Liputan6.com, Jakarta - Bipolar bukan sekadar perubahan suasana hati biasa, melainkan kondisi serius yang membutuhkan pemahaman dan dukungan dari lingkungan sekitar.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, bipolar tergolong ragam disabilitas mental.
Menurut psikolog dari Bimbingan Konseling Direktorat Kemahasiswaan Institut Teknologi Bandung (BK Ditmawa ITB), Dra. Isriana, faktor utama yang memengaruhi kesehatan mental terutama pada mahasiswa ITB adalah tekanan akademik yang tinggi. Ada pula faktor ekspektasi dari lingkungan dan kurangnya dukungan emosional.
“Sayangnya, kesadaran mahasiswa ITB terhadap pentingnya kesehatan mental masih bervariasi. Meskipun sudah ada peningkatan, masih terdapat stigma dan pemahaman yang kurang mengenai isu-isu kesehatan mental, termasuk penyintas bipolar,” kata psikolog yang akrab disapa Ira mengutip laman resmi ITB, Jumat (4/4/2025).
Gangguan bipolar ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem, mulai dari fase mania (hiperaktif, impulsif, dan euforia berlebihan) hingga fase depresi (kesedihan mendalam, kehilangan minat, dan kelelahan).
Di ITB, bimbingan konseling (BK) sering menangani mahasiswa yang mengalami kondisi ini, tetapi terdapat tantangan besar dalam proses pendampingan. Salah satu kendala utama adalah kecenderungan mahasiswa untuk melakukan self diagnose berdasarkan informasi dari media sosial.
“Hal ini dapat mengarah pada kesalahpahaman tentang bipolar disorder dan bahkan memperburuk kondisi mahasiswa tersebut,” papar Ira.
Perasaan yang berubah-ubah jadi salah satu ciri bipolar. Namun ciri-ciri tersebut mirip dengan moody.
Bipolar Beda dengan Stres Akademik Biasa
Ira menekankan pentingnya membedakan antara stres akademik biasa dengan gejala bipolar.
“Jika seseorang mengalami mood swing yang ekstrem hingga mengganggu kehidupan sehari-hari dan sulit dikendalikan, itulah saatnya untuk mencari bantuan profesional,” jelasnya.
Guna mendukung kesehatan mental mahasiswa, ITB menyediakan berbagai layanan seperti:
Pendamping Sebaya
Mahasiswa dapat berbagi perasaan dan mencari dukungan dari pendamping sebaya yang telah mendapat pelatihan dari BK ITB. Mahasiswa dapat mengakses melalui tautan linktr.ee/pendampingsebaya25.
Konseling dengan Dosen Konselor
Beberapa fakultas memiliki dosen yang telah dilatih untuk memberikan bimbingan mengenai kesehatan mental.
Layanan Bimbingan Konseling
Mahasiswa dapat mengakses layanan profesional dari laman https://kemahasiswaan.itb.ac.id/bk/ untuk mendapatkan pendampingan lebih lanjut.
Untuk mahasiswa dengan gangguan bipolar, meskipun belum ada program spesifik, pendekatan yang dilakukan bersifat individual dan berbasis kebutuhan masing-masing mahasiswa.
Selain itu, BK ITB memiliki kerja sama dengan beberapa rumah sakit seperti Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat di Kolonel Masturi KM 7 Bandung Barat, Klinik Utama Grha Atma jalan Riau 11 Kota Bandung, dan RSUD Arjawinangun Cirebon jalan By Pass Palimanan Jakarta KM.2 No.1, Kebonturi.
Tantangan Terbesar Tangani Kesehatan Mental
Lebih lanjut, Ira menjelaskan, salah satu tantangan terbesar dalam menangani kesehatan mental adalah stigma yang melekat pada penyandang bipolar.
Ira menekankan bahwa edukasi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan tren self diagnose atau diagnosis mandiri. Oleh karena itu, ITB lebih fokus pada kampanye kesehatan mental secara umum, dengan pesan utama bahwa mencari bantuan profesional adalah langkah terbaik.
Selain itu, lingkungan kampus juga dapat berperan dalam menciptakan atmosfer yang lebih inklusif. Mahasiswa bisa mendukung teman yang mengalami bipolar dengan cara menunjukkan empati, mengajak mereka beraktivitas bersama, dan tidak memberikan label negatif.
Ajak Mahasiswa Lebih Peduli Kesehatan Mental
Ira mengajak seluruh mahasiswa untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka.
“Jika memiliki teman yang mengalami bipolar disorder, cara terbaik untuk membantu adalah dengan mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan emosional, dan mendorong mereka untuk mendapatkan bantuan profesional jika diperlukan.”
Ira berharap, ITB dapat terus meningkatkan perhatian dan kebijakan terkait kesehatan mental mahasiswa.
“Kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih peduli dan suportif,” pungkasnya.