Mantan Tentara Korea Utara: Jangan Remehkan Pasukan Kim Jong Un yang Bela Rusia

1 day ago 3

Liputan6.com, Seoul - Apa yang paling diingat Haneul tentang pengalamannya di militer Korea Utara adalah rasa lapar yang terus-menerus. Dia kehilangan 10 kg dalam bulan pertama dinasnya, akibat pola makan jagung retak dan kol berjamur.

Tiga bulan setelah pelatihan, hampir seluruh batalionnya mengalami kekurangan gizi parah dan harus dikirim ke pusat pemulihan untuk menambah berat badan.

Saat mereka kemudian ditugaskan sebagai penjaga garis depan di perbatasan dengan Korea Selatan, nasi menggantikan jagung. Namun, ketika nasi itu sampai ke mangkuk mereka, banyak yang sudah diambil oleh unit belakang dan sisanya tercampur dengan pasir.

Haneul mengatakan bahwa unitnya termasuk yang paling terjamin makanannya, sebagai taktik untuk mencegah mereka membelot ke Korea Selatan. Namun, itu tidak berhasil menghalangi Haneul.

Pada 2012, dia melarikan diri dengan berani melintasi Zona Demiliterisasi (DMZ) – wilayah yang memisahkan Korea Utara dan Selatan. Demikian seperti dikutip dari BBC, Sabtu (21/12/2024).

Pengalaman Haneul, serta pengalaman pembelot militer lainnya, membantu memberikan gambaran tentang kondisi ribuan tentara Korea Utara yang dikerahkan ke garis depan dalam perang Rusia melawan Ukraina.

Dilaporkan bahwa Pyongyang telah mengirim sekitar 11.000 tentara untuk membantu pasukan Rusia merebut kembali sebagian wilayah Kursk yang diambil Ukraina dalam serangan mendadak pada musim panas lalu.

Awal pekan ini, Korea Selatan, Amerika Serikat (AS), dan Ukraina mengungkapkan bahwa pasukan Korea Utara kini telah terjun ke medan perang "dalam jumlah signifikan" dan jatuh korban. Pejabat Korea Selatan memperkirakan lebih dari 100 tentara Korea Utara tewas dan banyak lainnya terluka. Angka ini belum dapat dipastikan.

Namun, menurut para pembelot dan ahli militer lainnya yang diwawancarai BBC, tentara-tentara Korea Utara tersebut tidak boleh dianggap remeh.

Menurut intelijen Korea Selatan, sebagian besar dari mereka berasal dari unit elite Storm Corps dan memiliki "moral tinggi", meskipun "kurang pemahaman tentang perang modern".

Hanya tentara yang lebih tinggi dan lebih atletis yang dipilih untuk Storm Corps, kata pembelot Lee Hyun Seung, yang melatih pasukan khusus Korea Utara pada awal 2000-an sebelum membelot pada 2014. Dia mengajarkan mereka bela diri, cara melempar pisau, dan membuat senjata dari peralatan dapur.

Namun, meskipun pelatihan Storm Corps lebih canggih dibandingkan unit militer biasa, para tentara ini tetap kekurangan makanan bahkan mengalami malnutrisi.

Video online yang diduga menampilkan pasukan unit ini di Rusia, kata Haneul, menunjukkan tentara muda yang "lemah". Mereka sangat berbeda dengan video propaganda Korea Utara, yang menunjukkan pria-pria yang memecahkan rantai besi dan menghancurkan balok es dengan tangan kosong.

Tantangan Tentara Korea Utara Membantu Rusia

Selama dinasnya di militer, Haneul mengatakan bahwa dia hanya menembakkan tiga peluru dalam satu sesi latihan tembak langsung.

Pertempuran terdekat yang dia alami adalah ketika seorang petani kelaparan tersesat ke DMZ mencari sayuran. Haneul mengatakan dia mengabaikan perintah untuk "menembak siapa saja yang melintas" dan membiarkan pria itu pergi dengan peringatan.

Sulit untuk mengetahui seberapa banyak yang telah berubah dalam 10 tahun sejak Haneul membelot, mengingat terbatasnya informasi dari Korea Utara. Namun, Kim Jong Un kini diyakini lebih fokus mengalokasikan sumber daya terbatas untuk pengembangan rudal dan senjata nuklir daripada memperkuat pasukan reguler.

Menurut seorang mantan tentara lain, Ryu Seonghyun, yang membelot pada 2019, tiga tahun pertama di militer adalah "sangat sulit", bahkan bagi pasukan khusus. Pria berusia 28 tahun yang pernah bekerja sebagai sopir di angkatan udara selama tujuh tahun ini mengatakan bahwa selama dinasnya, kondisi semakin memburuk, dan nasi perlahan menghilang dari menu mereka.

"Para tentara dikirim ke gunung selama berhari-hari dengan sedikit nasi dan diberitahu itu adalah bagian dari latihan bertahan hidup mereka," tutur Ryu.

Mengingat bahwa pasukan ini dilatih untuk bertempur di Semenanjung Korea yang berbukit, para pembelot mempertanyakan seberapa baik mereka akan beradaptasi dengan pertempuran di dataran rendah dan parit di Kursk.

Bagaimanapun, Storm Corps bukan unit garis depan.

"Misi mereka adalah menyusup ke garis musuh dan menciptakan kekacauan di dalam wilayah musuh," ungkap Ryu.

Namun, dia menambahkan, Kim Jong Un tidak punya pilihan lain selain mengirim pasukan khusus karena tentara reguler lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertani, membangun, atau menebang kayu.

