, Massachusetts - Keputusan pemerintahan Trump yang baru-baru ini mencabut sertifikasi visa pelajar Universitas Harvard telah membuat ribuan mahasiswa internasional di kampus bergengsi itu bertanya-tanya tentang masa depan mereka.
Sekitar 800 mahasiswa asal India terdaftar di Harvard. Parthiv Patel, *seorang fellow pra-doktoral berusia 25 tahun di Harvard Business School, menyampaikan kepada DW bahwa dia hampir tidak bisa tidur sejak pencabutan visa diumumkan minggu lalu.
"Ada rasa cemas dan takut di kalangan mahasiswa internasional," kata Patel. "Kami tidak tahu harus meminta bantuan ke siapa, dan apa yang akan terjadi selanjutnya," ungkapnya seperti dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (31/5/2025).
Patel mengatakan bahwa bukan hanya status visanya yang terancam, tapi juga masa depan penelitiannya.
"Saya menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Penelitian saya bergantung pada sumber daya Harvard - akses data, bimbingan dari dosen pembimbing, dan lingkungan akademik di sini."
"Kalau pendanaan dicabut dan mahasiswa internasional dipaksa keluar," Patel menambahkan, "apa yang tersisa?"
Pencabutan sertifikasi dari Student and Exchange Visitor Program oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) berarti Harvard tidak lagi dapat mengeluarkan atau mensponsori visa F-1 atau J-1, yang diperlukan untuk mahasiswa asing belajar secara legal di Amerika Serikat.
Menurut pihak universitas, kebijakan ini berdampak pada lebih dari 7.000 mahasiswa internasional, sebagian besar dari program pascasarjana.
Mahasiswa Internasional dengan status Optional Practical Training (OPT) atau STEM OPT, yang memberikan izin kerja setelah lulus hingga tiga tahun, menghadapi kendala tambahan.
Pindah ke institusi lain secara otomatis dapat mengakhiri izin kerja melalui program OPT, yang berdampak pada status kerja legal di AS.
Meskipun seorang hakim federal di Boston telah mengeluarkan perintah penahanan sementara pada 23 Mei untuk menunda pencabutan sertifikasi sampai sidang lebih lanjut, ancaman deportasi atau perpindahan paksa terus membayangi mahasiswa.
Beban Emosional yang Berat
Ananya Shukla, mahasiswa kebijakan publik di Harvard Kennedy School, menyampaikan kepada DW bahwa ia menghadapi kemungkinan harus pindah ke institusi lain atau kehilangan status legalnya untuk tetap tinggal di AS.
"Saya datang ke sini untuk membangun masa depan,” Kata Shukla. "Tapi sekarang saya hanya berusaha mempertahankan apa yang yang miliki.”
"Saya terus bertanya-tanya: bagaimana kalau saya harus pindah? Apakah semua kredit kuliah saya akan tetap dihitung? Apakah saya bisa mendapatkan visa untuk universitas lain? Rasanya seperti seluruh masa depan saya tertahan.”
"Bukan hanya kami yang terkatung-katung, orang tua kami juga cemas karena kami sendiri tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi,” kata Shukla. "Ini benar-benar beban emosional yang berat.”
Banyak mahasiswa yang dihubungi DW enggan berbicara lewat telepon atau daring karena takut dimonitor, khawatir bahwa membahas isu ini bisa berujung pada sanksi akademik atau hilangnya kesempatan lebih lanjut.
Harvard Melawan
Perselisihan antara Harvard dan DHS berkisar pada permintaan akses data mahasiswa, termasuk riwayat disipliner, keterlibatan dalam kekerasan atau ancaman, serta partisipasi dalam aksi protes.
Dalam pernyataan pekan lalu, juru bicara Harvard Jason A. Newton menyebut tindakan DHS sebagai "melanggar hukum” dan menyatakan bahwa Harvard tetap "berkomitmen penuh” menerima mahasiswa internasional.
"Tindakan pembalasan ini membahayakan komunitas Harvard dan negara kita,” tulis Newton, "dan melemahkan misi akademik serta penelitian Harvard.”
AS Menutup Pintu bagi Mahasiswa Internasional
Pada hari Selasa (27/05), pemerintahan Donald Trump memerintahkan kedutaan besar AS di seluruh dunia untuk menghentikan penjadwalan wawancara untuk visa pelajar, seraya bersiap memperluas proses pemeriksaan akun media sosial milik pemohon visa.
Mahasiswa asal India merupakan kelompok mahasiswa internasional terbesar di universitas-universitas AS, dengan lebih dari 331.000 orang tercatat menempuh pendidikan tinggi di negara tersebut, menurut Departemen Luar Negeri AS.
Sandeep Sharma, pendiri NextGen Education India yang berbasis di Mumbai dan telah membantu ribuan mahasiswa kuliah di luar negeri dan memberikan bimbingan karir, mengatakan bahwa tindakan pemerintahan Trump menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpastian, yang bisa membuat calon mahasiswa asing enggan memilih institusi di AS.
"Para mahasiswa benar-benar terkejut dan merasa tertekan,” kata Sharma kepada DW. "Perkembangan ini menjadi pengingat bahwa bahkan rencana paling matang bisa terhalang politik. Tapi para mahasiswa tangguh, dan sebagai komunitas, kita harus memastikan mimpi mereka tidak kandas karena kebijakan.”
*Nama-nama mahasiswa dalam artikel ini telah disamarkan atas permintaan untuk menjaga privasi