Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik investasi langsung asing (FDI) dari Korea Selatan, terutama di sektor teknologi, energi hijau, dan industri bernilai tambah lainnya. Namun, sejumlah tantangan seperti regulasi yang tidak konsisten, infrastruktur yang belum memadai, serta kurangnya kepercayaan antara kedua negara menjadi kendala utama.
Hal ini diungkapkan oleh Profesor Riset Young-Kyung Ko dari Yonsei University.
Profesor Young-Kyung Ko menyoroti bahwa visi besar "Indonesia Emas 2045" dapat dicapai dengan melanjutkan strategi ekonomi pemerintahan Joko Widodo, termasuk reformasi ekonomi dan peningkatan investasi global.
Di bawah kepemimpinan baru, strategi ini diharapkan berkembang melalui pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), kebijakan hilirisasi, transisi digital dan hijau, serta program pengeluaran sosial.
Namun, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, Indonesia perlu bersaing secara langsung dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, yang saat ini memimpin proyeksi pertumbuhan regional.
"Vietnam telah menjadi destinasi utama investasi Korea Selatan, terutama berkat dukungan pemerintah mereka yang kuat serta lokasi geografis yang strategis," ujar Prof. Ko dalam sesi workshop bersama jurnalis peserta Indonesia Korea Journalist Network (IKJN) yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation di Hotel Le Meridien, Jakarta, Senin (9/12/2024).
Industri dengan Potensi Besar
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade terakhir didorong oleh tiga faktor utama: demografi, globalisasi, dan konsumsi domestik. Namun, untuk melompat ke tingkat yang lebih tinggi, transformasi ke industri bernilai tambah tinggi menjadi sangat penting.
"Transformasi ini memerlukan peningkatan teknologi, modal, dan pengetahuan, termasuk investasi besar di bidang pendidikan," jelasnya.
Industri seperti kendaraan listrik (EV), semikonduktor, dan energi terbarukan dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak utama.
"Indonesia memiliki keunggulan berupa sumber daya alam yang melimpah dan pasar domestik yang besar. Namun, untuk menarik investasi Korea Selatan, diperlukan perbaikan iklim investasi dan infrastruktur yang lebih baik," tambahnya.
Hambatan Investasi
Meskipun ada peningkatan minat dari perusahaan Korea Selatan, seperti Hyundai Motors dan Daewoong Pharmaceutical, beberapa tantangan utama tetap ada. Contohnya, perubahan regulasi mendadak pada kendaraan listrik (EV) seperti peningkatan persyaratan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan penundaan insentif pajak memberikan sinyal negatif bagi calon investor.
"Kepercayaan dan konsistensi kebijakan sangat penting bagi perusahaan Korea Selatan dalam membuat keputusan investasi. Kasus seperti program jet tempur KF21 yang menghadapi masalah pembagian pendanaan juga memperburuk persepsi," kata Prof. Ko.
Untuk mendorong peningkatan investasi Korea di Indonesia, Prof. Ko menyarankan tiga langkah utama:
1. Mengurangi Ketidakpastian Investasi: Indonesia perlu membangun kepercayaan melalui dialog tingkat tinggi, fast track untuk izin investasi, dan komunikasi yang jelas terkait perubahan kebijakan.
2. Mengoptimalkan Keunggulan Indonesia: Dengan sumber daya mineral yang melimpah dan pasar yang besar, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pusat strategis untuk rantai pasok global, terutama di sektor EV dan energi hijau.
3. Meningkatkan Kerja Sama Strategis: Indonesia dan Korea perlu memanfaatkan kekuatan komplementer mereka. Indonesia menawarkan bahan baku dan pasar, sementara Korsel memiliki keahlian teknologi dan manufaktur.
Sektor energi juga dinilai sebagai langkah awal yang strategis.
"Permintaan energi yang terus meningkat, terutama di sektor teknologi baru seperti AI dan kendaraan listrik, menghadirkan peluang besar bagi perusahaan Korea dengan keahlian di bidang infrastruktur energi, smart grid, dan penyimpanan energi," papar Prof. Ko.
Berbagai Kolaborasi Strategis
Beberapa contoh kolaborasi strategis telah muncul, seperti investasi Daewoong Pharmaceutical dalam membangun pusat R&D bersama Universitas Indonesia dan proyek energi terbarukan oleh LX International. Selain itu, perusahaan seperti Ecopro yang bergerak di rantai nilai baterai EV juga menunjukkan minat besar untuk berinvestasi di Indonesia.
Namun, Prof. Ko menekankan perlunya proses yang lebih sederhana dan saluran komunikasi khusus untuk menyelesaikan hambatan birokrasi.
"Jika tantangan ini dapat diatasi, lebih banyak perusahaan Korea Selatan akan tertarik untuk berinvestasi di Indonesia dalam dekade mendatang," pungkasnya.
Dengan perbaikan regulasi, penguatan infrastruktur, dan kolaborasi strategis, Prof. Ko meniai bahwa Indonesia berpeluang menjadi mitra utama Korea Selatan dalam membangun rantai pasok global yang berkelanjutan dan kompetitif di era transformasi hijau dan digital.