Liputan6.com, Nairobi - Sedikitnya 11 orang tewas dan lebih dari 500 orang ditangkap dalam unjuk rasa anti-pemerintah di seluruh Kenya pada Senin (7/7/2025). Demikian menurut Kepolisian Nasional Kenya.
Aksi ini bertepatan dengan peringatan 35 tahun demonstrasi pro-demokrasi bersejarah yang dikenal sebagai Saba Saba. Peringatan tersebut memicu gelombang kemarahan baru, khususnya di kalangan pemuda Kenya yang sudah lama frustrasi oleh tuduhan korupsi, kekerasan polisi, dan penculikan terhadap para pengkritik pemerintah.
Sebanyak 11 warga sipil terluka, kata polisi dalam pernyataan pada Senin malam, meskipun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya (KNHCR) melaporkan bahwa 29 orang terluka.
"Total 567 orang ditangkap," tambah polisi seperti dilansir CNN.
Di Nairobi, pasukan keamanan Kenya membubarkan para demonstran dengan gas air mata dan meriam air beberapa jam setelah memblokir jalan-jalan utama menuju kota. Jalan menuju gedung parlemen Kenya, serta kantor dan kediaman presiden, juga telah dibarikade menjelang unjuk rasa.
Terdapat laporan pada Senin sore mengenai polisi yang melepaskan tembakan ke arah demonstran. CNN belum dapat mengonfirmasi laporan tersebut, namun telah menghubungi Kepolisian Nasional Kenya untuk meminta komentar.
Dalam pernyataan pada Senin malam yang merinci jumlah korban tewas, luka, dan penangkapan, Kepolisian Kenya mengatakan bahwa setiap insiden yang dilaporkan akan diselidiki lebih lanjut sesuai hukum yang berlaku.
Berawal dari Tahun Lalu
Negara di Afrika Timur tersebut telah dilanda gelombang unjuk rasa berdarah yang dimulai tahun lalu, dipicu oleh rancangan undang-undang keuangan yang tidak populer karena menaikkan pajak di tengah krisis biaya hidup.
Pemerintah Kenya menarik kembali rancangan undang-undang pajak tersebut pada Juni tahun lalu setelah gelombang demonstrasi, namun kemarahan justru meningkat atas kematian seorang guru di dalam tahanan polisi dan penembakan terhadap seorang pedagang kaki lima yang tidak bersenjata oleh polisi.
Sedikitnya 16 orang tewas dan ratusan lainnya terluka selama unjuk rasa anti-pemerintah bulan lalu. Puluhan orang lainnya tewas selama demonstrasi anti-pajak pada 2024.
Di wilayah lain di negara itu, sejumlah demonstran tetap bersikap menantang meskipun situasi kacau terjadi.
"Kami tidak siap untuk pulang karena siapa yang akan memperjuangkan hak-hak kami kalau begitu? Kami akan tetap di sini sampai malam," kata demonstran Francis Waswa kepada Reuters.
Tindakan keras ini terjadi setelah sekelompok orang yang digambarkan oleh KNHCR sebagai preman bayaran yang dikirim oleh negara untuk membungkam suara berbeda menyerbu kantor LSM tersebut.
Dalam pernyataan pada Minggu malam, lembaga hak asasi manusia itu mengatakan bahwa mereka yang memasuki gedung secara brutal mengacaukan konferensi pers oleh para ibu Kenya yang menyerukan diakhirinya penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan pembunuhan di luar hukum yang menargetkan para demonstran menjelang aksi Saba Saba.
Juru bicara pemerintah Kenya Isaac Mwaura mengatakan kepada CNN untuk menghubungi juru bicara polisi saat diminta komentarnya mengenai tuduhan tersebut.
Juru bicara polisi Nyaga mengatakan, "Kepolisian Nasional sedang menyelidiki insiden tersebut dan akan mengambil langkah yang sesuai setelah meninjau rekaman yang tidak dapat diterima itu."
Dia merujuk pada rekaman CCTV yang dibagikan oleh LSM tersebut.
Sebelumnya pada Minggu, Menteri Dalam Negeri Kipchumba Murkomen mengatakan bahwa aparat keamanan dalam siaga tinggi untuk secara tegas menangani para penjahat dan unsur-unsur jahat lainnya yang mungkin menyusup ke prosesi damai untuk menciptakan kekacauan, kerusuhan, atau perusakan properti.
Murkomen sebelumnya menggambarkan unjuk rasa bulan lalu sebagai terorisme yang menyamar sebagai perbedaan pendapat. Pernyataannya ini kembali memicu kemarahan publik.