Liputan6.com, Pretoria - Aktivis di Afrika Selatan menuduh Israel menggunakan sebuah kelompok kemanusiaan misterius untuk memaksa warga Palestina keluar dari Gaza. Mereka mengecam hal ini sebagai bentuk terbaru pembersihan etnis yang berlangsung sejak Oktober 2023.
Pada Kamis (13/11/2025), sebuah pesawat yang membawa 153 warga Palestina dari Gaza mendarat di Bandara Internasional OR Tambo, Johannesburg. Namun pesawat itu ditahan di landasan selama sekitar 12 jam dan para penumpang tidak diizinkan turun, memicu kebingungan dan kemarahan terhadap otoritas setempat.
Beberapa jam kemudian, aktivis dan pihak berwenang Afrika Selatan menemukan berbagai kejanggalan dalam proses perjalanan warga Palestina tersebut. Perjalanan itu diatur oleh sebuah organisasi bernama Al-Majd Europe, yang ternyata tidak pernah memberi tahu pemerintah Afrika Selatan tentang kedatangan para penumpang. Para pengungsi juga tidak memiliki dokumen apa pun untuk proses masuk ke negara tersebut.
Yang lebih mengejutkan bagi para aktivis, sejumlah warga Palestina mengaku mereka tidak benar-benar tahu ke mana mereka sedang dibawa.
Na’eem Jeenah, seorang aktivis dan akademisi yang berbasis di Johannesburg, mengatakan kepada Middle East Eye (MEE) bahwa temuan tersebut menunjukkan Israel memanfaatkan keputusasaan warga Palestina untuk secara diam-diam mendorong pemindahan paksa. Ia menilai Al-Majd Europe berperan sebagai perantara dalam proses tersebut.
Ia mengatakan bahwa pola ini juga terlihat sebagai upaya menyingkirkan kelas profesional—seperti dokter, pendidik, dan pelaku bisnis—agar tidak tetap berada di Gaza.
"Jelas bagi kami bahwa Al-Majd adalah kedok bagi negara Israel dan intelijen Israel, serta merupakan proyek untuk membantu pembersihan etnis di Gaza," tutur Jeenah.
Pernyataan Jeenah muncul setelah seorang pejabat militer Israel yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa Israel membantu memfasilitasi pemindahan warga Palestina dari Gaza menuju penyeberangan Karem Abu Salem (Kerem Shalom) di selatan Israel. Setelah itu mereka dibawa ke Bandara Ramon untuk penerbangan menuju Nairobi dan kemudian Johannesburg.
Sarah Oosthuizen, seorang aktivis yang membantu menangani para warga Palestina ketika mereka tiba di Johannesburg, mengatakan kepada MEE bahwa boarding pass para penumpang menunjukkan berbagai tujuan, mulai dari India, Malaysia, dan Indonesia.
"Karena itu, sejak awal tidak ada alasan bagi para penumpang untuk mengetahui ke mana mereka sebenarnya pergi," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa hal ini tampak seperti bentuk perdagangan manusia.
MEE telah menghubungi Al-Majd Europe untuk meminta komentar tetapi belum menerima respons hingga waktu publikasi.
Kelompok Misterius
Dalam situs web-nya, Al-Majd Europe mengklaim didirikan pada tahun 2010, terdaftar di Jerman dan berkantor pusat di Yerusalem. Mereka mengaku menyediakan evakuasi kemanusiaan, distribusi makanan darurat, dan program bantuan medis.
Kelompok itu menulis, "Kami mengkhususkan diri dalam memberikan bantuan dan upaya penyelamatan kepada komunitas muslim di zona konflik dan wilayah perang. Ini mencakup memfasilitasi akses pasien kepada perawatan medis kritis, memastikan perjalanan ke luar negeri untuk pengobatan, dan menjamin bahwa keluarga dapat mendampingi mereka selama proses tersebut."
Namun, bagi aktivis Johannesburg Khalid Vawda dari kelompok Social Intifada, Al-Majd Europe tampak muncul begitu saja tanpa jejak sebelumnya. Ia mengatakan kepada MEE bahwa ia mulai curiga terhadap organisasi tersebut sejak akhir Oktober ketika pertama kali melihat aktivitasnya.
Vawda menjelaskan bahwa Al-Majd Europe telah berbulan-bulan mengiklankan layanan evakuasi dari Gaza melalui media sosial. Menurut temuan MEE, warga Palestina yang ikut dalam perjalanan ini ada yang menemukan organisasi itu sendiri, ada pula yang didatangi perwakilannya di Gaza.
