Liputan6.com, Jakarta - Air menjadi salah satu tujuan eksplorasi luar angkasa hingga saat ini. Keberadaan air menjadi salah satu tanda kelayakan hunian dan potensi adanya kehidupan lain di alam semesta.
Air, khususnya dalam bentuk es, juga berperan penting dalam pembentukan planet dan sistem tata surya. Baru-baru ini, Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) milik NASA mengonfirmasi keberadaan es air kristalin di cakram debu yang mengelilingi bintang muda HD 181327.
Bintang ini berjarak sekitar 155 tahun cahaya dari bumi dan terletak di konstelasi Pavo, di belahan langit selatan. Temuan ini menjadi bukti kuat pertama bahwa air beku tersebar luas di sistem bintang selain matahari.
Melansir laman NASA pada Selasa (20/05/2025), studi ini telah diterbitkan dalam jurnal Nature pada 14 Mei 2025. Penelitian ini dipimpin oleh Olivia Harper, ilmuwan dari University of Arizona yang juga merupakan anggota tim ilmuwan utama JWST.
Para ilmuwan menjelaskan bahwa es air yang terdeteksi oleh Teleskop James Webb bercampur dengan partikel debu halus. Air tersebut membentuk struktur menyerupai bola salju mini, sehingga disebut es air kristalin.
Kristalisasi ini terjadi ketika suhu turun cukup rendah sehingga molekul air membentuk struktur yang teratur. Proses ini berbeda dengan es amorf, yang strukturnya tidak beraturan dan umumnya terbentuk dalam kondisi suhu lebih rendah dan lingkungan yang tidak stabil.
Keberadaan air dalam bentuk es di sistem HD 181327 menegaskan bahwa proses serupa bisa terjadi pada sistem bintang muda lainnya di galaksi kita. Usia bintang HD 181327 diperkirakan sekitar 23 juta tahun, jauh lebih muda dibandingkan Matahari yang telah berusia sekitar 4,6 miliar tahun.
Banyak Kesamaan dengan Sabuk Kuiper
Cakram debu yang mengelilingi HD 181327 memiliki banyak kesamaan dengan Sabuk Kuiper di tata surya kita, suatu wilayah berisi objek-objek es yang terletak di luar orbit Neptunus. Menariknya, Teleskop Webb menemukan celah besar bebas debu di antara bintang dan cakram tersebut.
Hal ini bisa menunjukkan adanya planet yang belum terdeteksi, yang mungkin telah menyapu area tersebut selama proses pembentukannya. Di bagian luar cakram, kandungan es air mencapai lebih dari 20 persen dari total massa material yang ada.
Namun, kandungan ini menurun drastis saat mendekati bintang. Menariknya, hampir tidak ditemukan es air di wilayah terdalam cakram.
Kemungkinan besar karena radiasi ultraviolet dari bintang yang menguapkan partikel es tersebut. Fenomena ini menunjukkan pentingnya lokasi dan kondisi lingkungan dalam menentukan keberadaan dan bentuk air di luar angkasa.
Tim peneliti juga mencatat bahwa tabrakan antara objek-objek es dalam cakram debris menghasilkan partikel-partikel es kecil yang dapat dideteksi oleh Teleskop James Webb. Proses ini menunjukkan dinamika aktif dalam cakram protoplanet dan menjadi salah satu cara distribusi air ke bagian lain sistem.
Es air kristalin ini diyakini memainkan peran penting dalam pembentukan planet raksasa gas. Ada kemungkinan membawa air ke planet berbatu melalui komet dan asteroid, seperti yang mungkin pernah terjadi di Bumi pada masa awal pembentukannya.
Penemuan ini dilakukan menggunakan instrumen NIRSpec (Near-Infrared Spectrograph) milik Webb, yang sangat sensitif terhadap partikel debu halus dan hanya dapat digunakan dari luar angkasa karena atmosfer Bumi menyerap banyak panjang gelombang inframerah. Proyek Teleskop Luar Angkasa James Webb sendiri merupakan kolaborasi internasional antara NASA, ESA (European Space Agency), dan CSA (Canadian Space Agency), serta dirancang untuk menjadi penerus Teleskop Hubble dengan kemampuan pengamatan jauh lebih canggih dan detail.
Dengan penemuan ini, para astronom kini memiliki bukti langsung bahwa air dalam bentuk es tersedia di lokasi-lokasi yang menjadi tempat lahirnya planet-planet baru.
Cakram debu yang mengelilingi HD 181327 memiliki banyak kesamaan dengan Sabuk Kuiper di tata surya kita, suatu wilayah berisi objek-objek es yang terletak di luar orbit Neptunus. Menariknya, Teleskop Webb menemukan celah besar bebas debu di antara bintang dan cakram tersebut.
Hal ini bisa menunjukkan adanya planet yang belum terdeteksi, yang mungkin telah menyapu area tersebut selama proses pembentukannya. Di bagian luar cakram, kandungan es air mencapai lebih dari 20 persen dari total massa material yang ada.
Namun, kandungan ini menurun drastis saat mendekati bintang. Menariknya, hampir tidak ditemukan es air di wilayah terdalam cakram.
Kemungkinan besar karena radiasi ultraviolet dari bintang yang menguapkan partikel es tersebut. Fenomena ini menunjukkan pentingnya lokasi dan kondisi lingkungan dalam menentukan keberadaan dan bentuk air di luar angkasa.
Partikel Es Kecil
Tim peneliti juga mencatat bahwa tabrakan antara objek-objek es dalam cakram debris menghasilkan partikel-partikel es kecil yang dapat dideteksi oleh Teleskop James Webb. Proses ini menunjukkan dinamika aktif dalam cakram protoplanet dan menjadi salah satu cara distribusi air ke bagian lain sistem.
Es air kristalin ini diyakini memainkan peran penting dalam pembentukan planet raksasa gas. Ada kemungkinan membawa air ke planet berbatu melalui komet dan asteroid, seperti yang mungkin pernah terjadi di Bumi pada masa awal pembentukannya.
Penemuan ini dilakukan menggunakan instrumen NIRSpec (Near-Infrared Spectrograph) milik Webb, yang sangat sensitif terhadap partikel debu halus dan hanya dapat digunakan dari luar angkasa karena atmosfer Bumi menyerap banyak panjang gelombang inframerah. Proyek Teleskop Luar Angkasa James Webb sendiri merupakan kolaborasi internasional antara NASA, ESA (European Space Agency), dan CSA (Canadian Space Agency), serta dirancang untuk menjadi penerus Teleskop Hubble dengan kemampuan pengamatan jauh lebih canggih dan detail.
Dengan penemuan ini, para astronom kini memiliki bukti langsung bahwa air dalam bentuk es tersedia di lokasi-lokasi yang menjadi tempat lahirnya planet-planet baru.
(Tifani)