Liputan6.com, Kairo - Perang di Gaza meninggalkan kerusakan besar dan memicu dua rencana rekonstruksi yang sangat berbeda: satu dari AS di bawah Presiden Trump, dan satu lagi dari negara-negara Arab yang dipimpin Mesir. Perbedaan mendasar terletak pada pendekatan dan tujuan akhir. Rencana AS bertujuan membangun kembali Gaza tanpa melibatkan Hamas, bahkan berimplikasi pada pengusiran warga Palestina. Sementara itu, rencana Arab fokus pada rekonparastruksi tanpa penggusuran paksa, melibatkan kerja sama dengan Palestina untuk pemerintahan sementara.
Rencana rekonstruksi Gaza versi AS, yang dijuluki 'Riviera Timur Tengah', menggambarkan perubahan lanskap Gaza yang signifikan dan potensi pengambilalihan wilayah oleh AS. Rencana ini menuai kecaman luas karena dianggap tidak realistis dan tidak manusiawi.
Sebaliknya, para pemimpin Arab mengadopsi rencana senilai $53 miliar (sekitar Rp864 triliun) bertujuan membangun kembali infrastruktur Gaza tanpa menggusur penduduk. Rencana ini menekankan kerja sama dengan Palestina untuk membentuk komite administratif independen yang akan mengelola Gaza sementara sebelum Otoritas Palestina (PA) kembali berkuasa. Sangat kontras dengan usulan Donald Trump.
Dibahas pada KTT Arab hari Selasa (4/3) di Kairo, rencana tersebut muncul setelah Mesir, Yordania dan negara-negara Teluk Arab menghabiskan waktu hampir sebulan untuk berkonsultasi mengenai alternatif terhadap usulan rekonstruksi Gaza versi Trump. Pembahasan mengacu dokumen setebal 112 halaman berisi peta bagaimana lahan di Gaza akan dibangun kembali dan puluhan gambar berwarna yang dihasilkan AI mengenai perkembangan perumahan, taman, dan pusat komunitas.
Dokumen tersebut juga mencakup pelabuhan komersial, pusat teknologi, hotel pantai, dan bandara.
Perbedaan utama lainnya terletak pada perlakuan terhadap warga Palestina dan peran Hamas. Rencana AS berpotensi mengakibatkan pemindahan paksa warga Palestina, sementara rencana Arab memastikan warga Palestina tetap tinggal di Gaza. Meskipun rencana Arab tidak secara eksplisit membahas masa depan Hamas, fokusnya adalah pada pemerintahan sementara sebelum PA kembali berkuasa. Terdapat perbedaan pendapat di antara negara-negara Arab mengenai bagaimana menangani Hamas, beberapa menginginkan perlucutan senjata bertahap, sementara yang lain menginginkan perlucutan senjata menyeluruh.
Mengenai siapa yang akan menjalankan Gaza, Presiden Mesir Abdel Fattah el Sisi mengatakan negaranya telah bekerja sama dengan Palestina untuk membentuk sebuah komite teknokrat Palestina independen yang akan dipercaya untuk memerintah Gaza setelah perang.
Komite ini akan mengawasi bantuan kemanusiaan dan mengelola wilayah tersebut untuk periode sementara, sebelum pemerintahan akhirnya diserahkan kepada Otoritas Palestina (PA), yang saat ini memerintah di Tepi Barat.
Isu kritis lainnya adalah apa yang terjadi pada Hamas. Kelompok ini telah berkuasa di Gaza sejak 2007, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berjanji untuk menghancurkan kelompok militan tersebut.
Hamas sepakat untuk tidak mengajukan kandidat untuk komite teknokrat, tetapi harus memberikan persetujuannya terhadap tugas, anggota dan agenda komite yang akan bekerja di bawah pengawasan PA.
Kementerian luar negeri Israel menyebut rencana tersebut "berakar pada perspektif yang sudah ketinggalan zaman" dan menolak ketergantungan pada PA, sembari mengeluh bahwa Hamas dibiarkan berkuasa oleh rencana tersebut. AS juga menyuarakan ketidaksetujuannya.
Sky News yang dikutip Kamiis (6/3) memahami para menteri luar negeri dari negara-negara Timur Tengah akan segera menyampaikan rencana tersebut kepada Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam dua minggu ke depan untuk menyusun rincian lebih lanjut, dengan harapan para pemimpin kemudian dapat bertemu Trump di AS untuk menyetujuinya.
Serangan militer Israel di Gaza menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 telah menyebabkan sebagian besar wilayah kantong padat penduduk itu rata dengan tanah dan hampir dua juta orang mengungsi dari rumah mereka.
Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan penguasa Gaza, Hamas, yang mencakup pertukaran sandera Israel dengan tahanan Palestina, terus berlaku - tetapi menjadi sangat rapuh setelah berakhirnya fase pertama tanpa adanya kesepakatan pada fase kedua.