Liputan6.com, Christchurch - Awal perjalanan hidup Ana Wardani di Selandia Baru dibayangi kengerian teror. Dia pindah ke Negeri Kiwi itu pada Oktober 2019 setelah menikah dengan pria lokal.
Kepindahannya terjadi setelah tragedi penembakan dua masjid di Christchurch pada Maret tahun 2019.
"Saat pertama kali pindah, suami saya melarang saya untuk salat di masjid. Katanya, situasi belum sepenuhnya aman dan saya diminta menghindari atribut keagamaan yang mencolok," cerita Ana kepada Liputan6.com, Rabu (22/1/2025).
Seiring waktu, kondisi membaik. Masjid-masjid kembali beroperasi normal.
Ana sendiri mencatat adanya perubahan positif, seperti menguatnya solidaritas di komunitas muslim, meningkatnya keberagaman dengan hadirnya penduduk Maroko, Sudan, Lebanon, hingga makin banyak warga negara Indonesia (WNI) yang menetap di sana.
"Berbagai kegiatan komunitas mulai diselenggarakan untuk mempererat hubungan antar warga, menciptakan rasa aman, dan nyaman di lingkungan mereka," tutur Ana.
Soal budaya, Ana menuturkan bahwa warga Selandia Baru cenderung lebih cuek, "Mereka jarang ikut campur urusan pribadi orang lain, kecuali jika ada masalah serius. Misalnya, jika terjadi kebisingan di lingkungan sekitar, warga lebih memilih melapor ke pihak berwenang daripada menegur langsung. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya privasi dan aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari."
Tidak Keberatan dengan Pajak Tinggi
Bicara soal dunia kerja, Ana menyoroti sistem kerja di Selandia Baru yang berbeda dengan Indonesia.
"Di sini, pekerja mendapatkan istirahat 10 menit setiap dua jam, dengan waktu makan siang hanya 30 menit. Jam kerja di Selandia Baru juga lebih fleksibel dibandingkan di Indonesia. Kebanyakan pekerjaan dihitung per jam, bukan berdasarkan jam kerja penuh dari pagi hingga sore. Ada yang bekerja hanya 15 hingga 20 jam per minggu, terutama bagi mereka yang bekerja di perkantoran, bukan terutama tapi ada pilihan itu untuk pekerjaan kantoran atau sektor lainnya," ungkap Ana.
Lebih lanjut, Ana mengisahkan bahwa pajak di Selandia Baru tergolong cukup tinggi, terutama bagi pekerja kantoran yang mengalami potongan pajak sekitar 30 persen dari gaji mereka.
"Tapi, hal ini di imbangi dengan berbagai fasilitas, seperti layanan kesehatan gratis dan jaminan pensiun yang memadai. Pajak untuk pelayanan restoran atau tips juga dikenakan sebesar 15 persen. Selain itu, pada hari libur nasional, ada tambahan pajak sebesar 12 persen, yang membuat total pajak yang harus dibayarkan bisa meningkat secara signifikan," kata perempuan yang hobi memasak dan hiking ini.
Hal menarik lainnya yang dibagikan Ana adalah di Selandia Baru anak-anak sudah bisa bekerja sejak usia 15 tahun.
"Mereka diperbolehkan bekerja hingga 20 jam per minggu. Banyak remaja mengambil pekerjaan paruh waktu di restoran, kafe, atau supermarket untuk mendapatkan pengalaman serta tambahan uang saku," ujar Ana.
Ana sendiri bekerja selama 36 jam per minggu dan harus membayar pajak sekitar Rp2 juta setiap minggu. Meski demikian, dia merasa tidak keberatan membayar pajak yang tinggi lantaran sebanding dengan kualitas fasilitas dan layanan publik yang didapatnya.
Mengobati Rindu Lewat Masakan
Menjalani Ramadan dan Lebaran di negeri orang juga menghadirkan pengalaman dan tantangan tersendiri bagi Ana.
"Durasi puasa bergantung pada musim. Waktu musim dingin, buka puasa bisa jam 17.30, tapi saat summer, seperti tahun ini, harus menunggu hingga hampir pukul 21.00 saat Maghrib tiba," tutur Ana.
Ana yang bekerja di sektor hospitality merasa beruntung karena menemukan kenyamanan di lingkungan kerjanya.
"Bos saya cukup pengertian, mengizinkan saya pulang lebih awal saat Ramadan agar bisa berbuka di rumah," kata Ana.
Untuk menjaga nuansa Lebaran seperti halnya di Indonesia, Ana kerap memasak hidangan khas Nusantara seperti lontong opor dan sambal goreng.
"Suami saya sudah terbiasa dengan masakan Indonesia, meskipun awalnya kaget karena pedas," ungkap Ana sambil tertawa.
Tradisi ini menjadi cara Ana untuk tetap terhubung dengan tanah air, sementara terus beradaptasi di negeri.