"Kim Jong Un harus mengirim orang-orang yang setidaknya memiliki kemampuan tempur tertentu, untuk menghindari merusak reputasi Korea Utara di Rusia."

Masalah bahasa diyakini menjadi tantangan tambahan. Pada Minggu, unit intelijen pertahanan Ukraina mengatakan bahwa masalah komunikasi telah mengakibatkan tentara Korea Utara secara tidak sengaja menembak pasukan Rusia, membunuh delapan orang.

Dengan penilaian ini, mudah untuk menganggap pasukan ini sebagai "pakan meriam" dan tanda dari keputusasaan Presiden Rusia Vladimir Putin. Namun, menurut para pembelot, anggapan tersebut keliru. Loyalitas mereka terhadap rezim dan semangat tempur yang tinggi justru bisa menjadi aset yang berharga.

"Kebanyakan tentara di Storm Corps berasal dari keluarga pekerja atau petani, yang sangat patuh pada partai dan akan mengikuti perintah tanpa ragu," kata Haneul, yang ayah dan sepupunya juga berada di pasukan khusus.

Sesi "cuci otak" ideologis yang intens, yang diadakan setiap pagi, sebut Lee, akan memastikan mereka siap secara mental. Lee percaya bahwa tentara Korea Utara "akan terbiasa dengan medan perang, belajar cara melawan musuh, dan menemukan cara untuk bertahan hidup".

Meskipun para tentara tidak akan diberi pilihan apakah bersedia dikerahkan atau tidak, Ryu berpikir banyak dari mereka mungkin ingin pergi.

"Mereka yang ambisius akan melihatnya sebagai kesempatan untuk memajukan karier mereka," sebut Ryu.

Dan mengingat betapa sulitnya bertugas di Korea Utara, beberapa dari mereka mungkin menyambut kesempatan untuk merasakan kehidupan di luar negeri untuk pertama kalinya.

"Saya rasa mereka akan lebih bersedia bertempur daripada tentara Rusia," tambahnya, mengakui bahwa dalam situasi mereka, dia juga ingin dikirim.

Chun In-bum, mantan komandan pasukan khusus Korea Selatan, setuju dengan penilaian para pembelot.

"Hanya karena mereka kekurangan makanan dan pelatihan, bukan berarti mereka tidak mampu. Mereka akan cepat beradaptasi. Kita tidak boleh meremehkan mereka," ujarnya.

Loyalitas Jadi Kekuatan

Meskipun 11.000 tentara mungkin tidak cukup untuk mengubah jalannya perang yang panjang – dengan Rusia yang diperkirakan mengalami lebih dari seribu korban setiap hari – para ahli dan pejabat percaya bahwa ini mungkin hanya tahap pertama. Korea Utara berpotensi mengirim hingga 60.000 atau bahkan 100.000 pasukan.

Loyalitas para tentara dan keluarga mereka bisa menggagalkan harapan Ukraina dan Korea Selatan bahwa banyak dari mereka akan membelot begitu sampai di medan perang. Ukraina dan Korea Selatan sudah membahas operasi psikologis untuk mendorong mereka menyerah.

Namun, mereka dipercaya tidak memiliki akses ke ponsel. Menurut intelijen Ukraina, bahkan ponsel tentara Rusia disita sebelum mereka bertemu pasukan Korea Utara.

Strategi yang mungkin dilakukan untuk infiltrasi termasuk menyiarkan pesan melalui pengeras suara atau menggunakan drone untuk menjatuhkan selebaran.

Baik Ryu maupun Haneul memutuskan untuk membelot setelah membaca propaganda anti-rezim dari Korea Selatan. Namun, mereka meragukan hal tersebut akan berhasil jauh dari rumah.

Mereka mengatakan butuh waktu lama untuk membangun keinginan dan keberanian untuk membelot.

Selain itu, Haneul curiga bahwa para perwira akan diperintahkan untuk menembak siapa saja yang mencoba melarikan diri. Dia ingat rekan-rekannya melepas tembakan saat dia berlari melintasi DMZ.

"Sebelas peluru melesat hanya satu meter di atas kepala saya," ungkap dia.

Bahkan menangkap tentara Korea Utara mungkin akan sulit bagi Ukraina.

Di Korea Utara, menjadi tahanan perang dianggap sangat memalukan dan lebih buruk daripada mati. Sebagai gantinya, tentara diajarkan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri, dengan menembak diri sendiri atau meledakkan granat.

Ryu mengenang sebuah lagu militer terkenal berjudul "Save the Last Bullet".

"(Lagu) itu mengatakan untuk menyimpan dua peluru, satu untuk menembak musuh dan satu untuk menembak diri sendiri," jelas Ryu

Namun, Lee, bertekad untuk membantu. Dia menawarkan diri untuk pergi ke garis depan untuk berkomunikasi langsung dengan tentara.

"Tidak mungkin mereka akan membelot dalam jumlah besar, tapi kita harus mencoba. Mendengar suara yang familiar seperti saya dan orang lain dari Korea Utara, mungkin bisa memengaruhi psikologi mereka," ucapnya.

Haneul hanya berharap mereka bisa pulang ke Korea Utara dengan selamat. Dia tahu ada kemungkinan beberapa kerabatnya adalah bagian dari pasukan yang dikirim untuk membantu Rusia.

"Saya hanya berharap mereka bisa bertahan dan kembali dengan selamat."

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |