Liputan6.com, Washington, DC - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Marco Rubio menyatakan pada Jumat (14/3/2025) bahwa Duta Besar Afrika Selatan untuk AS Ebrahim Rasool tidak lagi diterima di AS.
Dalam unggahan di platform media sosial X, Rubio mencap Rasool sebagai "politikus yang menghasut isu ras", yang membenci AS dan Presiden Donald Trump. Rubio juga menyatakan bahwa diplomat Afrika Selatan tersebut kini berstatus persona non grata.
Persona non grata adalah istilah dalam diplomasi yang berasal dari bahasa Latin, artinya "orang yang tidak diterima" atau "orang yang tidak disukai". Istilah ini digunakan untuk menyatakan bahwa seseorang—biasanya seorang diplomat atau pejabat asing—tidak lagi diterima atau diizinkan berada di suatu negara.
Baik Rubio, yang mengunggah pernyataannya saat dalam penerbangan kembali ke Washington setelah menghadiri pertemuan menteri luar negeri Kelompok 7 (G7) di Kanada, maupun Kementerian Luar Negeri AS tidak memberikan penjelasan rinci mengenai keputusan ini.
Namun, Rubio menyertakan tautan ke artikel dari Breitbart yang membahas pidato Rasool dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh think tank Afrika Selatan.
Baik Trump maupun sekutunya, Elon Musk—yang dibesarkan di Afrika Selatan— selama ini mengkritik pemerintah Afrika Selatan terkait Undang-undang (UU) Reforma Agraria baru di negara itu yang mereka sebut diskriminatif terhadap warga kulit putih.
Bagaimanapun, pengusiran duta besar asing merupakan langkah yang sangat jarang dilakukan oleh AS. Biasanya, status persona non grata lebih sering diberikan kepada diplomat tingkat rendah. Bahkan, pada masa-masa ketegangan tinggi, seperti selama Perang Dingin atau ketika Rusia menganeksasi Krimea pada 2014, AS dan Rusia tidak sampai mengusir duta besar masing-masing. Demikian seperti dikutip dari AP.
Belum ada tanggapan dari pihak Afrika Selatan terkait isu ini.
Rasool sebelumnya menjabat sebagai duta besar Afrika Selatan untuk AS pada periode 2010-2015 sebelum kembali ke pos tersebut pada Januari 2023.
Sejak kecil, Rasool telah mengalami diskriminasi rasial. Dia dan keluarganya diusir dari lingkungan pemukiman kulit putih di Cape Town. Rasool kemudian menjadi aktivis anti-apartheid, bahkan sempat dipenjara karena perjuangannya. Dia menyebut dirinya sebagai kawan Nelson Mandela, presiden pertama Afrika Selatan pasca-apartheid, dan politikus di Partai ANC (Kongres Nasional Afrika).
Pernyataan Dubes Afrika Selatan
Dalam webinar terkait, Rasool berbicara dalam bahasa akademis tentang tindakan keras pemerintahan Trump terhadap program keberagaman dan kesetaraan serta imigrasi (DEI).
"Serangan supremasi terhadap kekuasaan dapat kita lihat dalam politik domestik AS, khususnya dalam gerakan MAGA (Make America Great Again). Gerakan ini bukan hanya respons terhadap naluri supremasi, namun juga didorong oleh data yang jelas tentang pergeseran demografis di AS, di mana elektorat pemilih diproyeksikan akan terdiri dari 48 persen kulit putih (menyusut)," kata Rasool.
Rasool menyoroti pula upaya Musk untuk mendekati tokoh-tokoh sayap kanan ekstrem di Eropa. Dia menyebut hal ini sebagai "dog whistle" (sandi terselubung) dalam gerakan global yang berusaha menggalang orang-orang yang merasa diri mereka sebagai bagian dari "komunitas kulit putih yang terpojok".
Dia tidak secara langsung menyerang Trump. Sebaliknya, dia memberikan saran tentang cara menghadapi pemerintahan Trump, dengan mengatakan, "Ini bukan saatnya untuk memusuhi AS. Mari hindari tindakan-tindakan yang bisa dianggap menantang AS."
Pengusiran Rasool terjadi setelah Trump menandatangani perintah eksekutif yang memotong bantuan dan dukungan kepada pemerintah Afrika Selatan. Dalam perintahnya, Trump menyatakan bahwa warga Afrikaner—keturunan pemukim kolonial Belanda—menjadi korban UU baru yang memungkinkan pemerintah mengambil alih tanah pribadi.
Pemerintah Afrika Selatan membantah klaim Trump, menegaskan bahwa UU tersebut tidak bermotif rasial. Mereka menyebut pernyataan Trump dipenuhi dengan misinformasi dan distorsi. Faktanya, hingga saat ini, tidak ada tanah yang diambil alih berdasarkan UU yang dimaksudnya.
UU reforma agraria ini hanya memungkinkan pemerintah mengambil alih tanah dalam kasus-kasus tertentu, seperti ketika tanah tidak digunakan atau ketika pengambilalihannya dinilai demi kepentingan publik. Tujuannya adalah memperbaiki ketidakadilan masa apartheid, ketika tanah milik warga kulit hitam dirampas secara paksa.
Trump juga mengumumkan rencana untuk menawarkan status pengungsi kepada warga Afrikaner di AS. Padahal, Afrikaner hanyalah sebagian kecil dari populasi kulit putih di Afrika Selatan.
Musk, yang menjabat sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintahan Trump, kerap menyoroti UU reforma agraria ini di media sosial. Dia menggambarkannya sebagai ancaman bagi minoritas kulit putih di Afrika Selatan.
Awal bulan ini, Musk juga mengkritik pemerintah Afrika Selatan atas keputusan bisnisnya. Dalam sebuah unggahan di X, dia menyatakan bahwa pemerintah Afrika Selatan menolak bekerja sama dengan perusahaannya, Starlink.
"Karena saya tidak berkulit hitam," klaimnya.