Para pengungsi berkomunikasi dengan seseorang yang tampak seperti perwakilan Palestina dari kelompok itu melalui WhatsApp.
"Tidak satu pun dari mereka mencurigai apa pun karena mereka mengira ini hanyalah jalur lain untuk keluar dari Gaza mengingat Rafah ditutup," ungkap Vawda.
Walaupun disebut ada gencatan senjata pada Oktober, Israel tetap melakukan pengeboman sporadis di Gaza dan menewaskan ratusan warga Palestina dalam beberapa pekan terakhir. Lebih dari 80 persen bangunan hancur, menjadikan sebagian besar wilayah tidak layak huni dan bantuan yang masuk sangat sedikit.
Vawda menilai Israel memanfaatkan kerentanan warga Palestina.
"Saya benar-benar percaya bahwa Israel memanfaatkan warga Palestina di Gaza. Di sisi lain, mereka mendapat keuntungan dari orang-orang yang sangat rentan, yang mengalami trauma setelah dua tahun genosida dan telah melihat orang-orang terdekat mereka meninggal," terang Vawda.
Setiap keluarga membayar antara USD 1.500 hingga 5.000 dolar per orang dan diberi instruksi untuk berkumpul di titik tertentu di Gaza untuk memulai perjalanan menggunakan pesawat charter.
Pada Sabtu (15/11), juru bicara COGAT — badan Israel yang mengurus izin dan koordinasi sipil terkait warga Palestina — Shimi Zuaretz mengatakan kepada AFP bahwa warga Palestina tersebut diizinkan keluar dari Gaza setelah pihaknya menerima konfirmasi bahwa ada "negara ketiga" yang bersedia menerima mereka. Ia tidak menyebutkan negara mana.
Sehari sebelumnya, Kedutaan Palestina di Afrika Selatan mengeluarkan pernyataan bahwa penerbangan tersebut diatur oleh organisasi yang tidak terdaftar dan menyesatkan, yang mengeksploitasi situasi kemanusiaan tragis rakyat Palestina, menipu, memungut uang dari mereka, dan memfasilitasi perjalanan secara tidak sah dan tidak bertanggung jawab.
Pesawat Kedua
Meski kedatangan pesawat pada 13 November mengejutkan pemerintah Afrika Selatan, Oosthuizen mengatakan bahwa para aktivis sudah mencurigai akan ada pesawat penuh pengungsi hari itu. Pada awal November, aktivis menemukan satu keluarga Palestina di Johannesburg yang mengaku tiba pada 28 Oktober dengan pesawat charter berisi banyak warga Palestina lainnya.
Setelah ditelusuri, para aktivis lokal menemukan bahwa hampir 180 warga Palestina tiba pada penerbangan pertama itu. Beberapa dari mereka menantikan anggota keluarga yang seharusnya datang bersama penerbangan kedua pada 13 November.
Warga Palestina mengatakan mereka dijanjikan akomodasi selama beberapa bulan di negara tujuan. Namun saat tiba, mereka tidak diberi panduan, tidak mendapat bantuan, dan tidak mengetahui status atau hak mereka. Mereka hanya menerima sebuah alamat hotel dan langsung dipisahkan satu sama lain. Akomodasi itu pun ternyata hanya berlaku selama tujuh hari.
Tak lama setelah itu, komunikasi WhatsApp mereka dengan Al-Majd Europe terputus. Organisasi tersebut hilang tanpa jejak.
Jeenah, yang sempat menaiki pesawat ketika masih ditahan di landasan selama hampir 12 jam, menggambarkan kondisi penumpang menyedihkan dan mengerikan. Mereka tidak diberi makanan atau air sepanjang penerbangan. Ada bayi yang popoknya tidak diganti selama 24 jam, seorang perempuan hamil mengalami nyeri persalinan, dan seorang anak mengalami kejang saat menunggu untuk turun dari pesawat di tengah panas.
Jeenah mengatakan bahwa warga Palestina itu dilucuti barang-barangnya oleh pihak Israel. Mereka hanya dapat membawa dompet, ponsel, paspor, dan pakaian di badan.
Reaksi Pemerintah Afrika Selatan
Setelah berbagai pertemuan dan protes dari kelompok masyarakat sipil, pemerintah Afrika Selatan akhirnya mengizinkan penumpang turun.
Pada Jumat (14/11), Presiden Cyril Ramaphosa menggambarkan para penumpang dengan mengatakan, "Orang-orang dari Gaza yang entah bagaimana secara misterius dimasukkan ke dalam sebuah pesawat."
