak usia 13.
Penyandang disabilitas memiliki hak kesempatan dan kesetaraan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Hal ini tercantum dalam UU no 8 tahun 2016. Salah satu perusahaan di bidang layanan BPO di wilayah Bandung, Jawa Barat sudah ada 14 orang kary...
Hambatan Mobilitas
Sehari-hari Enjel tinggal di rumah. Ia sebenarnya ingin belajar, tapi tidak nyaman belajar di sekolah karena hambatan mobilitas. Pihak sekolah pun belum memiliki program khusus untuk menjadi lembaga pendidik yang lebih inklusif.
“Enjel sebenarnya ingin sekolah, tapi dia bilang sama saya, Mama, saya tidak bisa jalan. Bisa saya sekolah di rumah? Akhirnya saya beli buku dan bolpoin untuk ajar-ajar tulis,” cerita Siska, ibu Enjel.
Sebagai seorang ibu, Siska memperjuangkan harapan Enjel untuk dapat terus belajar meskipun di rumah saja. Dengan kapasitasnya yang juga terbatas, Siska mengajar Enjel menulis dan menggambar.
“Sekarang dia sudah bisa, tapi membaca belum bisa,” tuturnya.
Ingin Jadi Anak Pintar
Kedua orangtua Enjel bekerja sebagai petani. “Sehari-hari saya merawat kopi dan kebun, begitu juga istri saya. Kalau istri juga jadi ibu rumah tangga,” tutur Ardi, ayah Enjel.
Ardi sempat merantau ke Kabupaten Ende. Ia mencoba mencari pekerjaan yang dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Namun, setelah Enjel lahir, ia tidak lagi merantau dan memutuskan untuk menjadi petani dan merawat keluarganya.
“Saya ingin Enjel juga jadi anak yang pintar,” harap Ardi.
Dalam keluarga kecil ini, Enjel berusaha menggali potensi yang ia miliki. Kedua orangtua Enjel merasa ada harapan untuk anaknya. Enjel tidak diperlakukan sebagai anak yang hanya berdiam diri di rumah tanpa diberi kesempatan untuk berkembang. Ia diasuh dan dididik dalam keluarga yang memperjuangkan pemberdayaan dirinya.
“Saya juga bantu Mama cuci piring. Saya suka menulis, menggambar, bernyanyi,” ujar Enjel dengan senyum.
Lingkungan Belum Inklusif
Enjel dan keluarganya menjadi salah satu contoh bagaimana anak dengan disabilitas diperlakukan setara sejak di rumah.
Hanya saja, lingkungan di luar keluarga belum cukup inklusif untuk mendukung pemberdayaan Enjel. Gadis itu mengalami hambatan mobilitas dan belum menemukan cara yang paling sesuai dan aman untuk membantu mobilisasinya.
Bila ingin keluar rumah, ayah Enjel harus menggendongnya dan melewati tangga dari tanah merah yang terjal. Kondisi ini sangat tidak mendukung mobilitas Enjel.
Akses layanan kesehatan pun tidak mudah. Enjel tinggal jauh dari rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya. Di Kota Ruteng, Manggarai Timur telah tersedia layanan fisioterapi untuk anak dengan disabilitas, tapi jarak dan ongkos kendaraan dari rumah ke kota pun tidak murah.
“Di sini orang biasa saja dengan keadaan Enjel. Kami juga tidak malu. Enjel juga punya teman yang suka main ke rumah, ada dua orang. Jadi kalau dengan masyarakat di sini sudah biasa-biasa,” ujar Ardi.
Kedua orangtua Enjel tidak merasa ada bibit diskriminasi bagi anaknya. Namun, di luar rumah, Enjel masih belum memiliki wadah yang cukup inklusif untuknya mengembangkan potensi secara maksimal.