"Kami jelas perlu menelusuri asal-usul mereka, dari mana semuanya dimulai, alasan mereka dibawa ke sini … karena mereka tidak memiliki dokumen apa pun," ujarnya.
Kementerian Luar Negeri Palestina menyampaikan apresiasi kepada pemerintahan Ramaphosa. Namun para aktivis mengecam kurangnya kepedulian Otoritas Manajemen Perbatasan (BMA) terhadap kondisi warga Palestina tersebut.
Oosthuizen mengatakan bahwa meskipun para penumpang tidak memiliki dokumen lengkap, pemerintah seharusnya segera memberikan bantuan kemanusiaan mengingat kondisi mereka yang baru saja melalui kekejaman perang. Ia menjelaskan bahwa para pengungsi kelelahan, mengalami dehidrasi, dan kebingungan.
Insiden ini dinilai menunjukkan ketegangan internal dalam pemerintahan Afrika Selatan terkait isu Palestina. Setelah kehilangan mayoritas parlemen pada Juni 2024, Partai Kongres Nasional Afrika (ANC) kini berkoalisi dengan beberapa partai lain, termasuk Aliansi Demokratik (DA) yang pro-Israel. Kementerian Dalam Negeri Afrika Selatan, yang bermitra erat dengan BMA, dipimpin oleh Leon Schreiber dari DA.
Menurut para aktivis, visa 90 hari baru diberikan setelah intervensi langsung Presiden Ramaphosa. Namun, kementerian dalam negeri menyampaikan bahwa setelah ada kepastian bahwa para pengungsi akan diberikan akomodasi dan bantuan selama kunjungan mereka, menteri dalam negeri membawa kepastian tersebut kepada komisaris BMA untuk dipertimbangkan, termasuk atas dasar kemanusiaan.
Aktivis kini menuntut penyelidikan menyeluruh terhadap Al-Majd Europe serta cara pemerintah menangani insiden ini.
"Kami meminta investigasi penuh, bukan hanya latar belakangnya, tetapi juga cara penanganannya di Afrika Selatan," tegas Oosthuizen.
"Pemerintah kami mengambil posisi pro-Palestina. Anda sudah melihat kami di ICC dan ICJ dan bagi kami, perlakuan terhadap orang-orang yang sangat membutuhkan ini sangat memalukan."

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5414581/original/097653600_1763300290-festival.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5414516/original/044810000_1763289984-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5413675/original/099412400_1763187197-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5409743/original/048479600_1762875812-jet_2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5412826/original/032861500_1763106028-Foto_Bersama.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5412637/original/039836200_1763099805-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5391474/original/000288700_1761324598-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5410431/original/071573100_1762932802-2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5412119/original/075493600_1763033698-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5411789/original/016035900_1763021434-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5411374/original/058289900_1763012876-1.jpg)










:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5306844/original/053364400_1754451455-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5236094/original/8487869-g_8___8_potret_mas_brewog_sound_horeg_ungkap_nilai_full_set_audio_1_truk_capai_angka_miliaran_kini_punya_10_yang_laris_manis_keliling_jawa_timur_mas_brewog_sound_horeg-20250526-034-gunturm.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5306465/original/017032900_1754393503-WhatsApp_Image_2025-08-05_at_18.28.55.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1427491/original/065234600_1481000798-PANTI-JOMPO.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5266915/original/058178600_1751023901-IMG-20250627-WA0180.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288850/original/048376300_1752998023-Screenshot_2025-07-20_143619.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288739/original/058288800_1752989078-Screenshot_2025-07-18-15-12-39-63_1c337646f29875672b5a61192b9010f9_2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5289351/original/002614900_1753068428-aad3ff27-7e8a-4a28-ae02-b50df1701565.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1850652/original/001196400_1517307371-Tentara-Taiwan3.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4128712/original/083647000_1660873414-harry-quan-G1iYCeCW2EI-unsplash_1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4641525/original/085991700_1699505516-20231109-Distribusi-Makanan-Warga-Gaza-Palestina-AP-3.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5297010/original/074340800_1753667276-25072025100331_1.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5299020/original/094031400_1753778416-IMG-20250729-WA0055.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5298810/original/091270200_1753773228-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5290791/original/044807300_1753157573-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5289483/original/083623400_1753072659-e4cdebc7-d43d-43be-9e41-31516a83f025.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2353094/original/051495200_1536242730-Kate_Hudson.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5299575/original/075030300_1753844704-c58d0d58-a56a-43be-bb92-df92bfb53fc6.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5292291/original/022889500_1753249923-WhatsApp_Image_2025-07-18_at_10.16.13_AM.jpeg)